Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Senin, 17 September 2012

Produk PA (Putusan & Penetapan)



Bab I

PENDAHULUAN 

a. Latar Belakang
Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya.
Produk pengadilan agama sebagai bentuk penyelesaian perkara yang diperoleh dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan oleh hakim sebagai ujung tombak lembaga peradilan itu ada tiga macam, yaitu:
1. Putusan.
2. Penetapan.
3. Akta Perdamaian, selain itu ada pula produk Pengadilan Agama yang bukan produk sidang tetapi berkekuatan hukum seperti putusan sebagai akta otentik, yaitu: Akta Komparasi dan Akta Keahliwarisan.
b. Rumusan Masalah
Dari apa yang telah dipaparkan maka yang akan menjadi bahan pembahasan selanjutnya adalah :
1. Apa itu putusan dan penetapan?
2. Perbedaan antara putusan dengan penetapan?


Bab II

PEMBAHASAN 

a. Pengertian
Putusan ialah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bntuk tertulis dan diperoleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).
Penetapan ialah juga pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara permohonan (voluntair).
Suatu putusan atau penetapan harus dikonsep terlebih dahulu paling tidak 1 (satu) minggu sebelum diucapkan dipersidangan untuk menghindari adanya perdebatan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulis (Surat Edaran Mahkamah Agung No. 5/1959 tanggal 20 April 1959 dan Nomor 1/1962 tanggal 7 Maret 1962).
Putusan sebagai salah satu produk pengadilan agama yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil pemeriksaan perkara di persidangan mesti memperhatikan tiga hal yang sangat fundamental dan essensial, yaitu:
· keadilan (gerechtigheit),
· kemampaatan (zwachmatigheit) dan
· kepastian (rechtsecherheit).
Ketiga hal tersebut mesti diperhatikan secara seimbang dan profesional, meskipun dalam praktek sangat sulit mewujudkannya. Hakim mesti berupaya semaksimal mungkin agar setiap putusan yang dijatuhkan itu mengandung asas tersebut diatas. Jangan sampai putusan hakim justru menimbulkan keresahan dan kekacauan dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi para pihak pencari keadilan.
Selain itu, perlu diketahui pula bahwa hakim juga mengeluarkan penetapan-penetapan lain yang bersifat teknis administrasi yang dibuat bukan sebagai produk sidang, misalnya: penetapan hari sidang, penetapan perintah pemberitahuan isi putusan dan sebagainya. Semua itu bukan produk sidang dan tidak pula diucapkan dalam sidang terbuka, serta tidak memakai title “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
b. Perbedaan antara putusan dengan penetapan
Putusan hakim mempunyai 3 (tiga) macam kekuatan:
1. Kekuatan mengikat
2. Kekuatan pembuktian
3. Kekuatan eksekutorial
1. Kekuatan Mengikat
· Artinya putusan hakim itu mengikat para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu.
· Para pihak tunduk dan menghormati putusan itu
· Terikatnya para pihak kepada putusan hakim itu, baik dalam arti positif maupun negative (pasal 197, 1920 BW, 134 Rv)
· Mengikat dalam arti positif, yakni bahwa apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap benar (Res judicara preveritate habetur), dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan
· Mengikat dalam arti negative, artinya bahwa hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta mengenai pokok perkara yang sama = nebis in indem, (pasal 134 Rv)
· Putusan hakim yang telah memperoleh kakuatan hokum tetap tidak dapat dirubah, sekalipun dengan upaya hokum luarbiasa (yaitu Request civil dan derdent verzet)
· Segala pertimbangan hakim yang dijadikan dasar putusan serta amar putusan (dictum) merupakan suatu kesatuan dan mempunyai kekuatan mengikat.
· Sedang mengenai hasil konstatiring hakim (penetapan) mengenai kebenaran peristiwa tertentu dengan alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.
2. Kekuatan Pembuktian
· Artinya dengan putusan hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu
· Putusan hakim menjadi bukti bagi kebenaran sesuatu yang termuat didalamnya
· Putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu (tindak pidana) pasal 1918 dan 1919 BW
· Demikian pula putusan perdata menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu
· Apa yang telah diputuskan oleh hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pila (nebis idem)
3. Kekuatan Eksekutorial
· Yakni kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan itu secara paksa oleh alat-alat Negara
· Setiap putusan harus memuat title eksekutorial, yaitu kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”
· Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 7/1989 maka Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri tindak eksekusi atas putusan yang dijatuhkannya itu. Tidak diperlukan lagi lembaga pengukuhan dan fiat eksekusi oleh Pengadilan Negeri
· Sesuatu putusan akan mempunyai kekuatan hokum tetap apabila, terhadap putusan tersebut, masa upaya hokum yang ditetapkan menurut undang-undang telah habis dan tidak dimintakan upaya hukum dalam masa tersebut.
Disamping itu, seorang hakim harus memperhatikan asas-asas putusan yang mesti ditegakkan, agar putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacad. Asas tersebut dijelaskan dalam Pasal 178 HIR, Pasal 189 RBG dan Pasal 19 UU No. 4 Tahun 2004. Adapun asas-asas putusan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, wajib mengadili seluruh bagian gugatan. Kedua; diucapkan di muka umum atau dalam sidang terbuka untuk umum. Pelanggaran terhadap asas yang kedua ini dapat menyebabkan putusan tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Ketiga; tidak boleh mengabulkan melebihi tuntutan. Larangan ini disebut ultra petitum partium. Keempat; memuat dasar alasan yang jelas dan rinci. Putusan yang tidak memuat dasar dan alasan yang jelas dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan (onvoldoende gemotiveerd) dan mengakibatkan putusan seperti itu dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi .
Sementara untuk membuat penetapan, sama dengan membuat putusan hanya saja tidak perlu dengan judul duduknya perkara dan tentang pertimbangan hokum. Demikian pada untuk membuat salinannya, sama dengan salinan putusan.
Misalkan tentang penetapan terjadinya ikrar talak ex pasal 71 ayat 29 UU No. 1/1989 dibuat sebagai berikut:
· Dibuat segera penetapan biasa sebagai produk siding (ada kalimat Basmalah dan Demi Keadilan dan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum).
· Dibuat berdasarkan BAP penyaksian ikrar talak.
· Nomor penetapan sama dengan nomor perkara.
· Tanggal penetapan sama dengan tanggal ikrar talak dan BAP ikrar talak.
· Tangga penetapan hari sidang penyaksian ikrar talak (PHSPIT), tanggal sidang yang ditetapkan dalam PHSPIT, dan tanggal ikrar talak dicatat dalam register induk perkara yang bersangkutan (kolom 22,23 dan 24).
· Penetapan ini sebagai dasar dikeluarkannya Akta Cerai.
Serat penetapan/putusan dan salinannya harus diketik secara rapi dan bersih dengan bentuk yang lazim berlaku dilingkungan peradilan. Dalam pengetikan putusan/penetapan dan salinannya tidak boleh ada penghapusan dengan Tipp Ex misalnya. Segala kesalahan pengetikan harus dibatalkan dengan cara renvoi.


Bab III

PENUTUP

Kesimpulan
Dari apa yang telah kami paparkan diatas maka kami menarik sebuah kesimpulan bahwa suatu putusan atau penetapan harus dikonsep terlebih dahulu paling tidak 1 (satu) minggu sebelum diucapkan dipersidangan untuk menghindari adanya perdebatan isi putusan yang diucapkan dengan yang tertulisSerta penetapan atau putusan dan salinannya harus diketik secara rapi dan bersih dengan bentuk yang lazim berlaku dilingkungan peradilan.

Daftar Pustaka 

  • Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1993
  • Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta, 1998.
  • Syaikh Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Fiqih Wanita, Jakarta, Pustaka al-Kaustar,1998.
  • Teungku Muhammad Hasbi Ash- Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang, PT. Pustaka Rizky Putra, 2001.
  • Umar Said, Hukum Acara Peradilan Agama, Surabaya, Cempaka, 2004.
  • Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, Jakarta, Sinar Grafika, 2003.
  • Amandemen Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama
  • Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, Mekar Surabaya, 2002.
  • Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta , Raja Grafindo, 1998
  • Ad-Darimi, Sunan ad-Darimi, Juz II, Beirut , Dar al-Fikr, tt
  • Hadin Nuryadin, Peradilan Agama di Indonesia, Bandung , Pustaka Bani Quraisy, 2004
  • M. Anshari MK, Hukum Acara Perdata Pengadilan Agama, Mimeo , Blitar
  • Mardalis, Metode Penelitian; Suatu Pendekatan Proposal, Jakarta , Bumi Aksara, Cet. V, 1995