Coretan
Tentang Hak-hak Pekerja dalam Penggabungan (Merger) dan Pengambilalihan (Akuisis)[1]

Tidak ada perusahaan yang dapat berjalan tanpa pekerja. Selain konsumen, pekerja adalah aktor sosial yang paling menentukan jalan/tidaknya suatu perusahaan. Sehingga perusahaan manapun akan ketakutan jika pekerjanya melakukan aksi mogok, sama halnya jika konsumen melakukan boikot terhadap produk perusahaan. Namun demikian, posisi pekerja kerap luput dari perhatian akademisi maupun praktisi hukum. Terbukti,ketika mempersiapkan coretan singkat ini, Penulis kesulitan menemukan referensi mengenai dampak penggabungan dan pengambilalihan terhadap pekerja. Hal ini mencerminkan bahwa penggabungan dan pengambilalihan lebih dianggap sebagai tindakan hukum dan tindakan ekonomi yang dilakukan oleh perusahaan (bukan pekerja). Pekerja tidak dianggap sebagai aktor utama dalam proses ini. Meskipun secara sosiologis, penggabungan dan pengambilalihan berdampak besar terhadap pekerja.
1. Perspektif Ekonomi Manajemen
Dalam perspektif manajemen, penggabungan dan pengambilalihan dilakukan semata-mata agar perusahaan dapat mengoptimalkan keuntungannya dengan cara yang efisien. Maka dalam beberapa presentasi dan diskusi mengenai penggabungan dan pengambilalihan, beberapa pertanyaan kunci selalu ditanyakan sebelum sebuah perusahaan. Pertanyaan kunci tersebut adalah sebagai berikut:[3]
  1. How can your strategic business plan be accelerated or more successful via M&A? (Determine Business Plan Drivers)
  2. How can you fund M&A? What returns must be achieved? Who approves funding?(Determine Acquisition Financing Constraints)
  3. What specific private and public companies are you interested in acquiring? (develop Acquisition Candidate List)
  4. etc
Dari pertanyaan kunci ini sebenarnya semangatnya adalah keuntungan dan bukan kesejahteraan buruh atau pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. Hal serupa juga terjadi dalam hal pemisahaan perusahaan (spin off) seperti PT KAI ataupun konsolidasi perusahaan.
2. Perspektif Hukum
Dalam UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) yang dimaksud dengan penggabungan perusahaan dan konsekuensi hukumnya adalah sebagai berikut:[4]
a. Perbuatan hukum
b. Dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih
c. Untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan
d. Dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
Sedangkan yang dimaksud pengambilalihan perusaaan adalah sebagai berikut:[5]
1. Perbuatan hukum
2. Dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan
3. Untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
Sehingga yang dimaksud dengan pengambilalihan secara hukum adalah pengambilalihan saham (acquisition of stock) dan bukan pengambilalihan aset (acquisition of assets). Dengan demikian, dampak langsungnya ada pada pihak pemegang saham mayoritas sebagai pemegang kendali dalam menentukan arah kebijakan perusahaan.
Hak Buruh dalam Penggabungan dan Pengambilalihan (Peraturan Perundang-undangan dan Tinjauan Kritis)
Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenegakerjaan mengatur mengenai dampak penggabungan dan pengambilalihan terhadap buruh sebatas mengenai perjanjian kerja bersama dan status hubungan kerja. Sedangkan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”) hanya mengatur hak prosedural buruh, bersama dengan pihak bekepentingan lainnya untuk memperoleh rancangan Penggabungan dan Pengambilalihan.
Walaupun dinyatakan bahwa penggabungan dan pengambilalihan perusahaan hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan kepentingan karyawan perusahaan yang bersangkutan[6]
Dengan demikian, kebijakan di Indonesia sebenarnya tidak menjadikan buruh sebagai partner pengusaha dalam menentukan arah jalannya perusahaan. Sebab jika kita menelisik hak-hak dan partisipasi buruh dalam proses penggabungan dan pengambilalihan, maka terlihat jelas bahwa peran dan hak-hak buruh sangat minim.
Mengenai perjanjian kerja, dampak pengambilalihan dan penggabungan perusahaan terhadap serikat buruh adalah sebagai berikut:[7]
  1. Dalam hal pengambilalihan perjanjian kerja bersama tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama
  2. Dalam hal penggabungan dan kedua perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang lebih menguntungkan pekerja
  3. Dalam hal penggabungan dan hanya salah satu perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (penggabungan) sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Sedangkan mengenai status hubungan kerja, dampak pengambilalihan dan penggabungan perusahaan adalah sebagai berikut.[8]
1. Hubungan kerja terus berlanjut
2. Pengusaha dapat melakukan PHK, dalam hal pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu), uang perhargaan masa kerja 1 (satu) kali dan uang penggantian hak. Jadi jika pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja, bukan dianggap sebagai pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam pasal 162 dan pasal 168 UUK
3. Pengusaha dapat melakukan PHK, dalam hal pengusaha tidak bersedia menerima pekerja di perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan, uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan, dan uang penggantian. Jadi bukan dengan alasan efisiensi atau merugi sebagaimana dimaksud dalam pasal 164 UUK
Hak buruh mengenai perjanjian kerja dan hubungan kerja ini disebut dengan hak substantf. Sedangkan UUPT juga mengatur hak prosedural buruh dalam proses penggabungan dan pengambilalihan yang dalam pasal 127 ayat (3) dinyatakan bahwa buruh sebagai pihak yang berkepentingan berhak untuk memperoleh rancangan Penggabungan dan Pengambilalihan di kantor Perseroan terhitung sejak tanggal pengumuman sampai tanggal RUPS diselenggarakan. Bahkan dalam pasal 127 ayat (2) UUPT dan penjelasannya, Ringkasan rancangan harus diumumkan agar pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk buruh, berkesempatan menyatakan keberatannya. Namun pada akhirnya, keputusan mengenai penggabungan dan pengambilalihan ditentukan dalam rapat RUPS (Lihat Pasal 89 UUPT). Khusus dalam hal yang akan melakukan penggabungan dan pengambilalihan adalah Bank maka harus memperoleh persetujuan Komisaris, sedangkan pekerja hanya berhak mendapatkan pengumuman ringkasan rancangan pengambilalihan dan penggabungan dari Direksi.[9]
Hal ini tidak konsisten dengan apa yang hubungan industrial Pancasila yang pertama kali digagas oleh Letnan Jenderal Ali Moertopo pada tahun 1974. Gagasan ini mengadaikan sebuah relasi antara pekerja dan pengusaha dianggap sebagai partner dalam relasi yang harmonis, kekeluargaan dan setara. Padahal kenyataannya terdapat perbedaan kepentingan yang tajam antara pekerja dan pengusaha, serta relasi yang tidak seimbang baik dalam secara sosial, ekonomi dan politik.[10] Gagasan ini sebenarnya untuk meredam aksi-aksi pekerja demi kelangsungan hidup perusahaan. Bahkan pada masa Orde Baru Hubungan Industrial Pancasilan diterapkan secara otoriter dengan melibatkan Kodim, Koramil dan Kodam untuk mengentikan aksi-aksi buruh. Black propaganda pun diluncurkan dengan menstigma aksi buruh dengan gerakan komunis, ditunggangi pihak ketiga dan bertentangan dengan ideologi negara dan pola pikir negara yang integralistik.
Dalam prakteknya, beberapa permasalah muncul dan menjadi obyek sengketa dalam hal terjadi penggabungan dan pengambilalihan, yaitu:
  1. Dalam hal hubungan kerja berlanjut, siapakah pihak dalam hubungan kerja?
Jika melihat dari Pasal 52  ayat (1)[11] jo Pasal 54 ayat (1) [12] UUK, maka hubungan kerja adalah dengan perusahaan yang dengannya pekerja melakukakan perjanjian kerja. Namun dalam hal terjadi penggabungan, maka perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum (Pasal 122 ayat 1 UUPT).
Dalam hal ini hubungan pekerja beralih ke perusahaan yang menggabungkan diri, dan masa kerja sebelum penggabungan/pengambilalihan tetap dihitung. Hal ini didasarkan pada penafsiran secara sistematis denan pasal 131 UUK yang menyatakan perjanjian kerja bersama yang telah dibuat tetap berlaku dalam hal perusahaan menggabungkan diri, sampai perjanjian kerja bersama tersebut berakhir. (lihat pasal 131 UUK)
Status pekerja  ini harus dinyatakan di dalam rancangan penggabungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 123 ayat (1), (2) huruf (h), ayat (4) dan Pasal 126 ayat (6) huruf i  UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas (”UUPT”).[13]
Dalam hal terjadi pengambilalihan dan hubungan kerja tetap berlanjut, maka status hubungan kerja buruh tetap dengan perusahaan yang membuat perjanjian kerja. Hal ini karena pengambilalihan tidak mengakibatkan status perusahaan yang dipengambilalihan berakhir demi hukum, namun dalam organisasi perusahaan akan ada perubahan komposisi pemegang saham, suara dominan dalam RUPS dan berpeluang adanya penggantian Direksi.
  1. Siapakah yang memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak?
    1. Pekerja dapat memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak, dalam hal ini berbeda dengan pengunduran diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 162 dan Pasal 168 (Pasal; 163 ayat 1 UUK)
    2. Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja berlanjut atau tidak setelah melakukan RUPS, rapat dengan komisaris dan membuat rancangan penggabungan atau pengambilalihan (Pasal 163 ayat 2 UUK jo Pasal 123 dan Pasal 125 UUPT)
Praktek Penggabungan dan Pengambilalihan
  1. Hero dan Tops (Pengambilalihan aset)[14]
Pada tahun 2003, PT Hero Supermarket Tbk mengumumkan pihaknya telah menandatangani perjanjian dengan PT Ahold Indonesia untuk mengakusisi 22 toko swalayan Tops. Sat itu pengambilalihan dilakukan secara bertahap yang menyisakah  satu swalayan Tops masih dalam tahap persiapan dan  dua gudang Tops.

Biaya pengambilalihan berasal dari cadangan fasilitas bank jangka panjang yang belum dipakai. Saat itu, Hero menawarkan kesempatan kerja kepada karyawan tetap supermarket dengan syarat dan kondisi yang sebanding dengan syarat dan kondisi yang mereka peroleh sebelumnya.
Secara teknis, Supermarket Tops itu di-rebranding dan dioperasikan segera dioperasikan dengan nama Hero. Secara keseluruhan total pekerja di  karyawan di seluruh pertokoan di bawah PT Hero Supermarket tbk sebanyak 9000 orang.
  1. Penggabungan Group 4 Flack dengan Securicor International[15]
Pada tahun 2004 Group 4 Flack penggabungan dengan Securicor International di tingkat internasional. Setelah penggabungan, pekerja PT. Securicor di Indonesia yang diwakili oleh Serikat Pekerja Securicor Indonesia mengadakan pertemuan dengan pihak manajemen guna untuk membicarakan status mereka. Pertemuan tersebut tidak sampai kepada kesimpulan mengenai status pekerja. Bahkan Presiden Direktur PT Securicore Indonesia, Bill Thomas mengeluarkan pengumuman PHK terhadap beberapa pekerja. Sebagai besar pekerja yang di-PHK adalah pengurus serikat pekerja, termasuk ketua Serikat Pekerja Securicor cabang Surabaya. Namun dalam surat PHK, alasan PHK adalah perampingan (down sizing). Rapat tersebut dipimpin oleh Branch manager Surabaya.
PHK sepihak pertama kali dilakukan pada maret 2005. Fakta PHK sepihak diingkari oleh perusahaan, dalam beberapa pertemuan dengan pekerja dan pihak pemerintah. Meresponi hal tersebut pekerja  PT. Securicor memberikan surat 0118/SP Sec/IV/2005, hal pemberitahuan mogok kerja kepada perusahaan dan instansi yang terkait pada tanggal 25 April 2005 sebagai akibat dari  gagalnya perundingan (deadlock). Saat perundingan 284 pekerja di-PHK sepihak.
Tantangan dan Peluang Perlindungan Hak Pekerja
  1. Kepemilikan saham oleh serikat pekerja secara kolektif, sehingga pekerja memiliki posisi tawar dalam menentukan arah kebijakan perusahaan (pasal 43 ayat 3 UU PT)
  2. Turut serta dalam penyusunan perjanjian pengambilalihan dalam rangka penyusunan akta, demi memastikan status dan perlindungan hak pekerja.
  3. Bekerjasama dengan kreditor perusahaan, jika tindakan pengambilalihan atau penggabungan diduga kuat akan merugikan buruh. Dengan demikian, kreditor dapat melakukan action pauliana[16] untuk membatalkan oengalihan aset atau menggunakan negative covenant.[17]
  4. Dalam melakukan advokasi untuk perlindungan hak pekerja, beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan proses penggabungan dan pengambilalihan adalah sebagai berikut:
    1. Prinsip-prinsip umum mengenai kebijaksanaan kesejahteraan sosial yang akan diterapkan setelah penggabungan;
    2. Waktu yang pantas untuk berkonsultasi dengan organisasi pekerja;
    3. Cara dan saat untuk menginformasikan penggabungan kepada pekerja;
    4. cara-cara untuk mencegah atau setidak-tidaknya mengeliminir kerugian materil pekerja
    5. Aktifitas khusus dari organisasi pekerja dalam perusahaan. Misalnya agenda rapat serikat pekerja, rencana pertemuan bipartit, dll
  1. Dalam prakteknya, perusahaan berusaha mengindarkan diri dari kewajibannya kepada pekerja dalam hal membayar kompensasi sebesar 2 kali ketentuan pasal 156, penggantian hak dan penghargaan masa kerja. Taktik yang sering digunakan adalah melakukan efisiensi atau PHK dengan alasan merugi setelah proses penggabungan dan pengambilalihan selesai dilakukan. Walaupun demikian, hal ini dapat diantisipasi dengan menguji rasionalisasi efisiensi dan merugi dengan melihat beberapa hal:
    1. Apakah terdapat peningkatan order/pesanan terhadap perusahaan?
    2. Apakah perusahaan merekrut pekerja baru?
    3. Apakah PHK dilakukan tidak berapa lama setelah penggabungan/pengambilalihan?
Tentu saja dalam menentukan strategi dan memanfaatkan peluang yang ada, perlu adanya komunikasi dan keterlibatan pekerja secara kolektif dalam setiap tahap.
_____________

[4] Pasal 1 angka 9 UUPT
[5] Pasal 1 angka 11 UUPT
[6] Pasal 126 ayat (1)  UUPT dan Pasal 4 PP No. 27 Tahun 1998
[7] Pasal 131 UUK
[8] Pasal 163 UUK
[9] Pasal 11 ayat 2 jo Pasal 14 ayat 1 Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 1999 Tentang Penggabungan, Konsolidasi dan Akuisisi Bank
[10] YLBHI, Pokok-Pokok Pikiran YLBHI Tentang Reformasi Politik Prrburuhan Nasional, (YLBHI: Jakarta, 1996). Hal 6.
[11] (1) Perjanjian kerja dibuat atas dasar :
a. kesepakatan kedua belah pihak;
b. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
c. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
d. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan
yang berlaku.
[12] (1) Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya
memuat :
a. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
b. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
c. jabatan atau jenis pekerjaan;
d. tempat pekerjaan;
e. besarnya upah dan cara pembayarannya;
f. syarat syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha danpekerja/buruh;
g. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf e dan f, tidak boleh ber-tentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang undangan yang berlaku.
[13] Pasal 123 UUPT
(1) Direksi Perseroan yang akan menggabungkan diri dan menerima Penggabungan menyusun rancangan Penggabungan.
(2) Rancangan Penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat sekurang-kurangnya:….(h) cara penyelesaian status, hak dan kewajiban anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan karyawan Perseroan yang akan melakukan Penggabungan diri;
[15] www.pbhi.or.id/artikel24/Pengabdian%2BYang%2BBerujung%2BPHK,%2BKasus.html
[16] Pasal 1341 KUHPerdata: meskipun demikian, tiap orang berpiutang boleh mengajukan batalnya segala perbuatan yang tidak diwajibkan yang dilakukan oleh si berutang dengan nama apapun juga, yang merugikan orang-orang berpiutang, asal dibuktikan bahwa ketika perbuatan dilakukan, baik si berutang maupun orang dengan atau untuk siapa si berutang itu berbuat, mengetahui bahwa perbuatan itu membawa akibat yang merugikan orang-orang berpiutang, ….
[17] Klausul dalam perjanjian kredit yang melarang atau harus minta izin kreditur jika asset ingin dialihkan. Dalam hal inipun, jika dilanggar oleh debitur, hanya menyebabkan debitur default terhadap perjanjian kredit yang bersangkutan. Jadi tidak sampai batalnya transaksi pengalihan asset, yang kemungkinan telah sah dilakukan oleh debitur dengan pihak ketiga (Rai Mantili, Perlindungan Pihak yang Lemah dalam Proses Pengambilalihan Perusahaan, Fakultas Hukum Universitas Padjajaran: Bandung, 2008. Hal. 16)