Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Jumat, 15 April 2011

Tambahan Catatan Dalam Rangka Sosialisasi RUU Tentang Perampasan Aset Tindak Pidana

Pengantar
Sekedar catatan ini ingin ditambahkan pada makalah yang telah saya sampaikan pada lokakarya PPATK tanggal 21 Juli 2009 tentang tema serupa. Seperti juga pada waktu itu saya ingin menekankan agar kita berhati-hati dan tetap memperhatikan “rule of law” dan “due process of law” dalam merumuskan lembaga hukum upaya paksa baru ini.
Lembaga hukum “non-conviction based forfeiture” ini memang dikenal dalam sistem hukum Anglo-American (common law system), tetapi tidak atau kurang dikenal dalam sistem hukum Eropa Kontinental (civil law system). NCB forfeiture maupun civil forfeiture juga masih dipersoalkan di negara-negara yang mengenalnya, antara lain mencegah adanya “abuse of police powers” dalam pelaksanaan upaya hukum “perampasan aset” yang diduga terkait tindak pidana.
Terutama dalam suasana akhir-akhir ini, dimana kegiatan pemberantasan korupsi di Indonesia sedang “dihambat” dan Pengadilan Tipikor serta KPK ingin “diperlemah”, maka agar RUU ini mendapat dukungan penuh di DPR (baru), disarankan agar perumusan konsep-konsep itu benar-benar sejalan dengan perlindungan hukum yang diberikan oleh Konstitusi kita.

StAR (Stolen Asset Recovery)
Perampasan aset tindak pidana yang direncanakan dalam RUU ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari kampanye dunia melawan korupsi. Melalui UNCAC telah diusahakan adanya kerja sama antar negara melawan korupsi ini, antara lain dengan meningkatkan kemampuan negara-negara berkembang “merampas kembali” aset yang telah dicuri oleh para koruptor dan disembunyikan di luar negeri (terutama di negara-negara maju dan/atau di “off shore financial centres”).
Untuk dapat merampas kembali (recover) aset yang disembunyikan para koruptor Indonesia di luar negeri, maka paling tidak diperlukan dua syarat utama:
(a) Indonesia juga harus mempunyai sistem peradilan yang jelas dan tegas melawan korupsi (dalam hal ini UU Korupsi, KPK dan Pengadilan Tipikor);
(b) Indonesia harus juga mempunyai undang-undang yang jelas dalam “merampas kembali” aset yang dicuri oleh para koruptor (baik aset yang disembunyikan di dalam negeri, maupun di luar negeri)
Terutama kalau Indonesia ingin merampas (recover) aset koruptor Indonesia yang berada di luar negeri, maka kedua syarat di atas akan sangat menentukan. Mengapa? Karena menurut saya Indonesia tidak akan dapat begitu saja meminta/merampas aset koruptor Indonesia di luar negeri, tetapi harus melalui jalur hukum negara di mana aset tersebut ditempatkan. Indonesia adalah yang meminta (requesting state), atau “negara korban”, dan negara lain tersebut adalah yang kita minta bantuannya (requested state), “negara tempat aset”.
Beberapa catatan saya sebagai saran, mudah-mudahan dapat membantu perumusan undang-undang perampasan aset tindak pidana yang sesuai sistem hukum di Indonesia dan juga diakui oleh negara-negara tempat aset (disembunyikan) memenuhi persyaratan mereka tentang “rule of law” dan “due process of law”. Pendapat saya adalah, bahwa tidak banyak manfaatnya merumuskan perampasan aset tindak pidana yang “sederhana dan mudah” pelaksanaannya di Indonesia, tetapi tidak diakui sebagai “cukup melindungi” jaminan hukum konstitusi (constitutional legal guarantees) yang diakui negara tempat aset bersangkutan. Untuk apa kita membuat tatacara perampasan yang mudah dan sederhana ini, bukanlah sebagian besar aset korupsi (yang ingin kita rampas itu) berada di luar negeri. Saya pikir koruptor-koruptor Indonesia tidak bodoh  untuk menyembunyikan harta kekayaan mereka di Indonesia!

Perampasan aset tindak pidana
Perampasan aset tindak pidana (selanjutnya “perampasan aset” saja) dikenal dalam hukum pidana Indonesia melalui Pasal 10 b (pidana tambahan) KUHP dan selanjutnya diatur lebih lanjut dalam pasal-pasal 39-42 KUHP. Konsep hukum (legal concept) perampasan aset menurut hukum pidana Indonesia (dan Belanda) adalah: suatu pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh hakim, bersama-sama dengan pidana pokok (di Belanda dapat juga dijatuhkan secara tersendiri oleh hakim). Pasal 39 KUHP selanjutnya mengatur barang (aset) apa saja yang dapat dirampas.
Catatan: Jadi RUU ini akan mengajukan konsep hukum baru (memperluas konsep hukum lama), dengan menjadikan perampasan barang (aset) dapat juga “bukan pidana”. Perluasan konsep ini perlu dicantumkan pada awal RUU (tidak cukup hanya dalam penjelasan!).
Dalam makalah untuk PPATK saya juga mengingatkan adanya konsep “penyitaan” menurut hukum pidana Indonesia. Penyitaan ini dijelaskan dalam KUHAP (hukum acara) Indonesia, antara lain dalam Pasal 1, butir 16. Berbeda dengan “perampasan” (di mana hak milik aset berpindah permanen ke negara, tanpa kompensasi), maka “penyitaan” sifatnya sementara penyitaan ini juga dipakai dalam RUU dalam arti “pemblokiran” (Pasal 8 RUU), maka diperlukan pula penjelasan, apakah “penyitaan/pemblokiran” ini dalam arti KUHAP (sementara) atau dapat menjadi perampasan aset yang permanen (menurut RUU).
Catatan: RUU harus jelas apakah bermaksud untuk memperluas konsep KUHAP tentang “penyitaan” menjadi “pemblokiran” (menurut RUU). Pengertian “pemblokiran” (persamaan dan atau perbedaan dengan “penyitaan” KUHAP) harus ada pula pada awal RUU (tidak cukup hanya dalam penjelasan!)

Non-Conviction Based (NCB) Forfeiture
Konsep baru yang diajukan dalam RUU ini adalah yang di luar negeri (PBB dan Bank Dunia) dikenal sebagai “NCB Forfeiture”, yang dalam Pasal 1 butir 1 RUU didefinisikan sebagai: “... upaya paksa (dwangmiddel) yang dilakukan oleh negara untuk merampas aset tindak pidana berdasarkan penetapan pengadilan, tanpa dikaitkan dengan penghukuman terhadap pelakunya” (non conviction).
Menurut pendapat saya (mungkin juga keliru?) konsep “perampasan NCB” ini di negara Amerika Serikat di namakan juga “civil forfeiture”, yang saya terjemahkan bebas dengan “perampasan perdata” (menurut hukum perdata). Dengan asumsi ini saya melanjutkan catatan saya tentang RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan NCB/RUU Perampasan Perdata) ini.
Bank Dunia telah menerbitkan sebuah buku (oleh Theodore S. Greenberg, dkk) berjudul: Stolen Asset Recovery: A Good Practice Guide for Non-Conviction Based Asset Forfeiture (April 2009). Dalam promosi buku ini (saya belum mempunyainya) dikatakan antara lain:
“... (NCB) asset forfeiture is a powerful tool for recovering the proceeds of corruption, particulary in cases where the proceeds have been transferred abroad.”
[... (NCB) perampasan aset adalah alat yang tangguh untuk merampas kembali hasil korupsi, terutama dalam kasus-kasus di mana hasilnya telah ditranfers ke luar negeri]
Jadi “Perampasan NCB” ini didesain khusus untuk perampasan aset tindak pidana yang disembunyikan di luar negeri. Sekali lagi, hanya efektif bilamana undang-undang perampasan NCB kita ini diakui diluar negeri sebagai berdasarkan “rule of law” dan mengakui “due process of law”.
Menurut informasi di Internet, bab 3 dari Bagian A buku ini akan menjelaskan:
“Distinguishing between Criminal Forfeiture and NCB Asset Forfeiture ... in Civil dan Common Law Jurisdiction ... Appropriate Laws to Introduce Forfeiture ... Asset Recovery”.
[membedakan antara perampasan menurut hukum pidana dan NCB perampasan aset ... di yurisdiksi hukum “Civil Law dan “Common Law” ... Undang-undang (hukum) yang cocok untuk mengantar Perampasan ... Aset]
Agar RUU kita memang dapat diakui di negara-negara tempat aset, maka sebaiknya kita mempergunakan bab 3, Bagian A buku yang dikeluarkan Bank Dunia (April 2009) ini sebagai pedoman.

