Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Kamis, 14 April 2011

Misteri Utang Dunia Ketiga

BEBERAPA waktu terakhir ini, demonstrasi anti-IMF dan World Bank kian santer. Selain jumlah utang Indonesia yang kian menggunung, sudah bukan rahasia lagi bahwa penggunaan utang itu tidak bisa dipertangungjawabkan.
Selain itu persyaratan pemenuhan utang baru dari lembaga-lembaga keuangan internasional selalu menuntut prasarat liberalisasi ekonomi yang tak jarang mengorbankan rakyat Indonesia. Contoh paling mutakhir tentang pencabutan subsidi TDL, BBM, dan telepon.
Noreena Hertz (The Silent Takeover, 2001) menulis, selama lebih dari satu dekade, banyak negara mengacu sistem kapitalisme sebagai norma pembangunan ekonomi. Liberalisasi ekonomi menjadi kriteria umum pembangunan ekonomi.
Sebagaimana diketahui, pinjaman dari lembaga-lembaga donor seperti International Monetery Fund (IMF), umumnya diberikan bersamaan dengan suatu program regulasi dan liberalisasi ekonomi yang dijanjikan pemerintah negara penerima pinjaman. Regulasi itu meliputi kebijakan menyeimbangkan anggaran, menghapus subsidi, meniadakan tarif, dan menggalakkan investasi.
Cyrillus Harinowo (Utang Pemerintah, 2002) mengatakan, program ini secara rinci termuat dalam Letter of Intent (LoI). Pinjaman IMF umumnya dicairkan jika LoI telah ditandatangani pemerintah bersangkutan, setelah isi dan programnya disepakati bersama antara pemerintah dan IMF. Karena itu, pencairan pinjaman IMF berarti secara implisit program yang akan dijalankan pemerintah telah memperoleh stempel IMF. Tetapi, setelah semua program dijalankan hasilnya mengecewakan. Di negeri-negeri itu, dalam beberapa tahun terakhir bahkan mengalami malapetaka ekonomi berkepanjangan, berakibat membengkaknya jumlah pengangguran, kemiskinan merajalela, dan kelaparan mewabah. Kenyataan ini tentu menggelisahkan dan menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi penyebab kegagalan liberalisasi ekonomi itu?
Kekurangan modal
Robert L Heilbroner (The Worldly Philosophers, 1962) mencatat tiga unsur abstrak dalam kegiatan ekonomi (sering disebut faktor produksi): tanah, tenaga kerja, dan modal. Tiga unsur itu menggerakkan roda perekonomian. Dalam arti, kegiatan produksi hanya bisa terjadi bila didukung keberadaan tiga faktoritu. Tetapi, kini banyak ahli ekonomi berpendapat, modal merupakan faktor produksi yang dianggap paling strategis. Para ahli ekonomi sadar, modal menjadi faktor utama sebagai bentuk kekayaan yang memberi kontribusi terbesar dalam kegiatan produksi.
Dalam perkembangan dunia peran modal kian besar. Hertz menegaskan, kini tatanan global berbasis kebutuhan modal. Sedemikian pentingnya modal maka dikatakan pemilik modal menjadi penguasa baru yang mendikte pemerintahan di negara-negara debitor.
Modal itu penting, karena berperan meningkatkan produktivitas tenaga kerja dan pada gilirannya menciptakan kekayaan bangsa-bangsa. Tetapi, persis inilah masalahnya. Seperti dikatakan J Harvey (Modern Economics, 1976) sebelumnya, negara-negara Dunia Ketiga memiliki sumber daya alam dan tenaga kerja melimpah, tetapi tak tersedia modal cukup (lack of capital). Keadaan ini menyebabkan segala potensi yang dimiliki negara-negara Dunia Ketiga tak bisa dimanfaatkan untuk pembangunan. Mengapa hal itu terjadi?
Penciptaan modal
Hernando de Soto, ekonom dari Dunia Ketiga, amat peduli dengan masalah itu. Dalam The Mystery of Capital, de Soto menguraikan dalam lima misteri: misteri modal, misteri kesadaran politik, misteri tiadanya informasi, misteri hilangnya pelajaran dari sejarah Amerika Serikat (AS), dan misteri kegagalan legalitas. Gagasan de Soto berpusat pada sistem kepemilikan sah (Formal Property System). Menurut de Soto, konsep penciptaan modal ternyata sederhana, yakni bagaimana mengubah aset menjadi modal. Menurut de Soto, di Barat, sistem kepemilikan sah telah mengawali pembentukan aset menjadi modal.
De Soto melihat, sistem kepemilikan sah di Barat menghasilkan enam pengaruh yang memungkinkan rakyat negara maju mampu menghasilkan modal. Inilah yang tidak terjadi di Dunia Ketiga, menyebabkan masyarakat Dunia Ketiga tidak mampu menghasilkan modal.
Ada enam pengaruh sistem kepemilikan sah. Pertama, menjadikan aset sebagai potensi ekonomi. Dengan mencatat potensi ekonomi, aset dalam dokumen kepemilikan, orang Barat menciptakan jalan cepat guna menemukan aspek yang amat produktif dari kepemilikannya. Dari sini modal lahir.
Kedua, menyatukan informasi yang terserak dalam satu sistem. Melalui sistem kepemilikan sah, masyarakat negara-negara Barat memperoleh gambaran tentang kualitas ekonomi dan sosial dari berbagai aset yang tersedia. Akibatnya, potensi aset dapat dikembangkan dengan lebih mudah guna mempertinggi produksi modal.
Ketiga, membuat masyarakat bertanggung jawab. Sistem kepemilikan sah menciptakan individu-individu dari suatu kerumunan rakyat. Sistem ini juga membebaskan rakyat dari kegiatan ekonomi primitif yang bersifat parokial. Rakyat mampu mencari berbagai peluang yang ada tentang bagaimana memanfaatkan aset secara optimal. Hal ini membuat rakyat tidak hanya mampu mencari keuntungan atas penggunaan aset, tetapi berani melakukan sesuatu yang penuh risiko. Kepemilikan sah memungkinkan rakyat melakukan berbagai kesanggupan ekonomi.
Keempat, membuat aset segar. Satu hal yang paling penting dari sistem kepemilikan sah adalah kemampuannya untuk mentransformasikan aset-aset sehingga menjadi lebih produktif. Sebuah aset yang tetap terbelenggu dalam ujud fisiknya, membuat aset itu dingin dan beku, serta tidak tampil lebih praktis dalam berbagai transaksi. Adanya sistem kepemilikan membuat transaksi dan perjanjian bisnis dapat dilakukan lebih lancar karena lebih praktis. Semua ini mampu menekan biaya yang dikeluarkan dalam transaksi perdagangan.
Kelima, menciptakan jaringan rakyat. Melalui sistem kepemilikan sah ini organisasi-organisasi keuangan dapat mengidentifikasikan kebenaran informasi tentang potensi aset dari para calon debitor dalam jumlah besar. Melalui sistem ini pula, maka aset dari suatu tempat yang jauh dapat melindungi sebuah investasi industri di tempat lain. Demikianlah sebuah sistem kepemilikan menciptakan sebuah jaringan rakyat, sehingga mereka dapat membuat aset dalam kombinasi yang lebih bernilai.
Keenam, melindungi transaksi. Dokumen kepemilikan seperti sertifikat, akte-akte notaris, saham-saham dan kontrak-kontrak, menggambarkan aspek penting secara ekonomi dari aset-aset. Dokumen kepemilikan itu di negara-negara Barat memiliki peran untuk perlindungan transaksi. Dengan terjaminnya keamanan transaksi maka akan menghasilkan kepercayaan. Dengan cara ini aset akan memiliki peran aktif sebagai modal. Semua ini menjelaskan mengapa di Barat penciptaan modal dari kepemilikan terjadi secara mudah.
Catatan akhir
Memang tak ada sebuah teori yang sempurna. Gagasan de Soto pun punya kelemahan. The Economist (1/02/2003) menulis, salah satu kelemahan gagasan De Soto, yakni menyederhanakan (simplifikasi) atas persoalan ekonomi yang kompleks. Dia menjual solusi umum yang sederhana guna menyelesaikan banyak kompleksitas latar belakang persoalan, seperti kekhasan budaya.
Meski demikian, gagasan De Soto membuka perspektif baru tentang bagaimana mencukupi kebutuhan modal. De Soto menunjukkan, pokok persoalan yang mendasar adalah bukan bagaimana mencukupi kebutuhan modal, kan tetapi bagaimana menciptakan modal melalui sistem kepemilikan sah.
Akhirnya yang paling penting adalah bagaimana menciptakan sistem yang mampu menciptakan modal. Bila Jepang berhasil mencapai kemajuan berkat semboyan "Western technique, Japanese spirit", maka gagasan De Soto adalah tantangan kepada para pemimpin negeri untuk dapat diterjemahkan dalam konteks Indonesia.
Memang ini bukan pekerjaan mudah. Untuk itu diperlukan keputusan politik yang berani guna mewujudkan gagasan ini. Tentu, mencukupi kekurangan modal dengan cara pinjaman (utang) luar negeri adalah cara penyelesaian yang tidak strategis. Bahkan, telah terbukti membawa malapetaka bagi bangsa Indonesia.
by.
Teguh Santosa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar