Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Jumat, 31 Desember 2010

MENCARI TEORI KESETARAAN



(Analisis Jender Vs Teori Hukum Islam)
"PEREMPUAN selalu menjadi sahabat agama, tetapi umumnya agama bukan sahabat bagi perempuan." (Moriz Winternitz)
PERNYATAAN indologis Jerman di atas sebagai ungkapan kekecewaan terhadap reputasi agama yang kurang menggembirakan dalam menciptakan kehidupan sosial yang adil, khususnya menyangkut relasi laki-laki dan perempuan. Sebagai salah satu norma yang hidup dalam masyarakat, ajaran agama memang sudah sejak lama dituduh memiliki peran signifikan dalam melanggengkan ketimpangan posisi kaum perempuan vis-a-vis kaum laki-laki. Mengapa tuduhan ini muncul, adakah alasan teoretis untuk menjelaskannya?
Tulisan singkat ini mencoba menjawab persoalan tersebut dengan menganalisis sebuah teori sosial, yaitu analisis jender yang menaruh perhatian atas ketimpangan itu dan menghadapkannya dengan kasus dalam ajaran Islam.
Agama Islam memiliki aturan hukum untuk kehidupan sosial yang lebih rinci dibandingkan dengan agama-agama lain. Di antara karakter hukumnya yang paling nyata adalah pembedaannya yang sangat jelas terhadap peran jender laki-laki dan perempuan. Apakah karakter ini sesuatu yang absolut sehingga melahirkan gesekan yang permanen dengan teori sosial, seperti analisis jender, ataukah sebaliknya?

Asumsi analisis jender
Analisis jender adalah serangkaian kriteria yang digunakan gerakan feminisme untuk mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antarjenis kelamin. Dalam melakukan identifikasi terhadap ketidakadilan ini analisis jender mula-mula membuat pembedaan antara apa yang disebut "seks" dan "jender". Seks, demikian didefinisikan, adalah pembedaan laki-laki dan perempuan yang didasarkan atas ciri-ciri biologis. Sedangkan jender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan secara sosial.
Pada prinsipnya analisis jender tidak mempermasalahkan pembedaan-pembedaan itu selama tidak melahirkan ketidakadilan. Akan tetapi, analisis ini melihat pembedaan secara jender (gender differences) sangat potensial melahirkan ketidakadilan jender (gender inequalities). Oleh karena itu, langkah selanjutnya yang dilakukan analisis jender adalah menggugat pembedaan jender, khususnya yang melahirkan ketidakadilan.
Menurut analisis jender, ketidakadilan jender bisa diidentifikasi melalui berbagai manifestasi ketidakadilan, yakni: marjinalisasi (proses pemiskinan ekonomi), subordinasi (anggapan tidak penting), pelabelan negatif (stereotype), kekerasan (violence), dan beban kerja ganda (double burden). Inilah kriteria yang menjadi acuan kaum feminis dalam melihat secara kritis setiap aturan sosial tentang relasi laki-laki dengan perempuan, termasuk yang lahir dari doktrin agama.
Dengan demikian, analisis jender mengasumsikan, paling tidak secara implisit, adanya "persamaan atau kesetaraan jender" antara laki-laki dan perempuan. Asumsi seperti ini, disadari atau tidak, telah banyak memengaruhi cara pandang agamawan dalam melihat ajaran agamanya. Hal ini antara lain tampak dengan munculnya penolakan terhadap praktik poligami atau terhadap fatwa yang melarang perempuan menjadi pemimpin.
Sulit dibantah bahwa di balik aksi penolakan tersebut ada asumsi analisis jender yang menggerakkannya. Bagi mereka, praktik atau fatwa semacam itu adalah bentuk konkret ketidakadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan. Perempuan menjadi korban prasangka stereotyping, yakni perempuan secara "alamiah" lemah dan memerlukan perlindungan dari laki-laki dan kebutuhan seksual laki-laki melebihi kebutuhan seksual perempuan.

Teori hukum Islam
Hingga saat ini otoritas hukum Islam di sejumlah negara muslim tampak belum tergoyahkan oleh gagasan berhaluan analisis jender. Resistensi ini tidak lain disebabkan oleh perbedaan asumsi yang mendasari keduanya. Tidak seperti analisis jender, hukum Islam justru lebih menekankan pada "pembedaan jender" dalam menetapkan posisi ideal laki-laki dan perempuan. Pembedaan ini bahkan boleh dikatakan telah menjadi karakter sosial hukum Islam, di mana peran dan status jender laki-laki menempati posisi relatif lebih "tinggi" dibandingkan dengan peran dan status yang ditempati perempuan.
Menurut hemat penulis, karakter hukum Islam yang demikian terkait erat dengan teori hukum Islam klasik (ushul al-Fikih) yang selama ini menjadi landasan perumusan aturan hukum Islam. Secara teori hukum Islam, atau disebut juga fikih, bersumber, langsung atau tidak langsung, dari dalil-dalil, baik yang berupa Al Quran atau Hadis Nabi SAW. Itulah sebabnya, fikih sering didefinisikan dengan "kumpulan hukum tentang amal praktis manusia (maksudnya di luar teologi dan etika) yang diambil dari dalil-dalil yang spesifik".
Dalam proses pengambilan hukum dari dalil itu dibutuhkan kaidah tertentu yang diatur di dalam disiplin ushul al-fikih. Di antara kaidah tersebut yang terpenting adalah pengategorian nas (teks) Al Quran atau hadis, dari segi penunjukan maknanya, menjadi qath'i-zhanni. Nas yang qath'i adalah ayat atau hadis yang menunjukkan pada makna yang jelas dan tegas sehingga tidak dapat dipahami dengan makna lain.
Sedangkan nas yang zhanni adalah ayat atau hadis yang penunjukan maknanya masih dapat dipahami dengan makna lain (ambigu). Pertanyaannya, bagaimana korelasi kategori tersebut dengan karakter hukum seperti disebutkan di atas. Jawabnya adalah karena nas yang mengatur relasi laki-laki dengan perempuan dari segi penunjukan makna hukumnya tergolong kategori qath'i, sehingga harus diterima apa adanya. Misalnya nas tentang persaksian dua orang perempuan yang dihargai dengan persaksian satu orang laki-laki (2:282), poligami (4:3), porsi bagian waris (4:11), superioritas laki-laki atas perempuan (4:34), atau hadis tentang larangan perempuan menjadi pemimpin yang isunya kembali mencuat menjelang pemilu presiden dan wakil presiden pada bulan Juli lalu.
Hingga saat ini, otoritas ushul al-fikih itu masih populer dan dominan dalam tradisi pemikiran hukum umat Islam.

Neo-hukum Islam
Pendekatan yang digunakan ushul al-fikih klasik dalam memahami nas Al Quran maupun hadis seperti dijelaskan di atas adalah pendekatan yang berorientasi pada pengertian yang dimunculkan bahasa (tekstual). Pendekatan ini umumnya hanya mengantarkan kita pada pemahaman dimensi eksoteris (zhahir) dari suatu teks, tetapi gagal mencapai pesan moral yang dibawakannya.
Dalam konteks keyakinan universalitas Islam, pendekatan ini cenderung akan, dan semakin terbukti, melahirkan aturan hukum yang paradoks. Alih-alih dibutuhkan masyarakat dalam mengawal perubahan yang tak kenal henti malah ramai-ramai ditolak karena tidak sejalan dengan tingkat kecerdasan dan perkembangan sosial masyarakat.
Teks bersifat statis, sedangkan masyarakat bersifat dinamis. Pemahaman yang terpancang pada makna lahir teks, dalam jangka panjang jelas tidak akan mampu mengakomodasi dinamika yang terjadi dalam masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan alternatif pendekatan yang diharapkan mampu menelurkan aturan hukum Islam yang baru. Hal ini, misalnya, bisa ditempuh dengan mengaplikasikan pendekatan yang disebut "hierarkisasi nilai Al Quran."
Jika dicermati signifikasi ayat Al Quran tentang relasi laki-laki dengan perempuan sesungguhnya memperlihatkan dua "wajah". Sejumlah ayat tampak mendukung kesetaraan laki-laki dan perempuan, sedangkan ayat lain menunjukkan superioritas laki-laki. Dengan mengacu pada pendekatan hierarki nilai, dilema antara kedua kelompok ayat ini dapat diselesaikan sebagai berikut.
Kelompok ayat pertama umumnya berkenaan dengan kewajiban manusia terhadap Tuhan atau tugas-tugas untuk berbuat kebajikan (misalnya: 2:187, 3:195, 9:71). Tugas-tugas ini berlaku, baik untuk laki-laki maupun perempuan, dan bersifat permanen karena tidak tunduk pada perubahan konteks waktu dan tempat di mana manusia berada. Sementara itu, ayat-ayat yang memosisikan laki-laki lebih tinggi daripada perempuan seperti dicontohkan di atas, umumnya berada pada ranah sosio-ekonomi yang bersifat relatif. Secara hierarkis, kualitas nilai yang tidak berubah dari kedua kelompok ayat tersebut menempati derajat prioritas lebih tinggi daripada nilai yang tunduk pada perubahan konteks sosial.
Konsekuensinya adalah superioritas laki-laki terhadap perempuan yang tersurat dalam sejumlah ayat Al Quran dan hadis jangan dilihat sebagaimana adanya tanpa mengorelasikannya dengan situasi sosial yang ada pada saat ayat dan hadis itu turun, yakni masyarakat masa Nabi SAW.
Seperti dapat disimpulkan dari berbagai literatur tentang situasi sosial masyarakat Arab awal Islam, diketahui bahwa besarnya privilese yang dimiliki kaum laki-laki terkait erat dengan besarnya tanggung jawab yang mereka pikul dalam kehidupan sosial saat itu. Pada saat ini, ketika peran dalam kehidupan sosial tidak lagi hanya didominasi kaum laki-laki, pemahaman yang masih terpancang pada "bunyi" teks dengan sendirinya menjadi tidak relevan dan kehilangan konteks.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan, karakter hukum Islam yang tampak "anti" terhadap teori sosial bukanlah sesuatu yang bersifat absolut. Pendekatan yang baru terhadap ayat-ayat Al Quran maupun hadis bukan mustahil dapat mengubah karakter tersebut menjadi selaras dan kompatibel dengan teori-teori pengetahuan modern semisal analisis jender.
*Acep Sugiri Mahasiswa Program Studi Hukum, Program Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
sumber: Harian Kompas, Senin, 23 Agustus 2004

MEMBANGUN TEORI

















POSTULAT, AKSIOMA Atau ASUMSI AWAL


Bahwa membuktikan secara final sebuah postulat adalah kemustahilan karena hanya akan melahirkan argumen yang sirkuler atau melingkar. Titik henti dari postulat adalah sebuah keyakinan atau kepercayaan. Akan tetapi selama ini ada yang hilang dari pengamatan atau pemahaman saya mengenai postulat ini. Postulat, seberapapun itu tidak bisa dibuktikan secara final, ternyata tidak bisa sembarangan kita buat atau kita terbitkan. Ternyata menerbitkan atau membuat sebuah postulat atau aksioma (dalam matematika dan fisika misalnya) membutuhkan apa yang dinamakan PROSES.
Proses disini adalah sebuah penyelidikan atau pembuktian secara falsifikasi (atau mungkin juga verifikasi, tetapi saya lebih cenderung ke arah falsifikasi) pada proses-proses (pada hukum-hukum fisika, aturan-aturan matematis atau rumus-rumus matematis dan lain sebagainya), bahwa postulat itu “bekerja dengan baik” pada hukum hukum atau aturan-aturan dimana postulat atau aksioma itu digunakan.

Semisal postulat einstein mengenai relativitas yang menyatakan kecepatan cahaya di ruang hampa adalah sekian meter per detik dan sama untuk semua pengamat, serta hukum fisika berlaku sama untuk semua pengamat. Postulat ini diciptakan menjadi pondasi pokok dari proses-proses relativitas yang sampai sekarang belum tergoyahkan. Postulat ini menjadi dipercaya memiliki kebenaran karena adanya kredibilitas dalam bentuk pembuktian secara falsifikasional dalam dunia fisika.
Anda bisa saja mengambil postulat yang berlawanan dengan postulat eisntein, walaupun secara logika, postulat anda sama-sama terbit dari kehampaan dan tidak bisa dijustifikasi secara menyeluruh, tetapi jika postulat anda tidak “bekerja” di dunia empiris sebagaimana postulat eisntein maka postulat anda adalah tidak berguna. Demikian halnya penerbitan aksioma dalam dunia matematika juga memiliki proses legitimasi yang sama dengan postulat di dunia fisika ini.

Asumsi yang Berwajah Ganda atau Jamak
Mungkin dalam dunia empiris seperti fisika dan matematika kita bisa menjustifikasi postulat atau aksioma dalam proses atau hukum atau aturan dimana postulat atau aksioma itu diberlakukan. Akan tetapi apa bila kita mengambil suatu asumsi yang ternyata asumsi itu memiliki wajah ganda atau jamak ketika diterapkan dalam aturan dimana asumsi itu diberlakukan, kita tidak dapat mengambil suatu kredibilitas tunggal atas asumsi-asumsi yang kita terbitkan.
Maksudnya disini adalah, kadang kala terdapat dua atau lebih asumsi yang dapat kita terapkan dalam sebuah proses, dan masing-masing asumsi tersebut ternyata dapat bekerja dalam proses ini walaupun pada dasarnya asumsi-asumsi itu memiliki perbedaan yang mencolok bahkan berlainan atau bertolak belakang. Nah dalam kerangka ini, kredibilitas proses menjadi sulit dilakukan. Disini hanya bisa dilakukan sebuah upaya pengambilan kepercayaan sementara, atau mungkin pula sebuah bentuk agnostisme asumsi. Karena kita tidak pernah bisa mencari kredibilitas asumsi jamak atau ganda dalam proses, sedang satu-satunya cara mencari justifikasi sebuah asumsi ada dalam proses, maka asumsi-asumsi itu memiliki derajat keraguan atau keyakinan yang sama (atau masih samar).
Jenis-jenis asumsi jamak atau ganda ini sebenarnya sangat banyak dalam kepercayaan kita. Saya tidak akan menjelaskan atau memberikan contoh kepada anda. Silahkan renungkan asumsi-asumsi anda atau postulat-postulat anda. Apakah sebenarnya asumsi anda masuk dalam kategori asumsi yang memiliki kredibilitas proses tunggal seperti postulatnya einstein atau aksioma matematika? Ataukah asumsi-asumsi anda memiliki katergori kredibilitas proses ganda atau jamak yang berarti belum final atau masih dalam tahap keraguan?

EPISTEMOLOGY


Apa itu epistemology
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme, pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang menengarai masalah-masalah filosofikal yang mengitari teori ilmu pengetahuan. Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara ‘alim (subjek) dan ma’lum (objek).Atau dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menentukan sebuah model filsafat. Dengan pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan, bahkan menentukan “kebenaran” macam yang dianggap patut diterima dan apa yang patut ditolak.
Pada abad ke-13, seorang filosof dan teolog Itali yang bernama Santo Thomas Aquinas berupaya mensintesakan keyakinan Nasrani dengan ilmu pengetahuan dalam cakupan yang lebih luas, dengan memanfaatkan sumber-sumber beragam seperti karya-karya filosof Aristoteles, cendekiawan Muslim dan Yahudi. Pemikiran Santo Thomas Aquinas pada masa-masa kiwari sangat mempengaruhi irama dinamika teologi Nasrani dan kosmos filsafat Barat.
Pada abad ke-5 SM, Sophist Yunani menanyakan kemungkinan reliabilitas dan objektivitas ilmu. Oleh karena itu, seorang Sophist prominen, Gorgias, berpendapat bahwa tidak ada yang benar-benar wujud, karena jika sesuatu ada tidak dapat diketahui, dan jika ilmu bersifat nisbi, tidak dapat dikomunikasikan. Seorang Sophist ternama lainnya, Protagoras, berpandangan bahwa tidak ada satu pendapat pun yang dapat dikatakan lebih benar dari yang lain, karena setiap pendapat adalah hanyalah sebuah penilaian yang berakar dari pengalaman yang dilaluinya. Plato, mengikuti ustadznya Socrates, mencoba untuk menjawab isykalan-isyakalan para Sophist dengan mempostulasikan keberadaan semesta yang bersifat tetap dan bentuk-bentuknya yang invisible, atau ide-ide, yang melaluinya ilmu pasti dan eksak dapat diraih. Mereka percaya bahwa benda-benda yang dilihat dan diraba adalah kopian-kopian yang tidak sempurna dari bentuk-bentuk yang sempurna yang dikaji dalam ilmu matematika dan filsafat.Dengan demikian, hanya penalaran abstrak dari disiplin ilmu ini yang dapat menuai ilmu pengetahuan original, sementara mengandalkan indra-persepsi menghasilkan pendapat-pendapat yang inkonsisten dan mubham. Mereka menyimpulkan bahwa kontemplasi filosofis tentang bentuk-bentuk dunia gaib merupakan tujuan tertinggi kehidupan manusia.
Aristoteles mengikuti Plato ihwal ilmu abstrak adalah ilmu yang lebih superior atas ilmu-ilmu yang lainnya, namun tidak setuju dengan metode dalam mencapainya. Aristotels berpendapat bahwa hampir seluruh ilmu berasal dari pengalaman.Ilmu diraih baik secara langsung, dengan mengabstraksikan ciri-ciri khusus dari setiap spesies, atau tidak langsung, dengan mendeduksi kenyataan-kenyataan baru dari apa yang telah diketahui, berdasarkan aturan-aturan logika. Observasi yang teliti dan ketat dalam mengaplikasikan aturan-aturan logika, yang pertama kalinya disusun secara sistematis oleh Aristoteles, akan membantu menjaga dari perangkap-perangkap yang dipasang oleh para Sophist. Maktab Epicurian dan Stoic sepakat dengan pandangan Aristoteles bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari indra-persepsi, tetapi menentang keduanya baik Aristoteles atau pun Plato yang berpandangan bahwa filsafat harus dinilai sebagai sebuah bimbingan praktis untuk menjalani hidup, mereka berpendapat sebaliknya bahwa filsafat adalah akhir dari kehidupan.
Setelah beberapa kurun berlalu kurangnya ketertarikan dalam ilmu rasional dan saintifik, filosof Skolastik Santo Thomas Aquinas dan beberapa filosof abad pertengahan berusaha membantu untuk mengembalikan konfidensi terhadap rasio dan pengalaman, mencampur metode-metode rasional dengan iman dalam sebuah system keyakinan integral. Aquinas mengikuti Aristoteles dalam masalah tentang persepsi sebagai starting-point dan logika sebagai prosedur intelektual untuk sampai kepada ilmu yang dapat diandalkan (reliable) tentang tabiat, tetapi memandang iman dalam otoritas skriptual sebagai sumber keyakinan agama.

Masa Plato dan Aristoteles
Plato dapat dikatakan sebagai filsuf pertama yang secara jelas mengemukakan epistemologi dalam filsafat, meskipun ia belum menggunakan secara resmi istilah epistemology ini. Filsuf Yunani berikutnya yang berbicara tentang epistemologi adalah Aristoteles.Ia adalah murid Plato dan pernah tinggal bersama Plato selama kira-kira 20 tahun di Akademia.
Pembahasan tentang epistemologi Plato dan Aristoteles lebih jelas dan ringkas kalau dilakukan dengan cara membandingkan keduanya, sebagaimana tertuang dalam komparasi epistemology Plato dan Aristoteles dibawah ini.

Topik Pemikiran Plato Aristoteles
Perbedaan epistemologi Plato dan Aristoteles ini memiliki pengaruh besar terhadap para filsuf modern. Idealisme Plato mempengaruhi filsuf-filsuf Rasionalis seperti Spinoza, Leibniz, dan Whitehead. Sedangkan pandangan Aristoteles tentang asal dan cara memperoleh pengetahuan mempengaruhi filsu-filsuf Empiris seperti Locke, Hume, dan Berkeley.

Rasio Vs Indra Persepsi
Antara abad 17 hingga akhir abad ke-19, masalah utama yang muncul dalam pembahasan epistemologi adalah resistensi antara kubu rasionalis vis-à-vis kubu empiris (indriawi-persepsi). Filsuf Francis, René Descartes (1596-1650), filsuf Belanda, Baruch Spinoza (1632-1677), dan filsuf Jerman, Wilhelm Leibniz (1646-1716) adalah para pemimpin kubu rasionalis. Mereka berpandangan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah logika deduktif (baca: qiyas) yang bersandarkan kepada prinsip-prinsip swabukti (badihi) atau axioma-axioma. Sementara orang-orang seperti, Francis Bacon ( 1561-1626) and John Locke (1632-1704) keduanya adalah filsuf Inggris berkeyakinan bahwa sumber utama dan pengujian akhir ilmu pengetahuan adalah bersandar kepada pengalaman, persepsi dan indriawi.
Filsuf Francis René Descartes secara rigoris menggunakan metode deduksi dalam jelajah filsafatnya. Barangkali Descartes ini dikenal baik atas karya pionirnya untuk bersikap skeptis dalam berfilsafat. Dialah yang pertama kali memperkenalkan metode sangsi dalam investigasi terhadap ilmu pengetahuan.
Descartes yang kerap disebut sebagai Bapak Filsafat Modern (sekaligus filsafatnya kemudian dikenal sebagai Cartesians) ini dalam mengusung metode rasionalnya, dia menggunakan metode sangsi dalam menyikapi pelbagai fenomena atau untuk mencerap ilmu pengetahuan. Postulat, Cogito Ergo Sum adalah milik Descartes. Rumusan postulat ini yang menemaninya untuk menyingkap ilmu pengetahuan. Menurut Descartes segala sesuatu yang berada di dunia luar harus disangsikan dan diragukan.
Pandangan Descartes tentang manusia sering disebut sebagai dualistis. Ia melihat manusia sebagai dua substansi: jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Tubuh tidak lain adalah suatu mesin yang dijalankan jiwa. Hal ini dipengaruhi oleh epistemologinya yang memandang rasio sebagai hal yang paling utama pada manusia.
Empirisme pertama kali diperkenalkan oleh filsuf dan negarawan Inggris Francis Bacon pada awal-awal abad ke-17, akan tetapi John Locke yang kemudian mendesignnya secara sistemik yang dituangkan dalam bukunya “Essay Concerning Human Understanding (1690). John Locke memandang bahwa nalar seseorang pada waktu lahirnya adalah ibarat sebuah tabula rasa, sebuah batu tulis kosong tanpa isi, tanpa pengetahuan apapun. Lingkungan dan pengalamanlah yang menjadikannya berisi. Pengalaman indrawi menjadi sumber pengetahuan bagi manusia dan cara mendapatkannya tentu saja lewat observasi serta pemanfaatan seluruh indra manusia. John Locke adalah orang yang tidak percaya terhadap konsepsi intuisi dan batin. Filsuf empirisme lainnya adalah Hume. Ia memandang manusia sebagai sekumpulan persepsi (“a bundle or collection of perceptions”). Manusia hanya mampu menangkap kesan-kesan saja lalu menyimpulkan kesan-kesan itu seolah-olah berhubungan. Pada kenyataannya, menurut Hume, manusia tidak mampu menangkap suatu substansi. Apa yang dianggap substansi oleh manusia hanyalah kepercayaan saja. Begitu pula dalam menangkap hubungan sebab-akibat. Manusia cenderung menganggap dua kejadian sebagai sebab dan akibat hanya karena menyangka kejadian-kejadian itu ada kaitannya, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, Hume menolak ide bahwa manusia memiliki kedirian (self). Apa yang dianggap sebagai diri oleh manusia merupakan kumpulan persepsi saja.

MODES OF INFERENCE


by : Charles Sanders Peirce
Borrowing a brace of concepts from Aristotle, Peirce examined three basic modes of inference in inquiry, processes currently known as abductive, deductive, and inductive inference. Peirce also called abduction "retroduction", "presumption", and, earliest of all, "hypothesis". He characterized it as guessing and as inference to an explanatory hypothesis. He sometimes expounded the modes of inference by transformations of the categorical syllogism Barbara (AAA), for example in "Deduction, Induction, and Hypothesis" (1878). He does this by rearranging the rule (Barbara's major premiss), the case (Barbara's minor premiss), and the result (Barbara's conclusion):
Deduction.
Rule: All the beans from this bag are white.
Case: These beans are from this bag.
\thereforeResult: These beans are white.
Induction.
Case: These beans are [randomly selected] from this bag.
Result: These beans are white.
\thereforeRule: All the beans from this bag are white.
Hypothesis (Abduction).
Rule: All the beans from this bag are white.
Result: These beans [oddly] are white.
\thereforeCase: These beans are from this bag.
Peirce 1883 in "A Theory of Probable Inference" (Studies in Logic) equated hypothetical inference with the induction of characters of objects (as he had done in effect before). Eventually dissatisfied, by 1900 he distinguished them once and for all and also wrote that he now took the syllogistic forms and the doctrine of logical extension and comprehension as being less basic than he had thought. In 1903 he presented the following logical form for abductive inference:
The surprising fact, C, is observed;
But if A were true, C would be a matter of course,
Hence, there is reason to suspect that A is true.
The logical form does not also cover induction, since induction neither depends on surprise nor proposes a new idea for its conclusion. Induction seeks facts to test a hypothesis; abduction seeks a hypothesis to account for facts. "Deduction proves that something must be; Induction shows that something actually is operative; Abduction merely suggests that something may be." Peirce did not remain quite convinced that one logical form covers all abduction. In his methodeutic or theory of inquiry (see below), he portrayed abduction as an economic initiative to further inference and study, and portrayed all three modes as clarified by their coordination in essential roles in inquiry: hypothesis, deductive prediction, inductive testing.

LOGIKA DEDUKTIF DAN INDUKTIF



DEDUKTIF DAN INDUKTIF
Kita sudah sedikit banyak mengenal istilah logika maupun materi-materinya. Ada yang disebut Logika Formal dan Logika Material, juga ada yang disebut Deduktif dan Induktif. Tetapi, apa yang bisa dimanfaatkan dari materi itu kalau kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari?

Logika
 
Logika adalah proses berpikir yang bertolak dari pengamatan indera (observasi empirik) yang menghasilkan sejumlah konsep dan pengertian.
Untuk memperoleh pengetahuan ilmiah dapat digunakan dua jenis penalaran, yaitu Penalaran Deduktif dan Penalaran Induktif.

Logika Deduktif
Penalaran Deduktif adalah suatu penalaran yang berpangkal pada suatu peristiwa umum, yang kebenarannya telah diketahui atau diyakini, dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus. Metode ini diawali dari pebentukan teori, hipotesis, definisi operasional, instrumen dan operasionalisasi. Dengan kata lain, untuk memahami suatu gejala terlebih dahulu harus memiliki konsep dan teori tentang gejala tersebut dan selanjutnya dilakukan penelitian di lapangan. Dengan demikian konteks penalaran deduktif tersebut, konsep dan teori merupakan kata kunci untuk memahami suatu gejala.

Contoh : Laptop adalah barang eletronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi, DVD Player adalah barang elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.

Logika Induktif
Penalaran Induktif adalah suatu penalaran yang berpangkal dari peristiwa khusus sebagai hasil pengamatan empirik dan berakhir pada suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat umum. Dalam hal ini penalaran induktif merupakan kebalikan dari penalaran deduktif. Untuk turun ke lapangan dan melakukan penelitian tidak harus memliki konsep secara canggih tetapi cukup mengamati lapangan dan dari pengamatan lapangan tersebut dapat ditarik generalisasi dari suatu gejala. Dalam konteks ini, teori bukan merupakan persyaratan mutlak tetapi kecermatan dalam menangkap gejala dan memahami gejala merupakan kunci sukses untuk dapat mendiskripsikan gejala dan melakukan generalisasi.

Contoh : Masyarakat Indonesia konsumtif (umum) dikarenakan adanya perubahan arti sebuah kesuksesan (khusus) dan kegiatan imitasi (khusus) dari media-media hiburan yang menampilkan gaya hidup konsumtif sebagai prestasi sosial dan penanda status sosial.

Premis
Premis adalah sesuatu yang telah diketahui dan diterima (teori, hukum, asumsi), premis terbagi 2, yaitu Premis mayor dan Premis minor.
1. Premis Mayor adalah dasar pemikiran yang pada umum, dan pd umumnya dapat diterima semua kalangan.
Contoh :      Kami berpegang teguh pada kebenaran-kebenaran ini, bahwa semua manusia diciptakan sederajat, bahwa mereka dianugerahi pencipta-Nya Hak-hak asasi yang melekat, di antaranya adalah kehidupan, kemerdekaan dan hak untuk mencapai kebahagiaan. Untuk melindungi hak-hak itu ini, pemerintahan-pemerintahan pun dibentuk di antara manusia, kekuasaan mereka berasal dari yang diperintah, sehingga kapan saja sebuah bentuk pemerintah menjadi bersifat merusak terhadap tujuan ini menjadi hak rakyat untuk menggantinya atau menghapuskannya, dan membentuk pemerintahan baru, yang berlandaskan prinsip-prinsip tertentu, sehingga bagi orang-orang hal ini bisa menjamin keselamatan dan kebahagiaan mereka.

2. Premis Minor muncul dari sebagian orang saja yang mungkin masih akan memunculkan pemikiran2 yang baru lagi.
Contoh :      Sekarang ini, sejarah raja Inggris Raya adalah sejarah perampasan dan kejahatan yang dilakukan secara berulang-ulang, yang memiliki tujuan langsung yaitu untuk mendirikan suatu tirani mutlak.

Kalau dilihat secara sepintas, kita mungkin tidak akan banyak dapat menggunakan analisis seperti yang telah dilakukan diatas. Tapi, sebenarnya kita justru seringkali menggunakan pola pikir tersebut. Cuma kadangkala, kita tidak menerapkannya dengan baik. Ada beberapa persoalan tentang hal ini yang menjadi sebab kenapa kita tidak dapat menggunakan logika secara praktis dan nyata.

Pertama : “kita selalu menganggap apa yang kita pikir itu benar”.
Kedua : “kita selalu menganggap apa yang dipikir orang lain salah bila bertolak belakang dengan pola pikir kita”.

Ini awal dari banyak kesalahan berpikir logika. Bahkan filsuf sekaliber Bertrand Arthur William Russell (1872-1970) pun pernah mengalami kesalahan ini. Oleh karena itu, hindarilah dua dasar pikiran yang telah dikutipkan di atas. Sebab, apapun yang kita pikirkan, ucapkan, maupun yang dinyatakan secara kukuh tetap memiliki kesalahan logis yang bersifat internal (terkandung di dalamnya) atau internal logical fallacy. (Apa tulisan ini juga begitu? Hehe... Ya, tinggal Anda nilai sendiri aja. ;-) )

Walaupun demikian, terlepas dari kasus kesalahan logis yang internal, dua dasar pikiran di atas itu sendiri sebenarnya dapat kita sebut sebagai satu jenis pola pikir baru yang berhasil dikenali dalam kajian logika. Adalah Charles Sanders Peirce (1839-1914) yang pertama kali mengenalkan cara menganalisis jenis pola pikir tersebut. Pola pikir ini bersifat "menduga" (speculation) dan diberi nama dengan Abduktif.

Bagaimana kira-kira pola pikir ini dianalisis?

Ternyata, apa yang disebut Abduktif tidak jauh berbeda dengan dua pola pikir yang telah disebutkan. Kalau kita bandingkan secara langsung antara Deduktif, Induktif, dan Abduktif, maka kita cuma melihat perbedaan yang tipis saja dan hanya bertukar posisi untuk pernyataan-pernyataannya. Berikut adalah contoh perbandingannya.

Deduksi:
(1.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(1.2) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
-----------------------------------------------------------------
(1.3) Buncis ini (adalah) putih

Induksi:
(2.1) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu
(2.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(2.3) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih

Abduksi
(3.1) Semua buncis yang berasal dari kantong itu (adalah) putih
(3.2) Buncis ini (adalah) putih
-----------------------------------------------------------------
(3.3) Buncis ini (adalah) berasal dari kantong itu

catatan:
*) kata (adalah) ini digunakan untuk menerjemahkan kata 'is'.
**) Selengkapnya, lihat dalam Umberto Eco, 1979, A Theory of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington, hal. 131-3.


Bila Anda perhatikan dengan baik, ternyata pola Deduksi, Induksi, maupun Abduksi menggunakan tiga pernyataan yang sama. Ini menunjukkan bahwa antara tiga pola pikir ini terdapat hubungan yang saling melengkapi.

Selasa, 28 Desember 2010

PERCOBAAN

PERCOBAAN (POGING)
a.   Perlunya percobaan kejahatan dipidana:
      Percobaan:
Ø Usaha hendak berbuat:
-   Orang yang telah mulai berbuat (untuk mencapai suatu tujuan) yang mana perbuatan itu tidak menjadi selesai.
-   Syaratnya perbuatan itu telah dimulai (bukan hanya sekedar niat semata)
Contoh: Hendak menebang pohon (tujuannya adalah robohnya pohon tsb), orang itu telah mulai menebang 3 atau 4 kali.
Ø Melakukan sesuatu dalam keadaan diuji:
-   Melakukan perbuatan dalam hal untuk menguji suatu kajian tertentu dibidang ilmu pengetahuan tertentu.
     Contoh: Percobaan mengembangkan jenis udang laut, percobaan obat tertentu.

Menurut Wirjono Projodikoro: percobaan (poging) berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum tercapai.
Jonkers menyatakan: mencoba berarti berusaha untuk mencapai sesuatu, tetapi tidak tercapai.
Dalam UU tidak dijumpai adanya pengertian Percobaan. (Pasal 53 (1) KUHP hanya merumuskan syarat-syaratnya untuk dapat dipidananya bagi orang yang melakukan percobaan kejahatan.
Perlunya Percobaan Kejahatan dipidana adalah:
walaupun kejahatan itu tidak terselesaikan secara sempurna:
(1) pada orang yang mempunyai niat jahat untuk melakukan kejahatan yang telah memulai melaksanakannya (sudut subyektif);
(2) pada wujud perbuatan nyata dari orang itu yang berupa permulaan pelaksanaan (sudut obyektif) dari suatu kejahatan;
dipandang telah membahayakan suatu kepentingan hukum yang dilindungi UU.
(AGAR NIAT JAHAT ORANG ITU TIDAK BERKEMBANG LEBIH JAUH)
Menurut Jonkers: mengancam pidana pada percobaan adalah bertujuan untuk pemberantasan kehendak yang jahat (niat) yang ternyata dalam perbuatan2.
Apabila tidak dirumuskan tersendiri dalam Pasal 53, maka si pembuat yang tidak menyelesaikan kejahatannya dengan sempurna tidak dapat dipidana. (dengan maksud membunuh laki2 yang dibenci karena berselingkuh dengan isterinya, dengan menabrak mobil tetapi tidak mati hanya luka berat).
b.  Apakah percobaan merupakan delik yang berdiri sendiri?
Percobaan bukanlah delik yang berdiri sendiri. Hal ini dibuktikan bahwa percobaan diatur dalam Buku I KUHP yang mengatur tentang Ketentuan Umum. Sehingga apabila seseorang dipersalahkan melakukan suatu percobaan, haruslah dituduhkan pasal terhadap perbuatan yang dikehendaki.oleh karena pasal tersebut tidak terpenuhi seluruh unsurnya disebabkan oleh tidak selesainya perbuatan tersebut, maka pasal tentang percobaan merupakan pasal yang harus diikutsertakan dalam surat dakwaan. Dengan demikian membuktikan bahwa pasal tentang percobaan tidak mungkin didakwakan secara mandiri.
Kesimpulan:
Ø Percobaan bukan unsur tindak pidana
Ø Suatu delik yang tidak mempunyai bagian akhir.
Ø Percobaan bukan memperluas rumusan delik
Ø Percobaan bukan perluasan arti dari tindak pidana
Ø Percobaan bukan delik selesai (khusus dalam delik makar dirumuskan sebagai delik selesai dan beridiri sendiri, meskipun perbuatan yang dituju belum terlaksana).
Ø Perbedaan antara Makar dan Percobaan, terletak pada alasan tidak selesainya perbuatan yang dikehendaki pelaku. Dalam Percobaan tidak selesainya perbuatan yang menjadi kehendak pelaku karena semata-mata di luar kehendak pelaku. Sedangkan dalam Makar tidak dipermasalahkan apakah tidak selesainya perbuatan tersebut karena kehendak sukarela pelaku atau di luar kehendak si pelaku.
Ø Tidak mungkin buku I KUHP didakwakan secara mandiri tanpa diikuti dengan kejahatan yang dikehendaki.

c. Syarat dipidananya pembuat percobaan kejahatan
syaratnya adalah:
1). Adanya Niat (voornemen);
Beberapa sarjana menganggap bahwa niat dalam kaitannhya dengan percobaan tidak lain adalah sama dengan kesengajaan (baik kesengajaan sebagai maksud atau tujuan; kesengajaan sebagai kepastian; dan kesengajaan sebagai kemungkinan). Pendapat demikian dianut oleh D. Hazewinkel Suringa, Van Hamel, Van Hattum, Jonkers, dan Van Bemmelen.
Pada hekikatnya niat termasuk juga seluruh kegiatan dalam pikiran si pelaku. Termasuk rencana bagaimana kehendak itu akan dilaksanakan, akibat-akibat yang mungkin akan timbul. Misal: niat untukmelakukan pembunuhan dengan memberikan roti yangmengandung racun kepada seseorang, dalam hal ini termasuk juga kesadarannya bahwa kemungkinan seluruh penghuni akan menjadi korban. Kemungkinan orang lain menjadi korban termasuk pula apa yang disebut niat pada syarat percobaan.
Jadi untuk memberikan pengertian niat sangatlah sulit, karena untuk mengetahui niat seseorang sangat sulit diketahui, dan baru diketahui apabila orang tersebut telah mewujudkan dalam perbuatan pelaksanaan ataupun sudah ada akibat yang ditimbulkan dari perbuatan yang dilakukan tersebut.
2). Adanya permulaan pelaksanaan (begin van uitvoering)
Dalam percobaan kejahatan terdapat dua ajaran yang saling berhadapan, yaitu ajaran subyektif dan ajaran obyektif, yang berbeda dalam memandang hal permulaan pelaksanaan:
1. Ajaran subyektif: bertitik tolak dari niat (ukuran batin) si pembuat artinya bahwa patutnya dipidana terhadap pencoba kejahatan adalah terletak pada niat jahat orang itu yang dinilai telah mengancam kepentingan hukum yang dilindungi UU (membahayakan kepentingan hukum).
2. Ajaran obyektif bertitik tolak dari wujud perbuatannya, artinya bahwa patut dipidananya terhadap pencoba kejahatan karena wujud permulaan pelaksanaan itu telah dinilai mengancam kepentingan hukum yang dilindungi UU (membahayakan kepentingan hukum).
Berdasarkan kedua ajaran tersebut dapat dikatakan bahwa:
1.      menurut ajaran subyektif ada permulaan pelaksanaan adalah apabila dari wujud perbuatan yang dilakukan telah nampak secara jelas niat atau kehendaknya untuk melakukan suatu tindak pidana. Misal: orang yang tidak biasa berhubungan dengan senjata tajam, suatu hari tiba-tiba mengasah pedang, dari wujud mengasah pedang ini telah tampak adanya niat untuk melakukan kejahatan dengan pedang yang diasah tersebut (membunuh orang).
2.      menurut ajaran obyektif adanya permulaan pelaksanaan apabila dari wujud perbuatan itu telah tampak secara jelas arah satu-satunya dari wujud perbuatan ialah pada tindak pidana tertentu. Misal: seseorang dihadapan orang yang dibencinya telah mengokang pistolnya dengan mengarahkan moncongsenjata itu ke arah orang yang dibencinya. Perbuatan mengokang pistol dianggap merupakan permulaan pelaksanaan dari kejahatan, sedangkan menarik pistol merupakan perbuatan pelaksanaan pembunuhan.
Ada tiga wujud perbuatan:
Terbentuknya Niat (kehendak)
1. perbuatan persiapan
2. permulaan pelaksanaan
3. perbuatan pelaksanaan —— menghasilkan tindak pidana selesai/tidak
Jadi kunci untuk menentukan apakah terjadi percobaan kejahatan ataukah belum, secara obyektif adalah pada perbuatan pelaksanaan (bukan pada permulaan pelaksanaan) hal ini dapat dilihat dari bunyi “tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri” arti dan maksud pelaksanaan dalam kalimat itu adalah perbuatan pelaksanaan.
Contoh :
A hendak membunuh B
A pergi naik taksi menuju pasar
1.      masuk ke sebuah toko
2.      di toko itu A membeli pedang
3.      A pulang ke rumahnya
4.      A mengasah pedang hingga tajam
5.      A menyimpan pedang di lemari
6.      pada malam hari A dengan membawa pedang berjalan menuju rumah B
7.      di depan rumah B A mengetuk pintu, dan dibukakan pintu oleh istri B, dan A dipersilahkan masuk, A masuk dan duduk di salah satu kursi.
8.      ketika B masuk ke ruang tamu dan duduk di kursi A cepat mencabut pedang dibalik bajunya
9.      A mengayunkan pedang ke arah leher B tapi mengenai bahu (istri B berteriak minta tolong dan tetangga berdatangan hendak menolong, A melarikan diri) dilihat dari lukanya tidak menyebabkan B meninggal.
Menurut ajaran subyektif:
Perbuatan membawa pedang yang telah diasah tajam dapat dinilai telah menunjukkan adanya niat untuk melakukan pembunuhan terhadap B, sebab pada perbuatan itu telah tampak adanya kehendak untuk membunuh. Pertimbangannya adalah:
1.      A tidak biasa berhubungan dengan senjata tajam
2.      A telah mengasah tajam pedang itu
3.      tidak lazim malam hari membawa pedang yang sebelumnya telah diasah tajam menuju rumah orang yang telah dibencinya
perbuatan nomor 1-6 masuk perbuatan persiapan, sedangkan perbuatan menuju rumah B sudah masuk dalam permulaan pelaksanaan.
Menurut ajaran obyektif:
ada 2 perbuatan yang dipandang telah membahayakan kepentingan hukum atas nyawa korban, yaitu:
1.      perbuatan mencabut pedang dari balik bajunya; (merupakan permulaan pelaksanaan)
2.      perbuatan mengayunkan pedang ke arah tubuh korban; (perbuatan pelaksanaan)
Ukuran perbuatan pelaksanaan adalah berupa perbuatan satu-satunya untuk menyelesaikan atau mewujudkan kejahatan itu, oleh sebab itu hubungannya sangat erat dan langsung dengan kejahatan.
Syarat permulaan pelaksanaan adalah perbuatan ini harus mendahului perbuatan pelaksanaan, tanpa permulaan pelaksanaan tidaklah mungkin dapat dilakukan perbuatan pelaksanaan.
Menurut Moeljatno permulaan pelaksanaan itu harus memenuhi 3 syarat:
1.      secara obyektif apa yang telah dilakukan pembuat harus mendekatkan kepada delik yang dituju. Apa yang dilakukan itu harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
2.      secara subyektif, dipandang dari sudut niat, bahwa apa yang telah dilakukan si pembuat ditujukan atau diarahkan pada delik yang tertentu.
3.      bahwa apa yang telah dilakukan oleh si pembuat merupakan perbuatan yang bersifat melawan hukum.
3). Pelaksanaan tidak selesai bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
a.   apa yang dimaksud dengan pelaksanaan
pelaksanaan atau perbuatan pelaksanaan adalah perbuatan yang didahului oleh permulaan pelaksanaan, dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang diperbuat, artinya inilah satu-satunya perbuatan yang langsung dapat melahirkan kejahatan secara sempurna, tanpa harus ada perbuatan lain.
Dalam tindak pidana formil perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang berhubungan lasngung dengan unsur perbuatan terlarang dalam rumusan tindak pidana, misalnya pada pencurian (362) perbuatan pelaksanaan adalah merupakan pelaksanaan dari perbuatan mengambil.
Dalam tindak pidana materiil perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang berhubungan dengan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat terlarang yang dirumuskan dalam uu, misal pembunuhan (338) perbuatan pelaksanaan adalah merupakan segala bentuk perbuatan yang dapat menimbulkan kematian, menembak, menusuk dsb.
b. apa yang dimaksud dengan pelaksanaan tidak selesai
Pada tindak pidana formil, pelaksanaan yang tidak selesai artinya ialah perbuatan itu telah mulai dilaksanakan yang pada saat atau sedang berlangsungnya kemudian terhenti, dalam arti apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan itu tidak terpenuhi. Pada pencurian syarat selesainya perbuatan mengambil ialah apabila dari perbuatan itu telah berpindah kekuasaan benda yang diambilnya ke dalam kekuasaannya secara mutlak dan nyata. (apabila hendak berbuat berbuat sesuatu terhadap benda itu dia langsung bisa melakukannya tanpa memerlukan perbuatan lain lebih dahulu).
Contohnya pencuri gagal membawa TV karena benda yang diangkat jatuh dan membangunkan pemiliknya, kemudian lari.
Pada penggelapan, (syaratnya bukan dari hasil kejahatan) perbuatan memiliki adalah bersifat abstrak perbuatan memiliki benda yang semula berada dalam kekuasaannya telah lepas atau berpindah dari tangannya. Contoh: pelaku telah menawarkan kepada calon pembeli sepeda motor yang dipinjam dari temannya, tetapi tidak tercapai kesepakatan harga sehingga jual beli tidak terjadi.
Pada tindak pidana materiil, pelaksanaan tidak selesai itu apabila dari wujud perbuatan itu tidak menghasilkan akibat yang terlarang. (tidak terwujudnya akibat perbuatan). Bisa jadi wujud perbuatannya tidak terhenti, melainkan telah penuh sempurna dilaksanakan seperti kejahatan selesai, misal pembunuhan (338) telah menarik pelatuk dan pistol meledak, peluru mengenai tubuhm tetapi tidak pada bagian yang mematikan, perbuatan itu tidak menimbulkan akibat matinya korban.
Pada tindak pidana materiil bisa juga pelaksanaannya terhenti seperti pada tindak pidana formil, dan tentu akibat yang terlarang tidak timbul karena akibat ini merupakan syarat esensial.
Misalnya:
1.  perbuatan menembak, dia telah manarik pelatuk senapan tetapi tidak meledak. Perbuatan menembak sempurna ialah bila memenuhi syarat: menarik pelatuk senapan dan senapan meledak.
2.  perkosaan (285), laki-laki itu memaksa untk bersetubuh dengan mengeluarkan pisau, tetapi si wanita melawan kemudian pisau terlepas dan beralih ke tangan calon korban, persetubuhan tidak terjadi.
c. apa yang dimaksud dengan bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.
Titik berat pada syarat ketiga untuk dapat dipidananya percobaan kejahatan ialah tidak selesainya pelaksanaan semata-mata disebabkan oleh hal diluar kehendaknya. Artinya apabila tidak selesainya pelaksanaan itu disebabkan oleh kehendaknya sendiri, maka orang itu tidak dipidana. Motif pengunduran diri tersebut tidak penting apakah orang tersebut takut dosa, rasa kasihan,atau takut penjara. Tetapi lain halnya jika pengunduran diri itu disebabkan adanya halangan bersifat fisik yang menekan kehendaknya sehingga terpaksa menghentikan pelaksanaan yang sedang berjalan.
Berdasarkan syarat tersebut maka:
1)      ada percobaan kejahatan yang dapat dipidana, jika memenuhi syarat2 dalam Pasal 53 ayat (1); namun ada pula percobaan kejahatan yang tidak dapat dipidana, yakni jika slah satu syarat itu tidak dipenuhi, misal pada syarat ketiga: percobaan kejahatan yang tidak selesai disebabkan karena kehendaknya sendiri atau pengunduran diri sukarela (vrijwillige terugtred).
2)     ada percobaan yang secara tegas oleh UU ditetapkan sebagai percobaannya tidak dipidana. Misal: percobaan penganiayaan biasa (Pasal 351 ayat (5), percobaan penganiayaan hewan (Pasal 302 ayat (4), percobaan perang tanding (Pasal 184 ayat (5).
3)     Percobaan melakukan pelanggaran tidak dipidana (ditegaskan dalam Pasal 54), karena sedemikian kecil (ringan, tidak seberapa) kepentingan hukum yang dilanggar atau akibat hukum yang akan ditimbulkan oleh suatu percobaan.
4)     Percobaan kejahatan yang dapat dipidana hanya pada tindak pidana dolus, dan tidak mungkin pada tindak pidana culpa.
5)     Percobaan tidak dapat terjadi pada tindak pidana pasif (tindak pidana omisionis), sebab tindak pidana omisionis unsur perbuatannya adalah tidak berbuat, yang dengan tidak berbuat itu melanggar suatu kewajiban hukumnya. Sedangkan pada percobaan kejahatan harus ada permulaan pelaksanaan, yang in casu harus berbuat.
6)     ada beberapa kejahatan yang karena sifat kejahatan dalam rumusannya tidak mungkin dapat terjadi percobaan, yaitu:
1.      karena percobaannya dirumuskan sebagai atau merupakan kejahatan selesai, yaitu kejahatan2 makar (Pasal 104, 106, 107 juncto 87)
2.      karena unsur perbuatan yang dilarang dari kejahatan pada dasarnya adalah berupa percobaan, misal pasal 163 bis ayat (1); Pasal 391.
d.  Perbuatan-perbuatan yang seolah-olah atau mirip percobaan (PERSISTIWA MIRIP PERCOBAAN)
a)  PERCOBAAN TIDAK MEMADAI (ONDEUGDELIJKE POGING)
-Percobaan tidak mampu
-Percobaan tidak mungkin
-Percobaan yang tidak sempurna
adalah: suatu perbuatan meskipun telah ada perbuatan yang dianggap permulaan pelaksanaan, akan tetapi oleh karena sesuatu hal, bagaimanapun perbuatan yang diniati itu tidak mungkin terlaksana.
Atau: suatu perbuatan yang merupakan percobaan, akan tetapi melihat sifat dari peristiwa itu tidak mungkin pelaksanaan perbuatan yang diniati akan terlaksana sesuai dengan harapannya.
Hal ini ada 2 penyebab tidak sempurnanya percobaan tersebut:
1. karena sarananya yang tidak sempurna
2. karena sasarannya tidak sempurna.
1)      ketidak sempurnaan sarana secara mutlak (alatnya tidak mampu secara mutlak)
A ingin membunuh B dengan menggunakan racun. Pada saat B lengah A memasukkan racun ke dalam minuman B. akan tetapi B tetap hidup karena ternyata yang dimasukkan ke dalam minuman B bukan racun tetapi gula.
2)      ketidak sempurnaan sarana secara nisbi (alatnya tidak mampu secara relatif)
A. berniat membunuh B dengan menggunakan racun, ternyata setelah dimunum oleh B, ia hanya sakit perut saja, hal ini mungkin disebabkan karena dosisnya kurang (tidak mencukupi) atau B mempunyai daya tahan yang kuat terhadap racun tersebut.
3)      ketidak sempurnaan sasaran secara mutlak (sasarannya tidak mampu secara mutlak)
A hendak membunuh B, pada suatu malam A yang mengira B tidur ditembaknya beberapa kali, sehingga A yakin B telah meninggal kena tembakannya, ternyata menurut visum dokter B sudah meninggal sebelum kena tembakan A tersebut, dikarenakan B terkena serangan jantung. (berarti A telah menembak mayat). (menembak musuh lupa mengisi peluru)
4)      ketidak sempuirnaan sasaran secara nisbi (sasarannya tidak mampu secara relatif)
A hendak membunuh B, karena B pernah menyakiti hatinya, tetapi setelah A menusuk dengan pisau, ternyata pisau itu bengkok karena B memakai rompi besi.
Menurut teori subyektif: tidak ada perbedaan antara ketidak sempurnaan mutlak maupun nisbi. Keduanya sudah dianggap membahayakan kepentingan hukum sehingga keduanya dapat dipidana.
Teori Obyektif: hanya ketidak sempurnaan secara mutlak saja yang tidak dapat dipidana, sebab dalam keadaan bagaimanapun tidak mungkin menyelesaikan kejahatan yang menjadi niat pelaku. Karena itu dianggap tidak ungkin membahayakan kepentingan hukum. Sedangkan ketidak sempurnaan nisbi, sebenarnya telah sampai pada penyelesaian kejahatan yang diniati pelaku, hanya saja ada suatu keadaan sedemikian rupa sehingga kemungkinan penyelesaiannya berkurang. Hal demikian telah membahayakan kepentingan hukum sehingga pelaku perlu dipidana.
b)  MANGEL AM TATBESTAND
Adalah: suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju. (disini telah terjadi kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana) ex: menucuri barang yang dikira milik orang lain ternyata miliknya sendiri. Laki-laki yang kawin lagi yang dikira telah melanggar larangan poligami tetapi ternyata isterinya telah meninggal terlebih dulu.
Hal ini tidak terjadi kejahatan, dan juga tidak mungkin terjadi percobaan (karena telah selesai melakukan perbuatan)
c)  PUTATIEF DELICT
Adalah terjadinya kesalahpahaman terhadap salah satu unsur tindak pidana. Atau suatu kesalahpahaman bagi orang yang melakukan suatu perbuatan yang dikiranya telah melakukan tindak pidana, padahal sebenarnya perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Ex: mengambil barang secara diam2 yang semula dipinjamkan kepada orang lain.
d)  PERCOBAAN SELESAI, TERTUNDA, DAN DIKUALISIR
1)   PERCOBAAN SELESAI:
melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksnaannya sudah begitu jauh sama seperti tindak pidana selesai, akan tetapi oleh sebab su\esuatu hal tindak pidana itu tidak terjadi. Dikatakan percobaan, sebab tindak pidana yang dituju tidak terjadi, dikatakan selesai karena pelaksanaannya sesungguhnya sama dengan dengan pelkaksanaan yang dapat menimbulkan tindak pidana selesai. Ex: A hendak membunuh B, telah mengrahkan, pelatuk telah ditarik, senapan telah meletup, peluru telah melesat, tetapi tidak mengenai sasaran B.
2)   PERCOBAAN TERTUNDA,
adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan. Ex: seorang pencopet yang telah mengulkurkan tangannya, memegang dompet, tangannya dikupul oleh pemiliknya. (kasus ini benar2 percobaan dapat dipidana)
3)   PERCOBAAN YANG DIKUALIFISIR,
adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya mrpk tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju. Ex: orang hendak membunuh tetapi tidak mati, melainkan luka berat

ANTARA PERCOBAAN, MAKAR DAN PERMUFAKATAN JAHAT
1.      Makar menurut Pasal 87 KUHP: “dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan, seperti dimaksud pasal 53″
Syarat makar:
a.       ada niat
b.      ada permulaan pelaksanaan
berbeda dengan percobaan: yaitu unsur ketiga (c ) yaitu tidak selesainya kejahatan semata mata bukan dari kehendak pelaku, hal ini tidak diysratkan dalam makar.
2.  Dalam pasal 53 dengan tegas dikatakan bahwa percobaan melakukan kejahatan dipidana, artinya sudah merupakan ketentuan bahwa siapapun yang melakukan percobaan kejahatan akan dipidana. Dalam makar tidak demikian halnya. Pasal 87 hanya menjelaskan apa syarat/unsur perbuatan yang dianggap sebagai makar. Sehingga pemenuhan unsur makar tidak dipidana, hanya terhadap perbuatan-perbuatan tertentu sesrorang diancam pidana, seperti Pasal 104, 106-108 KUHP.
3. Percobaan bukan delik selesai/mandiri (dapat dipidana kalau memenuhi ketiga syarat yang ditentukan), Makar dianggap delik yang beridiri sendiri, salah satu syarat saja sudah dapat dipidana, misalnya niat saja. Hal ini karena niat saja sudah dianggap begitu besar bahaya kepentingan hukum yang akan dilanggar (pasal 104 dst)
4. Permufakatan jahat (samenspanning)
a. Pasal 88 KUHP : “dikatakan ada permufakatan jahat, apabila dua orang atau lebih telah sepakat akan melakukan kejahatan”
b. Syarat permufakatan jahat:
1) ada niat
2) ada kesepakatan 2 orang atau lebih untuk melakukan kejahatan
c. Pasal 88 tidak menyebutkan adanya permulaan pelaksanaan dari niat tersebut.
d. Tidak menyebutkan kejahatan itu selesai atau tidak.
e. Pasal 88 hanya menjelaskan pengertian permufakatan jahat, tidak menjelaskan permufakatan jahat dapat dipidana.
Apabila A mengatakan kepada B: ayo nanti malam kita merampok, B menjawab Ayo, perbuatan mereka belum dapat dipidana, baru merupakan permufakatan jahat saja (pasal 88)
f.  Permufakatan jahat diancam pidana (pasal 110) apabila ditujukan terhadap pasal 104, 106-108)
g. Niat saja dalam hukum ketatanegaraan dianggap amat membahayakan kepentingan   hukum suatu bangsa