Civil vs Criminal Forfeiture
Sebagaimana saya katakan dalam makalah yang lalu terdapat dua jenis perampasan yang dipergunakan secara internasional untuk memperoleh kembali hasil korupsi, yaitu menurut hukum pidana dan menurut hukum perdata. Perampasan menurut hukum perdata (civil forfeiture) sering pula dinamakan “in rem forfeiture”, sedangkan perampasan menurut hukum pidana (yang kita kenal dalam KUHP-criminal forfeiture) disebut sebagai “in personam forfeiture”.
Yang terakhir ini tidak perlu kita bicarakan panjang lebar dalam makalah ini, cukup mengingatkan bahwa perampasan menurut KUHP adalah pidana (tambahan) terhadap harta kekayaan (vermogensstraf), yang bermaksud untuk “merugikan” terpidana (dengan mengurangi kekayaannya). Di Belanda pasal-pasal tentang perampasan menurut hukum pidana ini disempurnakan bulan Oktober 1992. Antara lain ditetapkan bahwa yang dapat dirampas adalah: “rights in rem and rights in personam pertaining to the objects specified in a through e (a s/d e adalah barang-barang yang boleh dirampas). Sedangkan “civil forfeitures” (perampasan NCB) dianggap “in rem actions”, didasarkan pada “the unlawful use of the res (the thing), irrespective of its owner’s culpability”. Di Amerika Serikat (yang mendorong dipergunakannya lembaga hukum ini untuk memerangi narkoba, dan sekarang terorisme) pada dasarnya dipergunakan “rules of civil procedure) (hukum acara perdata). Namun demikian diakui pula bahwa sifatnya sebenarnya “quasi-criminal” (hampir seperti hukum pidana). Karena itulah di Amerika Serikat, civil forfeiture atau NCB forfeiture tetap mendapat jaminan konstitusi Fourth Amendement, mengenai “search and seizure”. Untuk Indonesia, maka jaminan konstitusi itu ada dalam Pasal 28g UUD:
“(1) Setiap orang berhak atas perlindungan ... harta benda yang dibawah kekuasaannya ...”
Hal ini antara lain berarti bahwa harta benda (kekayaan) seseorang tidak boleh secara sewenang-wenang digeledah atau dirampas (ini termasuk dalam perlindungan hukum acara pidana dan hukum pidana).
Tekanan saya pada “jaminan konstitusi” ini bukan untuk meniadakan pembentukan RUU. Seperti dikatakan dalam pamplet internet dari Basel Institute on Governance, International Centre for Asset Recovery: keuntungan prosedur perampasan asset tindak pidana melalui prosedur khusus perundang-undangan adalah dalam hal:
a) Terdakwa telah wafat. Hukum Pidana tradisional yang bertumpu pada pertanggungjawaban pidana seorang pelaku menyebabkan aset illegal pelaku tidak dapat dirampas negara. Melalui perampasan NCB, maka melalui proses in rem terhadap aset, harta illegal tersebut dapat dirampas.
b) Terdakwa bebas dalam peradilan pidana dan karena itu perampasan menurut hukum pidana tidaklah mungkin. Perampasan NCB memungkinkan untuk merampas hasil kejahatan. Ini bukan membuka kembali kasus tersebut, karena sekarang tidaklah bertujuan meminta pertanggungjawaban terdakwa, tetapi bermaksud untuk membuktikan asal-usul aset yang bersangkutan.
c) Terdakwa tidak dapat ditemukan dalam “negara korban”, karena dia sudah melarikan diri keluar negeri.
d) Pemilik aset bersangkutan tidak pasti. Kejahatan ekonomi biasanya diikuti dengan usaha “pencucian uang” (money laundering), kalau hal ini berhasil, maka kepemilikan (Tersangka) sukar di buktikan. Perampasan NCB diharapkan dapat sangat bermanfaat.
e) Ketentuan daluarsa menuntut kejahatan korupsi (bila ada), tidak memungkinkan penyidikan perbuatan ini. Perampasan NCB diharapkan memungkinkan perampasan hasil kejahatan.
Contoh-contoh yang diajukan dalam pamplet internet tersebut sebaiknya dipelajari dan didiskusikan di Indonesia, sehingga permusan RUU dapat disesuaikan dengan contoh kasus tersebut (bila kasus tersebut cocok untuk Indonesia dan tujuan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana).

