Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Rabu, 27 April 2011

Penegakan UU No.5 Tahun 1990

BAB I
PENDAHULUAN

1. Permasalahan
a. Latar belakang masalah
Lingkungan hidup makin banyak menarik perhatian masyarakat luas. Baik kalangan pemerintah, universitas, media massa maupun masyarakat umum membicarakannya. Permasalahan lingkungan mendapat perhatian yang sangat besar di hampir semua negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ini terutama terjadi dalam dasawarsa 1970-an setelah diadakannya Konperensi PBB tentang lingkungan hidup di Stockholm dalam tahun 1972. Dalam konperensi Stockholm telah disetujui banyak resolusi tentang lingkungan hidup yang digunakan sebagai landasan tindak lanjut. Salah satu diantaranya ialah didirikannya badan khusus dalam PBB yang ditugasi untuk mengurus permasalahan lingkungan, yaitu United Nations Environmental Programme, disingkat UNEP. Badan ini bermarkas di Nairobi, Kenya.[1]

1
Perhatian tentang lingkungan hidup di Indonesia, telah mulai muncul di media massa sejak tahun 1960-an. Pada umumnya berita itu berasal dari dunia barat yang dikutip oleh media massa kita, oleh karena berita itu berasal dari dunia barat, masalah lingkungan yang diliput oleh media massa adalah terutama yang mengenai pencemaran.[2] Tonggak sejarah tentang permasalahan lingkungan hidup di Indonesia ialah diselenggarakannya Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Pembangunan Nasional oleh Universitas Padjajaran di Bandung pada tanggal 15-18 Mei 1972. Seminar itu merupakan seminar tentang lingkungan hidup yang pertama kalinya diadakan di Indonesia.
Berbicara mengenai permasalahan lingkungan hidup, tidak terlepas dengan hubungan timbal balik antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Jadi, pada hakekatnya yang menjadi perhatian ialah masalah ekologi, karena aktivitas apapun yang berhubungan dengan makhluk hidup, terutama manusia, selalu memiliki fungsi, peranan, dan kedudukan yang berkaitan dengan lingkungan.
Secara etimologi, kata ekologi berasal dari dua suku kata bahasa Yunani, yaitu: “oikos” yang artinya rumah tangga dan “logos” yang artinya ilmu. Jadi secara etimologi, ekologi merupakan suatu ilmu tentang rumah tangga makhluk hidup; atau ilmu tentang makhluk hidup di dalam rumah tangganya.[3] Karena inti permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan timbal balik antara makhluk hidup, khususnya manusia dengan lingkungan hidupnya, dan ilmu tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya disebut dengan ekologi, sehingga permasalahan lingkungan hidup pada hakekatnya adalah permasalahan ekologi.
Konsep sentral dalam ekologi ialah ekosistem, yaitu suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Menurut Mohammad Taufik Makarao, ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuh menyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.[4] Dalam sistem ini, semua komponen bekerja secara teratur sebagai suatu kesatuan.[5] Ekosistem terbentuk oleh komponen hidup dan takhidup di suatu tempat yang berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang teratur.[6]
Masing-masing komponen itu mempunyai fungsi, dan selama masing-masing komponen itu melakukan fungsinya dan bekerja sama dengan baik, keteraturan ekosistem itu pun terjaga dan ekosistem tersebut ada dalam suatu keseimbangan tertentu yang bersifat dinamis yang selalu dapat berubah-ubah. Kadang perubahan itu besar, kadang kecil, yang dapat terjadi secara alamiah, maupun sebagai akibat dari perbuatan manusia. Dengan konsep ekosistem, unsur-unsur dalam lingkungan hidup tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi terintegrasi sebagai komponen yang saling berkaitan dalam suatu sistem.
Permasalahan lingkungan hidup yang kini menjadi permasalahan dunia tidak terlepas dari adanya pengelolaan terhadap lingkungan hidup yang tidak terkontrol dengan baik. Dampak negatif yang muncul dalam pengelolaan lingkungan hidup tidak terlepas dari hakekat pembangunan yang secara sadar melakukan pemanfaatan sumber daya alam untuk dapat mencapai tujuan pembangunan.. Di dalam mengelola atau memanfaatkan lingkungan hidup, “tidak jarang manusia tertarik dan terpesona oleh tujuan yang dikejarnya saja sehingga tidak menyadari akibat-akibat sampingannya” berupa resiko yang bersifat langsung muncul maupun “laten” bagi kelanjutan kehidupan manusia beserta generasi di masa mendatang.[7]
Pembangunan dengan lingkungan hidup memang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, baik dari segi manfaat maupun segi pengaruh negatif dari hasil sampingan yang diberikan secara bersamaan. Mengingat akan keterkaitannya tersebut, berbagai usaha dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai penanggung jawab utama dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia untuk dapat memperkecil dampak negatifnya agar tercipta lingkungan hidup yang baik dan sehat. Salah satu wujud usahanya adalah berupa penetapan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup, seperti misalnya Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (selanjutnya disebut UU Konservasi).
Bangsa Indonesia dianugerahi Tuhan Yang Maha Esa kekayaan berupa sumber daya alam yang berlimpah, baik di darat, di perairan maupun di udara yang merupakan modal dasar pembangunan nasional di segala bidang. Modal dasar sumber daya alam tersebut harus dilindungi, dipelihara, dilestarikan, dan dimanfaatkan secara optimal bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia pada khususnya dan mutu kehidupan manusia pada umumnya menurut cara yang menjamin keserasian, keselarasan dan keseimbangan, baik antara manusia dengan Tuhan penciptanya, antara manusia dengan masyarakat maupun antara manusia dengan ekosistemnya, sehingga pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sebagai bagian dari modal dasar tersebut pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila.
Sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang terdiri dari alam hewani, alam nabati ataupun berupa fenomena alam, baik secara masing-masing maupun bersama-sama mempunyai fungsi dan manfaat sebagai unsur pembentuk lingkungan hidup, yang kehadirannya tidak dapat diganti.
Mengingat sifatnya yang tidak dapat diganti dan mempunyai kedudukan serta peranan penting bagi kehidupan manusia, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya adalah menjadi kewajiban mutlak dari tiap generasi untuk melindunginya. Seperti misalnya di Taman Nasional Bali Barat sebagai kawasan konservasi sumber daya alam hayati yang harus dijaga dari tindakan yang tidak bertanggung jawab yang dapat menimbulkan kerusakan pada kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam ataupun tindakan lain yang melanggar ketentuan UU Konservasi, diancam dengan pidana yang berat berupa pidana badan dan denda. Pidana yang berat tersebut dipandang perlu karena kerusakan atau kepunahan salah satu unsur sumber daya alam hayati dan ekosistemnya akan mengakibatkan kerugian besar bagi masyarakat yang tidak dapat dinilai dengan materi, sedangkan pemulihannya kepada keadaan semula tidak mungkin lagi. Akibat dari sifatnya yang luas dan menyangkut kepentingan masyarakat secara keseluruhan, maka upaya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah serta masyarakat.
Konservasi hutan adalah bertujuan untuk memastikan fungsi utama perlindungan kawasan hutan terjamin seperti perlindungan tanah, perlindungan kawasan tadahan air, dan kestabilan cuaca. Dalam penerapan hukum konservasi hutan, kondisi utama yang dikehendaki bersama adalah berlangsungnya keutuhan dan fungsi hutan sebagai penunjang ekologi dalam pembangunan nasional. Karena itu, hutan beserta fungsi dan peranannya harus dikelola secara rasional, terencana dan terpadu antara lain melalui sistem kebijaksanaan pengelolaan hutan secara lestari.[8] Berhasilnya konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya berkaitan erat dengan tercapainya tiga sasaran konservasi, yaitu:
a. Menjamin terpeliharanya proses ekologis yang menunjang sistem penyangga kehidupan bagi kelangsungan pembangunan dan kesejahteraan manusia (perlindungan sistem penyangga kehidupan);
b. Menjamin terpeliharanya keanekaragaman sumber genetik dan tipe-tipe ekosistemnya sehingga mampu menunjang pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi yang memungkinkan pemenuhan kebutuhan manusia yang menggunakan sumber daya alam hayati bagi kesejahteraan (pengawetan sumber plasma nutfah);
c. Mengendalikan cara-cara pemanfaatan sumber daya alam hayati sehingga terjamin kelestariannya (pemanfaatan secara lestari). [9]
Aktivitas-aktivitas menggalakkan perlindungan hutan termasuk rehabilitasi kawasan hutan dengan habitat kepelbagaian spesies fauna dan flora yang unik untuk tujuan memulihkan fungsi ekologi kawasan tersebut. Akibat sampingan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kurang bijaksana, belum harmonisnya penggunaan dan peruntukan tanah serta belum berhasilnya sasaran konservasi secara optimal, baik di darat maupun di perairan dapat mengakibatkan timbulnya gejala erosi genetik, polusi, dan penurunan potensi sumber daya alam hayati, dan terganggunya habitat asli di kawasan konservasi.
Frekwensi kejahatan yang terjadi di kawasan konservasi yang semakin hari semakin meningkat, dimana sering kita jumpai di media cetak mengenai kasus pembalakan liar dan kasus perburuan satwa langka di kawasan konservasi taman nasional Bali barat. Menurut catatan Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Departemen Kehutanan, polulasi Jalak Bali pada tahun 1942 diperkirakan masih sekitar 1.000 ekor dengan luas habitat sekitar 370 kilometer persegi, Pada era 1990-an, populasinya menyusut menjadi 100 ekor dengan luas habitat sekitar 16 kilometer persegi, namun pada tahun 2005 jumlahnya tinggal 13 ekor dengan luas habitat sementara habitatnya tinggal tiga kilometer saja. Bahkan survei yang melibatkan peneliti dari LIPI dan para pecinta burung, termasuk Forum Konservasi Satwa Liar Indonesia pada Januari 2005, hanya menemukan lima ekor saja. Termasuk satu Jalak Bali yang ditemukan tanpa cincin melingkar di pergelangan kakinya (berdasarkan data yang diperoleh dari kantor Taman Nasional Bali Barat)
Catatan Kompas menunjukkan, 39 Jalak Bali dicuri komplotan pencuri Jalak Bali pada tahun 1999. Agustus 2000, sebanyak 13 Jalak Bali kembali dicuri dari Pusat Penangkaran Jalak Bali di Tegal Bunder.[10] Selama tahun 2006 terdapat enam kasus penangkapan Jalak Bali secara ilegal yang ditangani pengelola TNBB bersama kepolisian setempat.[11]
Pada tahun 2007, berdasarkan laporan perkembangan penanganan kasus dari Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Bali Barat selama tahun 2006-2007, diketahui terdapat 9 kasus, yaitu dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:
Tabel 1.1 Register Perkara Balai TNBB Tahun 2006-2007

No.TersangkaUraian KasusBarang BuktiPasal yang dilanggarAncaman PidanaRincian Hukuman
JmlJenis
1.I Nengah DelaMengambil, mengeluarkan dan mengangkut tumbuhan sentigi dengan menggunakan sepeda motor3SentigiPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/19996 bln penjara 3 bln penjara dan denda sebesar Rp. 200.000 subsider 1 bulan kurungan
2.Safi’i Fatwadi als Rido, YudiPencurian Terumbu Karang170Karang LautPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 11 bln penjara4 bln penjara dan denda sebesar Rp. 1.000.000 subsider 1 bulan kurungan
3.Komang SalendraPenangkapan Satwa Burung Raja Udang, Perkutut, Tekukur, dan Kadalan5Raja Udang, Perkutut, Tekukur, dan KadalanPsl 21 ayat (2) UU No. 5/1990 6 bln penjara2 bln 10 hari penjara dan denda sebesar Rp. 200.000 subsider 3 bulan kurungan
4.Ngurah Ardita, Nyoman Sutama dan Putu DarmaMenebang Pohon Tangi5Kayu Tangi dan KlampuakPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf e UU 41/19998 bln penjaraPt.Darma dan Nyoman Sutama 6 bln dan denda Rp 500.000 subsider 1 bln kurungan. Ngurah Ardita 9 bln dan denda 500.000 subsider 1 bln kurungan
5.Amir Irsal, Imam Bohori dan HusainiPengangkutan Kayu Kajimas dengan menggunakan truk tanpa SKSHH85Kayu KajimasPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/199910 bln penjaraHusaini 4 bln dan denda Rp. 250.000 subsider 15 hari kurungan. Amir Irsal dan Imam Bohori 3 bln 24 hari dan denda Rp.250.000 subsider 15 hari kurungan
6.IpanPencarian Ikan Hias17Ikan Hias Abuliris, Dokter, Jagungan, Udang Kaca, dllPasal 21 ayat (2) UU No. 5 tahun 19908 bln penjara6 bln penjara dan denda Rp. 200.000 subsider 2 bln kurungan
7.Kadek Rai Artana dan Ketut Hadi BudianaPengangkutanKayu Majagahu13Kayu MajagahuPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/19998 bln penjaraMasih Proses
8.I Wayan TilerPengangkutan Kayu Buluh8 Kayu BuluhPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf h UU 41/19996 bln penjaraMasih Proses
9.SumarnoPenebangan Kayu Balangan13Kayu BalanganPsl 21 ayat (1) UU No. 5/1990 jo. Psl 50 ayat (3) hrf e UU 41/19996 bln penjaraMasih Proses

Sumber : Departemen Kehutanan Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Balai Taman Nasional Bali Barat
Dalam tabel tersebut terlihat bahwa, lemahnya penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan di kawasan konservasi, dimana rata-rata hukuman yang diterima pelaku adalah bervariasi dari pidana penjara 2 bulan sampai dengan yang paling tinggi dijatuhkan adalah 9 bulan penjara dengan denda sebesar Rp. 200.000,- dan paling tinggi Rp. 1.000.000,-. Padahal kejahatan yang dilakukan itu terhadap tumbuh-tumbuhan dan satwa yang bernilai tinggi.
Kondisi demikian tentu tak luput dari kerusakan TNBB sebagai habitatnya. Salah satunya diakibatkan oleh penebangan liar (illegal logging), baik dalam bentuk kayu gelondongan ataupun kayu bakar. Kondisi itu diperkuat lagi dengan adanya penemuan kayu-kayu tak bertuan di dalam hutan, yang merupakan hasil penebangan liar. Sedikitnya sejak Juli hingga September 2001 tim PKH telah berhasil mengamankan kayu hasil curian sebanyak 1570 batang atau setara dengan 127,377 meter kubik.[12]
Akibat dari banyak terjadinya pelanggaran di kawasan tersebut dan sanksi hukum terhadap pelanggar UU Konservasi banyak yang tidak berjalan sebagaimana mestinya, membuat banyak kalangan mempertanyakan efektifitas penerapan UU Konservasi.
Bertolak dari pemikiran di atas, maka persoalan mengenai efektivitas penegakan UU Konservasi dalam pelaksanaan perlindungan kawasan konservasi Taman Nasional, khususnya Taman Nasional Bali Barat menjadi topik yang sangat menarik untuk dikaji lebih jauh lagi karena begitu pentingnya kawasan konservasi tersebut sebagai penyangga kehidupan, sehingga penulis tertarik untuk mengkaji tentang: “Penegakan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya Dalam Upaya Pelaksanaan Konservasi Taman Nasional Bali Barat (Suatu Tinjauan Hukum Pidana)”.
b. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan seperti yang dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya di Taman Nasional Bali Barat ?
2. Kendala apa yang dihadapi petugas/aparat penegak hukum dan bagaimana upaya penanggulangannya dalam rangka penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya di Taman Nasional Bali Barat ?
2. Landasan Teoritis dan Hipotesis
a. Landasan teoritis
Landasan teori merupakan teori-teori yang mendasari uraian atau permasalahan yang dikemukakan, dimana teori menjadi pegangan pokok secara umum yang disusun dalam suatu pemikiran. Landasan teoritis berupa teori-teori hukum atau pendapat-pendapat ilmuwan dan hasil-hasil penelitian yang harus disusun sedemikian rupa sehingga terkait dengan permasalahan yang diajukan. Teori-teori atau konsep yang melatarbelakangi penulisan skripsi ini adalah mengacu pada teori-teori hukum, efektifitas, keberlakuan hukum dan teori pemberdayaan (masyarakat).
Aristoteles (384-422 M) seorang filsuf Yunani kuno mengatakan dalam ajaran bahwa manusia itu adalah zoon politicon.[13] Artinya bahwa manusia itu sebagai makhluk pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan sesama manusia lainnya, jadi makhluk yang suka bermasyarakat. Karena sifatnya yang suka bergaul satu sama lainnya, maka manusia disebut makhluk sosial. Lebih jauh Kansil mengatakan bahwa manusia sebagai individu (perorangan) mempunyai kehidupan jiwa yang menyendiri, namun manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat. Manusia lahir, hidup, berkembang dan meninggal dunia dalam masyarakat.[14]
Berdasarkan kedua pendapat ahli sosiologi diatas, dapat diketahui bahwa manusia secara kodrati hidup berkelompok (bermasyarakat). Dalam bermasyarakat, manusia mengadakan interaksi satu sama lainnya. Selain berinteraksi dengan manusia lainnya, manusia juga berinteraksi dengan alam sekitarnya. Untuk menjaga keseimbangan alam sekitarnya, manusia bertanggungjawab menjaga agar keseimbangan alam tetap terjaga.
Dalam upaya mengisi dan mengembangkan hidupnya, manusia memiliki dua sifat, yakni sifat baik dan buruk. Sifat buruk inilah yang menyebabkan terjadinya suatu benturan kepentingan dalam suatu interaksi yang menyebabkan suatu perselisihan, pertikaian yang mengganggu keserasian hidup, sehingga manusia membutuhkan suatu aturan untuk tetap menjaga hubungan tersebut tetap harmonis. Aturan tersebut memberi petunjuk manusia bagaimana bertingkah laku dan bertindak dalam masyarakat, aturan tersebut bersifat memaksa dan mengatur untuk menjaga dan menjamin tata tertib dalam masyarakat, yang dinamakan peraturan hukum. Hukum itu sendiri berfungsi untuk mengatur hubungan antara manusia agar segala kehidupan di dalam masyarakat berjalan lancar.[15] Jadi dimana ada masyarakat disitu ada hukum. Ubi societas ibi ius.[16]
Menurut J.C.T Simorangkir dan Woerjono Sastropranoto, hukum adalah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.[17]
Selain dapat terjadi benturan kepentingan dalam hubungan interaksi antara manusia dengan manusia lainnya, dalam hubungan dengan alam sekitarpun dapat terjadi suatu benturan yang mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem. Untuk mengatur dan menjaga keseimbangan interaksi antara manusia dengan alam sekitarnya, maka perlu dibentuk suatu aturan hukum dan norma yang mengatur mengenai hal tersebut. Salah satu misalnya adalah aturan yang mengatur perlindungan kawasan konservasi sebagai fungsi utama perlindungan kawasan hutan yang merupakan sistem penyangga kehidupan, dimana aturan ini dituangkan dalam bentuk Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya.
Adakalanya suatu Undang-undang yang dibentuk tidak dapat menyentuh rasa keadilan dan penerapannya tidak efektif di masyarakat. Efektivitas dalam pengertian ini adalah “berfungsinya hukum dalam masyarakat”.[18] Efektifitas terkait dengan sanksi, oleh Schwarts dan Orleans, mengatakan bahwa:
1. Sanksi negatif (c.q. hukuman) mengurangi pelanggaran, baik yang dilakukan oleh pelanggar maupun pihak-pihak lainnya
2. Semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajad efektifitasnya
3. Sanksi negatif dapat diterapkan tanpa mengakibatkan terjadinya kerugian
4. kemungkinan-kemungkinan lain tidak dapat dianggap sebagai suatu alternatif yang sederajad dengan penerapan sanksi negatif. [19]
Menurut Gelding Theory, ada tiga syarat berlakunya kaedah hukum, yaitu:
(a) Kaedah hukum berlaku secara yuridis, artinya aturan yang ada harus didasarkan pada kaedah hukum yang lebih tinggi (Stuffen Bouw Theory oleh Hans Kelsen);
(b) Kaedah hukum berlaku secara sosiologis, artinya kaedah hukum tersebut berlaku dalam masyarakat sesuai dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat, dimana kaedah hukum tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori kekuasaan) dan dapat pula karena adanya pengakuan dan penerimaan oleh masyarakat kepada siapa kaedah hukum tersebut diberlakukan (teori pengakuan);
(c) Kaedah hukum berlaku secara filosofis, artinya suatu kaedah hukum harus berdasarkan pada cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi.
Menurut Soerjono Soekanto, agar suatu kaedah hukum atau peraturan hukum benar-benar dapat berfungsi (efektif) dengan baik, maka paling sedikit harus memenuhi empat faktor, yaitu:
1. Kaedah hukum atau peraturan hukum itu sendiri;
2. Petugas yang menegakkan atau yang menerapkan aturan hukum tersebut;
3. Fasilitas yang diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan kaedah hukum, dan
4. Warga masyarakat.[20]
Faktor pertama dan kedua merupakan faktor yuridis dan faktor ketiga dan keempat merupakan faktor non-yuridis. Faktor terakhir inilah yang sulit menyesuaikan diri dengan hukum, yang disebabkan perbedaan cara berpikir, kemampuan intelektual, tingkat pendidikan dan kepentingan yang berbeda-beda masing-masing orang dalam masyarakat. Efektivitas suatu peraturan perundang-undangan berkaitan erat dengan kesadaran hukum dan kepatuhan hukum masyarakat.
Kesadaran hukum merupakan kesadaran akan nilai-nilai yang terdapat dalam diri manusia tentang hukum yang diharapkan ada.[21] Kesadaran hukum ini biasanya dipengaruhi oleh tingkat pengetahuan atau pendidikan seseorang, namun tidak selalu demikian. Terkadang seseorang memiliki pengetahuan yang cukup, namun kepatuhannya terhadap hukum kurang. Sehingga diperlukan pemberdayaan terhadap masyarakat untuk dapat memiliki kesadaran dan kepatuhan terhadap hukum.
Pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk memotivasi masyarakat untuk menyadari hak dan kewajiban serta meningkatkan partisipasi dan peran serta masyarakat dalam perlindungan kawasan konservasi. Pemberdayaan masyarakat mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan kepada proses memberikan, mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu lebih berdaya. Proses ini biasanya melalui suatu organisasi. Kedua, pemberdayaan yang menekankan pada proses stimulus, yaitu menstimulasi, mendorong, memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya menjadi proses dialog.
Dari uraian diatas dapat ditemukan landasan pemikiran dalan tulisan ini sebagai berikut:
1. Adanya asas ubi societas ibi ius (dimana ada manusia disitu ada hukum). Hukum melekat pada manusia, baik manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon) maupun manusia sebagai makhluk alam semesta.
2. Efektivitas berlakunya suatu peraturan perundang-undangan, terkait dengan penerapan peraturan tersebut dalam praktek, yaitu “berfungsinya hukum dalam masyarakat” dan dapat dilihat dari kekuatan sanksi dari aturan hukum, dimana semakin keras sanksi negatif, semakin tinggi derajad efektifitasnya.
3. Menurut Gelding Theory, ada tiga syarat berlakunya kaedah hukum, yaitu:
(a) Kaedah hukum berlaku secara yuridis
(b) Kaedah hukum berlaku secara sosiologis
(c) Kaedah hukum berlaku secara filosofis
4. Efektifnya suatu kaedah hukum pada tingkat penerapannya ditentukan oleh:
(a) Kaedah hukum itu sendiri;
(b) Petugas yang menjalankan atau yang menerapkannya;
(c) Fasilitas pendukung pelaksanaan kaedah hukum, dan
(d) Warga masyarakat.
b. Hipotesis
Hipotesis merupakan kesimpulan sementara yang harus dibuktikan kebenarannya dengan data empiris. Hipotesa juga merupakan suatu jawaban yang dianggap besar kemungkinannya benar, karena hipotesis merupakan petunjuk sementara pemecahan masalah.[22]
Berdasarkan landasan teori diatas, penulis membuat kesimpulan sementara sehubungan dengan beberapa masalah pokok dalam penelitian ini, sebagai berikut:
1. Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Undang-undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, yaitu kaedah hukum itu sendiri, petugas yang menjalankan atau yang menerapkannya, fasilitas pendukung pelaksanaan kaedah hukum, dan warga masyarakat.
2. Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat dan upaya yang dapat ditempuh dalam menanggulangi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat, yaitu:
a. Kendala yang dihadapi dalam upaya perlindungan kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat yaitu terbatasnya jumlah polisi kehutanan yang menjaga kawasan konservasi seluas 19.002,89 sehingga menyulitkan petugas untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas yang dapat menggangu ekosistem kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat, serta sarana dan prasarana penunjang yang masih terbatas dan kurang untuk melakukan pengawasan terhadap segala bentuk tindak pelanggaran dan kejahatan yang dapat menggangu ekosistem kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat dan juga karena kebiasaan masyarakat sekitar memanfaatkan hasil hutan dan melakukan penebangan hutan sebagai mata pencaharian, dan minimnya
b. Upaya yang dapat ditempuh dalam menanggulangi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat adalah dengan dengan melakukan upaya preventif, upaya represif dan upaya pre-emtif
3. Tujuan Penulisan
a. Tujuan umum
Untuk mengetahui efektifitas penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dalam menanggulangi pelanggaran dan kejahatan di kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat.
b. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya di Taman Nasional Bali Barat
2. Untuk mengetahui dan menganalisa kendala yang dihadapi petugas dalam rangka penegakan Undang-undang No. 5 tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya dan upaya yang ditempuh untuk menanggulangi pelanggaran dan kejahatan yang terjadi di kawasan konservasi Taman Nasional Bali Barat
4. Metode Penelitian
a. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah berupa penelitian empiris. Pendekatan ini dilakukan terhadap suatu masalah yang ditinjau dari segi hukum dan kemudian dihubungkan dengan praktek penerapannya didalam masyarakat.
b. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah Taman Nasional Bali Barat, yang berlokasi di Cekik Gilimanuk, Kabupaten Jembrana. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/1995 tanggal 15 September 1995, luas Taman Nasional Bali Barat sebesar 19.002,89 Ha yang terdiri dari 15.587,89 Ha wilayah daratan dan 3.415 Ha wilayah perairan.
c. Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah aparat penegak hukum dalam kantor Taman Nasional Bali Barat, dan warga masyarakat di kawasan konsevasi Taman Nasional Bali Barat. Untuk mendapatkan sampel dari populasi tersebut, ditentukan melalui metode random sampling sejumlah responden, dengan sampel sebanyak 100 orang responden.
d. Pendekatan masalah
Pendekatan terhadap masalah hukum dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan masalah secara yuridis empiris. Pendekatan yuridis dilakukan karena dalam mencari data, berpegang pada segi-segi yuridis dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pendekatan secara empirik merupakan penelitian yang dilakukan dengan interaksi sosial dan data di lapangan dengan melihat dari segi kenyataan-kenyataan yang terjadi dalam masyarakat.
e. Sumber data
Sumber data yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini diperoleh dari:
  1. Data Lapangan
Data lapangan ini diperoleh melalui penelitian lapangan (field research) yang dilakukan dengan mengadakan wawancara secara langsung kepada informan di Kantor Taman Nasional Bali Barat dan menyebarkan kuisioner kepada sejumlah responden dari warga masyarakat yang bertempat tinggal di kawasan konservasiTaman Nasional Bali Barat.
  1. Data Kepustakaan
Data kepustakaan ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan seperti: Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419), Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888), Undang-undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699), dan Peraturan lainnya yang terkait dengan permasalahan diatas. dan juga dapat ditunjang dengan buku, majalah, hasil penelitian, karya ilmiah lainnya yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini.
f. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data, yaitu:
  1. Kepustakaan
Teknik pengumpulan bahan hukum dengan penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan peraturan perundang-undangan dan buku, majalah, hasil penelitian, karya ilmiah lainnya.
  1. Kuisioner
Merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi pernyataan tertulis kepada responden. Responden tersebut ditentukan secara random sampling sejumlah responden, dan digunakan sampel sebanyak 100 orang responden.
  1. Wawancara
Informan yang akan diwawancarai dalam penelitian ini adalah
(1) Bapak I Ketut Gede Wanugraha, SH., Hakim Pengadilan Negeri Negara;
(2) Bapak I Putu Gede Arya Kusdyana, Humas kantor Taman Nasional Bali Barat;
(3) Bapak Sutardi, Staf bagian perlengkapan Kantor TNBB;
(4) I Ketut Widiantara, Polsus Kehutanan (Wakil Kepala Satgas/PPNS);
(5) Bapak Robert Chris R. S. Nafie, S.H., Polisi Hutan di Taman Nasional Bali Barat;
(6) Bapak Agus Andri, staf Tata Usaha Kantor Pelabuhan Gilimanuk/Syahbandar Gilimanuk, Ditjen Perhubungan Laut.
g. Teknik pengolahan dan analisis data
1. Teknik pengolahan data
Pengolahan data adalah kegiatan merapikan data hasil pengumpulan data di lapangan sehingga siap pakai untuk dianalisa.[23] Setelah semua data berhasil dikumpulkan, kemudian data diolah secara kualitatif dengan melakukan studi perbandingan antara data lapangan dan data kepustakaan sehingga akan diperoleh data yang bersifat saling menunjang antara teori dan praktek serta .
  1. Analisis data
Dalam menganalisa data yang telah dikumpulkan tersebut, digunakan metode analisis deskriptif, yaitu menggambarkan dengan kata-kata atau kalimat yang dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan.[24] Dalam metode analisis deskriptif, setelah data dianalisis kemudian disusun kembali secara sistematis sehingga mendapatkan kesimpulan tentang permasalahan hukum dalam penelitian ini.

[1] Otto Soemarwoto, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Cet. 9, Djambatan, Jakarta, 2001, hal. 1. (selanjutnya disingkat Otto Soemarwoto I).
[2] Ibid.
[3] R.M. Gatot P. Soemartono, Hukum Lingkungan Indonesia, Cet. 1, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 1-2.
[4] Mohammad Taufik Makarao, Apek-Aspek Hukum Lingkungan, PT. Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 6.
[5] M. Daud Silalahi, Hukum Lingkungan: Dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Ed. 3, Cet. Ke-1, Alumni, Bandung, 2001, hal. 3.
[6] Otto Soemarwoto I, op.cit, hal. 23.
[7] I Made Arya Utama, “Sanksi Hukum Dalam Memberikan Perlindungan Kelestarian Fungsi Lingkungan Hidup” Kertha Patrika Vol. 29 No. 2, Juli 2004, hal. 47.
[8] Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan Dan Segi-Segi Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 7.
[9] Koesnadi Hardja Soemantri, Hukum Perlindungan Lingkungan Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Ed. 1, Cet. Ke-2, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, hal. 2-3.
[10] Cok, “Marak, Pencurian Jalak Bali di Taman Nasional Bali Barat”, Kompas, Selasa 10 Februari 2004, http://www.google.co.id/kasus taman nasional Bali barat//
[11] Ben, “Satwa Dilindungi: Curik Bali Hampir Punah di Habitat Aslinya”, Kompas, Jumat 16 Februari 2007, http:// www.google.co.id/kasus taman nasional Bali barat//
[12] Yatim Soroso, “Pelestarian yang sia-sia, curik Bali pun bisa punah dari TNBB”, Berita Bumi, 25 Juni 2007, http:// www.google.co.id/kasus taman nasional Bali barat//
[13] Kartasapoetra Rien G, Pengantar Ilmu Hukum Lengkap, Bina Aksara, Jakarta, 1989, hal. 1.
[14] Kansil CST, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal. 29.
[15] Sunaryati Hartono, Apakah The Rule of Law Itu, Alumni, Bandung, 1976, h. 114.
[16] Kartasapoetra Rien G, op.cit, h. 21.
[17] Kansil CST, op.cit, h. 36.
[18] Soerjono Soekanto, Sosiologi Hukum dalam masyarakat, Rajawali Press, Jakarta, 1980, hal. 215. (selanjutnya disebut Soerjono Soekanto I).
[19] Soerjono Soekanto, Hukum Adat Indonesia, PT RajaGrafindo, Jakarta, hal. 320-321. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto II).
[20] Soerjono Soekanto I, op.cit. h. 13.
[21] Soerjono Soekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1982. (Selanjutnya disebut Soerjono Soekanto III).
[22] Winarno Surachmad, “Dasar dan Teknik Research Pengantar Metodologi Ilmiah”, Tarsito, Bandung, 1975, h. 58.
[23] Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Sinar Grafika, Jakarta, 2002, hal. 72.
[24] Suharsini Arikunto, Prosedur Penelitian, Bina Aksara, Jakarta, 1986, hal. 194.

Minggu, 24 April 2011

ASSET RECOVERY

PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG KORUPSI INDONESIA PASCA KONVENSI PBB ANTI KORUPSI 2003

OLEH:
DR. LILIK MULYADI, S.H., M.H.


  1. JUSTIFIKASI MENGAPA PENGEMBALIAN ASET PENTING DALAM KONTEKS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
         

PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY) PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI MENURUT UNDANG-UNDANG KORUPSI INDONESIA PASCA KONVENSI PBB ANTI KORUPSI 2003

OLEH:
DR. LILIK MULYADI, S.H., M.H.


  1. JUSTIFIKASI MENGAPA PENGEMBALIAN ASET PENTING DALAM KONTEKS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
          Pada hakikatnya, pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi sangat penting eksistensinya. Apabila dijabarkan lebih sistimatis maka ada beberapa argumentasi sebagai justifikasi teoretis dan praktik mengapa pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi tersebut penting eksistensinya dengan titik tolak :
          • Justifikasi filosofis
           Pada aspek ini maka pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat terdiri dari benda tetap maupun benda bergerak atau dapat pula berupa uang hasil korupsi baik yang berada di dalam negeri (Indonesia) maupun di luar negeri. Dari dimensi ini, maka aset tersebut hakikatnya merupakan uang negara in casu adalah berasal dari dana masyarakat. Pada negara berkembang, di satu sisi sebagaimana dimensi Stolen Asset Recovery Inisiative tidak kurang setiap tahunnya sekitar 20-40 Milyar US $  aset yang dicuri. Kemudian di sisi lainnya, pada negara berkembang mengalami hambatan karena tidak adanya regulasi yang mengatur perampasan harta benda tanpa melalui proses peradilan pidana (non conviction base) sehingga diperlukan adanya pengaturan non conviction base stolen asset recovery yang mengatur mekanisme hukum tentang pembekuan (freezing), perampasan (seizure) dan penyitaan (confiscation) harta benda tanpa perlu dibuktikan keterlibatan dalam perkara pidana dimana proses ini dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana Korupsi Indonesia Tahun 2008 dikenal tindakan berupa penelusuran, penggeledahan, pemblokiran, penyitaan dan perampasan yang berupa perampasan In Rem dan perampasan pidana. Logikanya dengan pelaku melakukan pengembalian aset diharapkan akan berdampak langsung untuk memulihkan keuangan negara atau perekonomian negara yang akhirnya bermuara kepada kesejahteraan masyarakat.[1] Apabila bertitik tolak kepada kebijakan legislasi pada hakikatnya korupsi terjadi secara sistemik dan meluas serta juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat luas. Konsekuensi logisnya maka untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera tersebut harus ada suatu tindakan secara terus menerus serta juga tak dapat dikesampingkan adalah usaha-usaha yang bersifat  pencegahan (preventif), pemberantasan tindak pidana korupsi (represif) dan pendekatan bersifat restorative.[2] Tindakan preventif diartikan untuk membangun persepsi publik bahwa tidak ada tempat aman di di dunia bagi pelaku tindak pidana korupsi untuk menyembunyikan aset-asetnya. Kemudian tindakan represif diartikan bagaimana pelaku dijatuhkan pidana sesuai asas keadilan dan pemidanaan bersifat proforsional sesuai dengan kadar kesalahannya. Tindakan restorative yang salah satunya adalah pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi berupa tindakan hukum pidana, gugatan perdata berupa perampasan In Rem yaitu tindakan negara mengambil alih aset melalui putusan pengadilan dalam perkara perdata berdasarkan bukti-bukti yang lebih kuat bahwa aset tersebut diduga berasal dari tindak pidana atau digunakan untuk tindak pidana maupun kerjasama internasional dalam bantuan timbal balik masalah pidana (mutual assistance in criminal matters) antara negara korban korupsi atau negara asal (country of origin) dan negara penyimpan aset korupsi atau negara ketempatan (custodial state).
          • Justifikasi sosiologis
            Dikaji dari perspektif ketentuan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi maka aspirasi masyarakat untuk memberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya semakin meningkat. Dalam kenyataannya ada perbuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangat besar sehingga berdampak pada timbulnya krisis di pelbagai bidang. Tegasnya, berdasarkan data kerugian keuangan negara maka dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai negara korban korupsi. Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dan diintensifkan dengan tetap menjungjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat. Selain itu dengan adanya pemberantasan korupsi yang salah satunya melalui pengembalian aset maka akan berdampak luas pada masyarakat. Konkritnya, masyarakat akan melihat dan menilai kesungguhan dari penegak hukum tentang pemberantasan korupsi dengan tetap menjunjung tinggi asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence), asas kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) dan asas kepastian hukum (recht zekerheids). Selain itu, justifikasi sosiologis ini merupakan wujud nyata dan peran serta kebijakan legislasi dan aplikasi untuk memberikan ruang gerak lebih luas terhadap adanya kerjasama antara aparat penegak hukum dengan peran serta masyarakat sebagaimana diamanatkan ketentuan Pasal 41 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001.

          • Justifikasi yuridis praktis
            Ketentuan UU Pemberantasan Korupsi memberikan ruang gerak dan dimensi lebih luas baik bagi penegak hukum, masyarakat dan segala lapisan untuk lebih komprehensif dalam menanggulangi akibat dan dampak dari perbuatan korupsi. Oleh karena itu kebijakan legislasi memberikan ruang dalam pemberantasan korupsi dapat dilakukan melalui tindakan kepidanaan (criminal procedure) dan tindakan keperdataan (civil procedure). Pada hakikatnya, aspek pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui prosedur pidana dapat berupa penjatuhan pidana kepada pelakunya seperti pidana denda maupun terdakwa dihukum untuk membayar uang pengganti. Selain anasir itu maka terhadap pengembalian aset tindak pidana korupsi dapat juga melalui gugatan secara perdata di Pengadilan Negeri.
              Apabila jalan ini yang akan ditempuh hakikatnya keberhasilan pengembalian aset diharapkan relatif lebih tinggi karena pembuktian dari hukum perdata semata-mata mencari kebenaran formal (formeele waarheid). Dengan adanya jalinan dua tindakan dalam tindak pidana korupsi berupa pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui tindakan kepidanaan dan tindakan keperdataan diharapkan keadilan masyarakat dapat tercapai. Aspek ini harus dipahami lebih mendalam oleh karena sifat dari tindak pidana korupsi sebagai tindak pidana yang luar biasa sehingga pemberantasannyapun tidak dapat dilakukan secara parsial akan tetapi bersifat integral. Dengan adanya jalinan kerjasama bersifat integral tersebut diharapkan nantinya penanggulangan korupsi relatif mendapatkan hasil seoptimal mungkin.
          
  1. PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF UU NOMOR 31 TAHUN 1999 Jo. UU NOMOR 20 TAHUN 2001
        Dalam perkara korupsi sebagaimana UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 diatur mengenai  pengembalian  aset  hasil   tindak  pidana korupsi baik melalui jalur keperdataan (civil procedure) berupa gugatan perdata maupun jalur kepidanaan (criminal procedure). Pengembalian aset (asset recovery) pelaku tindak pidana korupsi melalui gugatan perdata secara runtun diatur dalam ketentuan Pasal 32,[3]  Pasal 33[4] dan Pasal 34[5] serta Pasal 38C[6] UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Kemudian melalui jalur kepidanaan sebagaimana ketentuan Pasal 38 ayat (5),[7] Pasal 38 ayat (6)[8] dan Pasal 38B ayat (2)[9] dengan proses penyitaan dan perampasan. Ketentuan-ketentuan sebagaimana tersebut di atas memberikan kewenangan kepada Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya baik ditingkat penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
             Apabila diperinci pengembalian aset dari jalur kepidanaan ini dilakukan melalui proses persidangan dimana hakim di samping menjatuhkan pidana pokok[10] juga dapat menjatuhkan pidana tambahan. Apabila diperinci maka pidana tambahan dapat dijatuhkan hakim dalam kapasitasnya yang berkorelasi dengan pengembalian aset melalui prosedur pidana ini dapat berupa:
    1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau barang yang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. (Pasal 18 ayat (1) huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UUNomor 20 Tahun 2001).
    2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam UU ini lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (1) huruf b, ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
    3. Pidana denda dimana aspek ini dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mempergunakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) bersifat kumulatif (pidana penjara dan atau pidana denda), kumulatif-alternatif (pidana penjara dan atau pidana denda) dan perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) bersifat determinate sentence dan indifinite sentence.[11]
    4. Penetapan perampasan barang-barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia (peradilan in absentia) sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa pelaku telah melakukan tindak pidana korupsi. Penetapan hakim atas perampasan ini tidak dapat dimohonkan upaya hukum banding dan setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan tersebut dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman. (Pasal 38 ayat (5), (6), (7)  UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
    5. Putusan perampasan harta benda untuk negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda tersebut diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi yang dituntut oleh Penuntut Umum pada saat membacakan tuntutan dalam perkara pokok. (Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
               Kemudian pengembalian aset tindak pidana korupsi melalui jalur keperdataan dapat dilakukan melalui aspek-aspek sebagai berikut:
  1. Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut perkara korupsi. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menentukan bahwa dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. Konstruksi ketentuan pasal ini banyak menimpulkan problematika. Salah satu yang esensial adalah tidak jelasnya status dari orang yang digugat perdata tersebut apakah sebagai pelaku, tersangka atau terdakwa. Apabila mengikuti alur polarisasi pemikiran pembentuk UU maka berkas hasil penyidikan yang diserahkan kepada Jaksa Pengacara Negara untuk digugat perdata adalah selain bagian inti delik telah adanya kerugian keuangan negara yang telah terbukti maka walaupun bagian inti delik lainnya  ataupun putusan bebas walaupun tidak terbukti tetap dapat dilakukan gugatan perdata. Selintas ketentuan pasal tersebut mudah dilakukan akan tetapi pada praktiknya banyak mengandung kompleksitas. Tegasnya, yang paling elementer apabila dilakukan gugatan perdata tentu berdasarkan adanya perbuatan melawan hukum dari tergugat, akan tetapi kompleksitasnya dapatkah negara melalui Jaksa Pengacara Negara membuktikan tentang adanya kerugian negara tersebut berdasarkan alat-alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 164 HIR, 284 RBg dan Pasal 1866 Kitab UU Hukum Perdata (KUHP). Memang, dari dimensi kebijakan legislasi dan praktik peradilan ketentuan pasal tersebut mengandung problematika. Pasca KAK 2003 maka kebijakan legislasi akan dihadapkan adanya perumusan tindak pidana korupsi yang tidak mempermasalahkan lagi adanya unsur kerugian keuangan negara oleh karena berdasarkan ketentuan Pasal 20 KAK 2003 sebagaimana diratifikasi dengan UU Nomor 7 Tahun 2006 dimana tindak pidana korupsi berorientasi kepada perbuatan memperkaya diri sendiri (illicit enrichment). Tegasnya, unsur kerugian negara bukan unsur penting sebagaimana redaksional ketentuan Pasal 3 butir 2 KAK 2003 tentang “scope application”, yang menegaskan bahwa, “For the purpose of implementating this Convention, it shall not be necessary except otherwise stated herein. For the offence...to result in damage or harm to State property”.
  2. Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya. (Pasal 33, Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001).
  3. Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Ketentuan Pasal 34, Pasal 38B ayat (2), (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa, “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
         Pada dasarnya, penegakan tindak pidana korupsi melalui hukum keperdataan lazim dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat melalui penyitaan (confiscation) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Dimensi ini secara tegas dikatakan Oliver Stolpe bahwa:
                     “Countries such as Italy, Ireland and the United States provide, under varying contitions, for the possibility of civil or preventive confiscation of assets suspected to be derived from certain criminal activity. Unlike confiscation in criminal proceedings, such forfeiture laws do not require proof of illicit origin “beyond reasonable doublt”. Instead, the consider proof on a balance of pribabilities or demand a high probability of illicit origin combined the inability of the owner to prove the contrary”.[12]

          Selain melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan maka dalam praktik peradilan lazim juga terjadi pelaku melakukan tindakan lain berupa pengembalian aset yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dimana modus operandi pengembalian tersebut dilakukan secara sukarela. Misalnya dalam praktik terjadi dalam perkara Abdullah Puteh sebagaimana telah diputus Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor: 1344 K/Pid/2005. Terhadap pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi tersebut baik melalui jalur kepidanaan dan jalur keperdataan serta praktik peradilan berupa tindakan lain sebagaimana dapat dilihat dalam bagan berikut ini.






Bagan Pengembalian Aset Pelaku Tindak Pidana Korupsi        
Pengembalian Aset Pelaku TPK
Prosedur Perdata
Prosedur Pidana
Prosedur  Lain
perampasan barang bergerak dan tidak bergerak yang digunakan / diperoleh dari tindak pidana korupsi
Pembayaran Uang pengganti
Pidana denda
Penetapan barang- barang yang telah disita dalam hal terdakwa meninggal dunia
Putusan perampasan harta benda untuk Negara dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bukan dari tindak pidana korupsi
Gugatan perdata kepada ahli waris dalam hal tersangka meninggal  penyidikan
Gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya bila putusan telah berkekuatan hukum tetap
Pelaku tindak pidana korupsi mengembalikan aset secara sukarela
Gugatan perdata kepada seseorang yang tersangkut korupsi






                                                                                   




             

















  1. PENGEMBALIAN ASET PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA KONVENSI ANTI KORUPSI 2003 Jo UU NOMOR 7 TAHUN 2006
          Telah dijelaskan pembahasan terdahulu bahwa kebijakan legislasi pemberantasan korupsi mempunyai paradigma dan karakteristik tersendiri. Ketentuan UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai titik berat paradigma pemberantasan korupsi bersifat represif. Kemudian UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggunakan pendekatan represif dan preventif. KAK 2003 Jo UU Nomor 7 Tahun 2006 menggunakan titik berat pendekatan yang bersifat preventif, represif dan pendekatan restorative. Dimensi ini mensiratkan bahwa pemberantasan korupsi harus bersifat integral, menyeluruh dan melalui pelbagai pendekatan.
            Pada KAK 2003 pendekatan bersifat restorative berupa pengembalian aset diatur dalam Bab V Pasal 51-58 tentang “Asset Recovery” merupakan prinsip mendasar yang diharapkan Negara-Negara peserta konvensi wajib saling memberikan kerjasama dan bantuan seluas-luasnya mengenai hal ini. KAK 2003 telah membuat terobosan besar  mengenai “Asset Recovery” yang meliputi sistem pencegahan dan deteksi hasil tindak pidana korupsi (Pasal 52), sistem pengembalian aset secara langsung dalam Pasal 53, sistem pengembalian aset secara tidak langsung dan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan (Pasal 55). Ketentuan esensial yang teramat penting dalam konteks ini adalah ditujukan khusus terhadap pengembalian aset-aset hasil korupsi dari negara ketempatan (custodial state) kepada negara asal (country of origin) aset korupsi. Pengembalian aset hasil korupsi melalui kerjasama internasional diberikan justifikasi normatif tentang “International Cooperation” (Pasal 43 s/d Pasal 50), termasuk di dalamnya ketentuan mengenai ekstradiksi, mutual assistance in criminal matters, transfer of proceedings, transfer of sentenced persons dan joint investigation. Implementasi dimensi ini nampak Pemerintah Indonesia telah mengesahkan perjanjian ekstradiksi dengan Pemerintah Korea Selatan, Malaysia, Australia, Thailand, Hong Kong, dan Fhilipina serta mengesahkan perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dengan pemerintah Pemerintah Australia, dan lain sebagainya. Strategi pengembalian aset ini secara eksplisit diatur dalam mukadimah KAK 2003 para 8 menentukan, bahwa:
          “Bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset.”
     
          Apabila dianalisis ternyata ketentuan konteks di atas berkorelasi dengan landasan filosofis mukadimah para 3 KAK 2003 tentang keterkaitan antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan. Ketentuan Para 3 KAK 2003 secara eksplisit menentukan bahwa:
            “Prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum”.
  
          Pada KAK 2003 maka pengembalian aset dapat dilakukan melalui jalur pidana (aset recovery secara tidak langsung melalui criminal recovery) dan jalur perdata (aset recovery secara langsung melalui civil recovery). Aset recovery langsung melalui civil recovery dilakukan melalui gugatan perdata terhadap pemilik harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi dan  harta benda tersebut ditempatkan di negara lain. Romli Atmasasmita menyebutkan gugatan semacam ini sudah tentu memerlukan bantuan negara setempat yang telah terbukti memerlukan biaya relatif besar, seperti halnya gugatan atas kekayaan mantan Presiden Marcos di Swiss yang berakhir dengan “perdamaian” antara pemerintah Filipina dan Imelda Marcos.[13] Khusus terhadap jalur hukum pidana yaitu aset recovery secara tidak langsung maka proses pengembalian aset lazimnya melalui 4 (empat) tahapan, yaitu: pertama, pelacakan aset dengan tujuan untuk mengidentifikasi aset, bukti kepemilikan aset, lokasi penyimpanan aset dalam kapasitas hubungan dengan delik yang dilakukan. Kedua, pembekuan atau perampasan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf f KAK 2003 aspek ini ditentukan meliputi larangan sementara untuk menstransfer, mengkonversi, mendisposisi atau memindahkan kekayaan atau untuk sementara menanggung beban dan tanggung jawab mengurus dan memelihara serta mengawasi kekayaan berdasarkan penetapan pengadilan atau penetapan dari otoritas lain yang berkompeten. Ketiga, penyitaan aset dimana menurut Bab I Pasal 2 huruf g KAK 2003 diartikan sebagai pencabutan kekayaan untuk selamanya berdasarkan penetapan pengadilan atau otoritas lain yang berkompeten. Keempat, pengembalian dan penyerahan aset-aset kepada negara korban.
           Selanjutnya, pada KAK 2003 pengembalian aset pelaku tindak pidana korupsi dapat melalui pengembalian secara langsung melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”,[14] dan melalui pengembalian secara tidak langsung yaitu melalui proses penyitaan berdasarkan keputusan pengadilan (Pasal 53 s/d Pasal 57 KAK 2003).
          Pengembalian aset melalui proses pengadilan yang dilandaskan kepada sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system” hakikatnya merupakan polarisasi yang dikenal dalam sistem common law. Eksistensi sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system” erat berkorelasi dengan Sistem Peradilan Pidana (SPP) khususnya di Amerika Serikat dengan “adversary system” atau “accusatorial system”. Dalam konteks ini maka sistem “negatiation plea” atau “plea bargaining system”  terdapat dalam tahap “Arraigment” dan “preliminary hearing”. Pada proses ini melingkupi pemberitahuan mengenai tuduhan dan pemberian kesempatan kepada tertuduh untuk menjawab apakah akan menyatakan tidak bersalah (“not guilty”) atau bersalah (“guilty”) atau menyatakan tidak menentang tuduhan dipakai terminologi “nolo contendere” (no contest). Apabila tertuduh mengakui bersalah maka proses berikutnya adalah langsung penjatuhan hukuman tanpa melalui “trial”. Akan tetapi sebaliknya, apabila tertuduh menyatakan tidak mengakui bersalah maka perkara dilanjutkan dan diadili dengan mempergunakan sistem juri.
           Romli Atmasasmita dengan bertitik tolak pada batasan dari Black’s Law Dictionary, Albert Alschuler, Harvard Law Riview, F. Zimring and R. Frase dan Welsh S. White menyimpulkan tentang “plea bargaining” beberapa hal sebagai berikut:
      1. bahwa “plea bargaining” ini pada hakikatnya merupakan suatu negosiasi antara pihak penuntut umum dengan tertuduh atau pembelanya ;
      2. motivasi negosiasi tersebut yang paling utama ialah untuk mempercepat proses penanganan perkara pidana ;
      3. sifat negosiasi harus dilandaskan pada “kesukarelaan” tertuduh untuk mengakui kesalahannya dan kesediaan penuntut umum memberikan ancaman hukuman yang dikehendaki tertuduh atau pembelanya ;
      4. keiikutsertaan hakim sebagai wasit yang tidak memihak dalam negosiasi dimaksud tidak diperkenankan.[15]  

         Pengembalian aset secara langsung diatur di dalam ketentuan Pasal 53 KAK 2003 yang secara lengkap berbunyi sebagai berikut:
          Each State Party shall, in accordance with is domestic law:
  1. Take such measures as may be necessary to permit another State Party to initiate civil action in its courts to establish title to or ownership of  property acquired through the commisson of an offence established in accordance with this Convention ;
  2. Take such measures as may be necessary to permit  its courts to order those who have commited offences established in accordance with this Convention to pay compensation, damages to another State Party that has been harmed by such offences ; and
  3. Take  such measures as may be necessary to permit its courts or competent outhorities, when having to decide on confiscation to recognize another State Party’s claim as a legitimate owner of property acquired through the commission of an offence established in accordance with this Convention.

            Pada dasarnya ketentuan Pasal 53 KAK 2003 menentukan sistem pengembalian aset secara langsung dapat dilakukan melalui tiga cara, yaitu: Pertama, adanya kewajiban setiap Negara peserta konvensi untuk menyediakan sarana hukum kepada Negara lain guna mengajukan “civil action” (gugatan perdata) kepada pengadilan Negara setempat serta menetapkan kepemilikannya atas harta kekayaan yang telah diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam konvensi ini. Aspek ini diatur secara limitatif dalam ketentuan Pasal 53 huruf (a) KAK 2003. Kedua, memberikan izin kepada pengadilan Negara setempat  memerintahkan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat tindak pidana tersebut (Pasal 53 huruf (b) KAK 2003). Ketiga, mengambil tindakan untuk mengijinkan pengadilan setempat atau lembaga yang berwenang untuk mengakui juga klaim pihak ketiga atas kepemilikan harta kekayaan yang akan dilakukan penyitaan.
           Pengembalian aset secara tidak langsung diatur dalam ketentuan Pasal 54-55 KAK 2003 dimana sistem pengembalian aset tersebut dilakukan melalui proses kerjasama internasional atau kerjasama untuk melaksanakan penyitaan. Apabila diperinci secara global maka dapat melalui aspek-aspek sebagai berikut:
          • Mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten untuk memberlakukan perintah penyitaan yang dikeluarkan oleh suatu pengadilan dari Negara Peserta lain ;
          • Mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk mengizinkan otoritas yang berkompeten, dimana mereka mempunyai yurisdiksi untuk memerintahkan penyitaan atas kekayaan yang berasal dari luar negeri dengan putusan pengadilan atas kejahatan pencucian uang atau kejahatan lainnya sebagaimana dalam yurisdiksi mereka atau dengan prosedur lain berdasarkan hukum nasionalnya ; dan
          • Mempertimbangkan untuk mengambil tindakan yang mungkin diperlukan untuk memperkenankan penyitaan atas harta kekayaan tanpa penuntutan (pidana) dalam kasus dimana pelakunya meninggal dunia atau tidak diketahui keberadaannya atau dalam kasus-kasus khusus lainnya.
            Dalam melakukan penyitaan tersebut maka setiap Negara peserta KAK 2003 melakukan kerjasama internasional untuk pengembalian aset hasil korupsi. Dimensi ini diperkuat lagi ketentuan “International Cooperation” sebagaimana ketentuan Pasal 43 s/d Pasal 50 Konvensi termasuk di dalamnya terhadap ketentuan mengenai ekstradiksi, perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana (mutual assistance in criminal matters), pengalihan proses peradilan pidana (transfer of criminal proceedings), pengiriman orang-orang yang dihukum (transfer of sentenced persons), kerjasama penegakan hukum (law enforcement cooperation) dan investigasi bersama (joint investigations).
         Pada dasarnya, apabila diperbandingkan civil recovery mempunyai kelebihan dengan criminal recovery dimana pada civil recovery dapat dipergunakan pembalikan beban pembuktian berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAK 2003 yang menegaskan tersangka wajib membuktikan keabsahan harta kekayaan yang diduga kuat berasal dari korupsi. Romli Atmasasmita  menyebutkan lebih lanjut aspek ini dengan dimensi sebagai berikut:
                “Pembuktian terbalik untuk merampas harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi melalui Civil Recovery tidak merupakan pelanggaran HAM tersangka, karena yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaannya di mana seorang pemilik harta kekayaan tersebut ditempatkan dalam posisi sebelum menjadi kaya. Namun demikian, proses pembuktian terbalik itu tidak serta merta menempatkan pemilik harta kekayaan –jika tidak dapat membuktikan harta kekayaannya- menjadi terdakwa untuk kasus tindak pidana korupsi. Ketidakmampuan orang yang bersangkutan untuk membuktikan keabsahan harta kekayaannya tidak dapat dijadikan bukti untuk menuntut orang itu dalam perkara tindak pidana korupsi.”[16]

          Strategi KAK 2003 konteks di atas dalam pengembalian aset hasil korupsi dengan menggunakan teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lower-balanced probability) terhadap kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi dan sekaligus tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi (highest balanced probability) dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang tersangka maka pembuktian demikian tidak bertentangan dengan HAM. Tegasnya, dalam praktik berdasarkan titik tolak Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 90 Tahun 1992 tanggal 18 Juni 1992 antara Attorney General of Hong Kong v Lee Kwang Kut dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong Nomor 52 Tahun 1995 tanggal 3 April 1995 antara Attorney General of Hong Kong v Hui Kin Hong, Putusan Mahkamah Agung India antara State of Madras v A. Vaidnyatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of Est Bengal v The Attorney General for India ((AIR 1963 SC 255) dan Putusan Mahkamah Agung Pakistan dalam kasus Muhammad Siddique v Thee State of India (1977 SCMR 503), Ikramuddin v The Sate of India (1958 Kar. 21), Ghulam Muhammad v The State of India (1980 P. Cr. L.J. 1039) dan Putusan Badshah Hussain v The State of India (1991 P. Cr. L.J. 2299) secara eksplisit menyatakan pembalikan beban pembuktian “balanced probabilities” antara Jaksa dengan terdakwa yaitu Jaksa membuktikan kesalahan dari terdakwa sedangkan terdakwa menjelaskan tentang asal usul kepemilikan harta bendanya tersebut tidak bertentangan dengan HAM. Selain itu, mekanisme pembalikan beban pembuktian  melalui proses keperdataan telah dilaksanakan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat. Kemudian mekanisme pembalikan beban pembuktian melalui proses kepidanaan telah dilaksanakan di Singapura (Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act) dan Hong Kong (Section 12 A Hong Kong Prevention Bribery Ordinance 1991).[17] Dalam mekanisme kepidanaan khususnya terhadap asal usul kepemilikan harta kekayaan maka pelaku dibebankan untuk menjelaskan harta kepemilikannya karena bagaimanapun pelaku saja yang lebih tahu tentang bagaimana mendapatkan kekayaan yang tidak sepadan dengan penghasilannya. Pada praktik peradilan di Hong Kong, India dan Pakistan maka mekanisme kepidanaan ini terhadap asal usul harta milik pelaku tindak pidana korupsi mempergunakan teori pembalikan beban pembuktian keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) dari Oliver Stolpe sehingga implementasinya tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana. Teori balanced probability principles menempatkan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi dalam kedudukan (level) paling tinggi mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced probability principles) dengan sistem pembuktian menurut UU secara negatif atau beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap asal usul harta kekayaan milik pelaku tindak pidana korupsi diterapkan asas pembalikan beban pembuktian melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles) sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan belum kaya.***


[1]            Dimensi ini relatif identik dalam perspektif hukum adat dimana dengan dilakukan pemenuhan kewajiban adat maka diharapkan adanya kesimbangan pada komunitas masyarakat adat yang bersangkutan sehingga telah terjadi kesimbangan antara alam kosmis dan makrokosmis atau antara alam kala dengan alam niskala
[2]            Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Penerbit Alumni, Bandung, 2008, hlm. 7
[3]            Pasal 32 ayat (1) menentukan: “Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan.” Ayat (2) menentukan: “Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapus hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.”
[4]           Pasal 33 menentukan: “Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
[5]           Pasal 34 menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.”
[6]           Pasal 38 C menentukan: “Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud Pasal 38C ayat (2) maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.”
[7]          Pasal 38 ayat (5) menentukan: “Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita.”
[8]            Pasal 38 ayat (6) menentukan: “Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam  ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya banding.”
[9]           Pasal 38B ayat (2) menentukan: “Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.”
[10]             Ketentuan pidana pokok dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 yang merupakan perumusan sanksi pidana (strafsoort) dapat terdiri dari pidana mati, pidana penjara (seumur hidup atau pidana minimal umum atau maksimal khusus) dan atau pidana denda dimana hakim dalam putusannya dapat juga menjatuhkan adanya kumulasi dari pidana pokok.
[11]            Menurut Collin Howard dikenal adanya 4 (empat) sistem perumusan lamanya sanksi pidana (strafmaat) yaitu sistem fixed/definite sentence berupa ancaman pidana yang sudah pasti, sistem indefinite sentence berupa ancaman lamanya pidana secara maksimum, kemudian sistem determinate sentence berupa ditentukannya batas minimum dan maksimum lamanya ancaman pidana dan sistem indeterminate sentence berupa tidak ditentukan batas maksimum pidana; badan pembuat undang-undang menyerahkan sepenuhnya kepada kebijakan (diskresi) pidana kepada aparat-aparat pelaksana pidana yang berada pada tingkatan yang lebih rendah, misalnya dalam menetapkan ukuran, sifat atau lamanya pidana untuk pelaku kejahatan tertentu. (Collin Howard, An Analysis of Sentencing Authority, in Reshaping the Criminal Law, P.R. Glazebrook (ed), Stevens & Sons, London, 1978, hlm. 47). Sedangkan menurut Sue Titus Reid dikenal juga 4 (empat) sistem perumusan yaitu tidak ditentukan (indeterminate), tertentu (determinate), terduga (presumptive), dan bersifat memerintahkan (mandatory). (Sue Titus Reid, Criminal Justice, Procedures and Issues, Chapter 12, University of Tulsa, New York, 1987, hlm 353).                                                                                                                                  

[12]                Oliver Stolpe, Meeting the burde of proof in corruption-related legal proceedings, unpublished, hlm. 3
[13]             Romli Atmasasmita, Pengembalian Aset Korupsi: Masukkan Konverensi Internasional Anti Korupsi 2008, Koran Seputar Indonesia, Edisi Senin, 13 Agustus 2007
[14]            Profesor Albert Alschuler secara teliti telah mengungkapkan sejarah “plea bargaining system”. Pada bagian pertama dari artikelnya, “Plea Bargaining and Its History” (1979), ia mengetengahkan pernbedaan antara praktik sebagaimana diuraikan di atas pada masa “common law” maupun pada era perkembangan “pleabargaining system” versi sekarang. Pada masa “common law”, terhadap seorang tertuduh telah diberikan perlakuan yang tidak kejam, karena ia telah membantu penuntut umum dalam melakukan penuntutan terhadap orang lain dalam perkara tertentu, akan tetapi bukanlah karena ia (tertuduh) telah mengakibatkan penuntutan menjadi lebih mudah, atu karena ia (tertuduh) telah berbuat baik terhadap si korban, terhadap siapa ia melakukan kejahatan. Selanjutnya, Alschuler mengemukakan, bahwa semula “plea bargaining” ini muncul pada pertengahan abad ke-19, dan kemudian dikenal dalam bentuknya seperti sekarang ini. Pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, sistem ini sangat berperanan dalam mengatasi kesulitan menangani perkara pidana. Bahkan pada sekitar tahun 1930, pengadilan di Amerika Serikat sangat bergantung pada sistem ini. Pada tahun 1958, Mahkamah Agung (Supreme Court of Justice) Amerika Serikat pernah menyatakan bahwa praktik “plea bargaining” adalah ilegal. Akan tetapi atas keberatan Departemen Kehakiman (Department of Justice) kehendak tersebut tidak dilaksanakan. Bahkan akhirnya pada tahun 1970, Mahkamah Agung menyatakan pendapatnya, bahwa “plea bargaining was inherent in the criminal law and its administration” (Brad v. United States, 397 U.S. 742 (1970). Hingga saat ini tidak ada perhatian yang sungguh-sungguh untuk menghapuskan sistem ini, oleh karena adanya sistem tersebut tampaknya telah diperoleh suatu “fair trail” dan “accurancy” dalam penangnan perkara pidana. (Romli Atmasasmita,  Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Bina Cipta, Bandung, 1996, hlm.106-107)

[15]            Romli Atmasasmita,  Sistem Peradilan Pidana Perspektif ....., Ibid., hlm. 113-114
[16]            Romli Atmasasmita, Pengembalian Aset Korupsi..., Loc. Cit.
[17]            Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Disertasi, Program Pascasarjana Program Studi Doktor (S3) Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, 2007, hlm. 241 dan: Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Dihubungkan Dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi 2003, Majalah Varia Peradilan,  Tahun Ke XXII No. 264, November 2007, Ikatan Hakim Indonesia, IKAHI, hlm. 45