Catatan dan saran tentang prosedur
Saran-saran di bawah ini tidak merujuk kepada konsep RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, karena saya tidak mengikuti perkembangan pasal-pasal bersangkutan. Saran-saran ini dibuat berdasarkan bahan bacaan:
(a) Civil Asset Forfeiture Reform Act of 2000 – Public Law 106-185-April 25, 2000 (Amerika Serikat);
(b) Brenda Grantland, “Asset Forfeiture : Rules and Procedures” – www.drugtext.org/library/articles/grantland01.htm (diakses 7 / 28 / 2009).
1) Rupanya dapat dibedakan antara “judicial civil forfeiture” dengan “non-judicial civil forfeiture;” yang terakhir ini kemudian harus diikuti dengan yang pertama.
2) Beban pembuktian ada pada Pemerintah: “... the burden of proof is on the Government to establish by a preponderance of the evidence, that the property is subject to forfeiture”.
3) Pembelaan pemilik: “An innocent owner’s interest in property shall not be forfeited ... The claimant shall have the burden of proving that (he) is an innocent owner by the preponderance of the evidance” (lebih ringan dari “beyond a reasonable doubt”, tapi lebih berat dari “probable cause”).
4) Ada syarat “seizure warrant”, “ijin tertulis hakim pengadilan” (hakim komisaris yad?) untuk “menyita” aset tindak pidana.
5) Ada prosedur khusus dalam hal “civil forfeiture of real property” ; selalu “shall proceed as judicial forfeitures” dan “the owners or occupants ... shall not be evicted”.
6) Dalam hal ada kemungkinan sidang “civil forfeiture” dapat mengganggu penyidikan atau penuntutan kasus kriminal yang bersangkutan, maka sidang dapat ditunda (“stay”).
7) Fugitive disentitlement: dalam hal tersangka yang mengetahui dirinya akan ditangkap melarikan diri ke luar negeri, maka Pengadilan dapat menolaknya (disallow) untuk membela kepemilikan asetnya yang dirampas.
8) Enforcement of foreign judgment: Diperlukan pula ketentuan prosedur bila permintaan dari luar negeri ke Indonesia. Dalam hal Amerika Serikat merupakan “negara tempat aset”, maka mereka mensyaratkan adanya:
8.1. Permintaan diajukan kepada Attorney General;
8.2. Ikhtisar tentang duduknya perkara, jalannya persidangan yang memutuskan perampasan aset tindak pidana;
8.3. Salinan yang disahkan (certified) berisi putusan perampasan aset tindak pidana;
8.4. Bukti (affidavit) bahwa Terdakwa mendapat kesempatan membela diri dan bahwa putusan pengadilan tidak dapat dibanding lagi;
8.5. keterangan lain yang dibutuhkan Attorney General.
Atas dasar dokumen-dokumen di atas, Attorney General USA mengajukan permohonan atas nama “negara korban” untuk: “to enforce the foreign forfeiture or confiscation judgment as if the judgment has been entered by a court in the United States”. Pada dasarnya pengadilan yang bersangkutan akan “enforce the judgement on behalf of the foreign nation, unless the court finds that”:
(a) Pengadilan Indonesia melaksanakan prosedur “incompatible with the requirement of due process of law”;
(b) Pengadilan Indonesia tidak punya wewenang (yurisdiksi) mengadili Terdakwa;
(c) Terdakwa/tergugat (defendant) tidak diberitahu tentang acara sidang, dengan cukup waktu untuk membela diri;
Dalam rangka menyusun RUU Perampasan Aset Tindak Pidana (NCB Asset Forfeiture  Versi Indonesia) ini, maka perlu pula dipelajari dengan seksama ke-36 Prinsip-prinsip utama yang disadur dari buku Theodore S. Greenberg dkk (April 2009):
A. Prinsip-prinsip yang utama;
B. Definisi Aset dan Delik menurut NCB Asset Forfeiture;
C. Upaya investigasi dan preservasi aset;
D. Konsep-konsep prosedur dan pembuktian;
E. Para pihak dalam proses peradilan dan syarat pemberitahuan;
F. Putusan Pengadilan;
G. Pertimbangan organisasi dan (dalam) pengelolaan kembali aset;
H. Kerjasama Internasional dan “perampasan kembali” aset.

Penutup
Dengan memperhatikan catatan-catatan di atas saya menyarankan agar disusun dahulu suatu “naskah akademik” yang dapat membahas bagaimana konsep “perampasan aset tindak pidana” dalam bentuk “non-conviction based forfeiture” atau “civil forfeiture” dapat diselaraskan dalam hukum Indonesia. Ahli hukum acara pidana dan ahli hukum acara perdata perlu dikonsultasikan agar semua langkah mendapat dukungan konsep-konsep dalam sistem hukum Indonesia.



Jakarta, 3 Agustus 2009
Disampaikan sebagai Narasumber dalam
Sosialisasi RUU oleh Ditjen PP, Dep Huk Ham,
di Hotel Maharani, Jakarta Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar