Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Sabtu, 05 Maret 2011

Pengembalian Aset Korupsi: Masukkan Konverensi Internasional Anti Korupsi 2008


Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator   
Senin, 13 Agustus 2007 10:31
Isu pengembalian aset korupsi kembali menjadi isu pokok dalam pertemuan membahas draf Konvensi Anti Korupsi (KAK) PBB 2003, karena telah terbukti, korupsi berdampak meningkatnya kemiskinan terutama di negara- negara berkembang, seperti Nigeria dengan Jenderal Sani Abacha, di Filipina dengan Ferdinand Marcos, dan di Peru dengan Fujimori, termasuk Indonesia dengan HM Soeharto.
Pemimpin-pemimpin negara itu selain juga berjasa untuk negaranya, juga dikenal karena korupsinya. Tidak boleh dilupakan juga, harta kekayaan keluarga dan para kroni semasa berkuasa. Di sisi lain, negara ketempatan harta kekayaan hasil korupsi itu dalam kenyataan sangat tidak kooperatif dengan berbagai dalih berlindung di balik kerahasiaan bank (bank secrecy) seperti, Swiss,Austria, Cayman Island, dan Singapura. Banyak alasan yang diberikan untuk menolak memberikan bantuan. Antara lain,para pelaku adalah pembayar pajak yang baik, warga masyarakat yang patuh pada hukum, dan tidak pernah membuat kesulitan di negara- negara itu.
Lagi pula, alasan domestik lain di antaranya, proses pengembalian aset memerlukan biaya yang tidak sedikit, sedangkan tentunya biaya itu akan ditanggung oleh pembayar pajak di negeri itu dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan negara yang dikorupsi. Setelah draft KAK PBB 2003 diadopsi di Merida, Mexico pada 30 Desember 2003, maka pandangan negatif terhadap pengembalian aset (asset recovery/AR) telah berubah. Di mana negara peserta dan peratifikasi konverensi telah memahami sepenuhnya dan menyetujui penggunaan sarana hukum untuk pengembalian aset korupsi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif semua negara, bukan saja negara yang harta kekayaannya telah dikorupsi.
Sejak diadopsinya KAK 2003 ini, dan banyak negara telah meratifikasinya, maka pengembalian aset merupakan isu penting dalam pemberantasan korupsi yang bersifat transnasional dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa paska perang dingin.Sekalipun kesepakatan masyarakat internasional terhadap isu pengembalian aset telah dicapai, akan tetapi implementasi dan prosedurnya memerlukan adaptasi dan harmonisasi terhadap hukum domestik, khususnya yang berkaitan dengan korupsi dan pencucian uang. Tiap negara, tentu memiliki perundang- undangan yang berbeda mengenai definsi, lingkup, serta operasionalisasi penerimaan dan pengeluaran keuangan negara setiap tahunnya. Berkaitan dengan ini, maka proses pengembalian aset korupsi harus diperjelas dalam tiga tahapan proses.Yaitu, bagaimana memulihkan aset korupsi (recovery), mengembalikannya (returned), dan bagaimana memanfaatkannya di dalam negeri (completion). Atau biasa disebut tahapan RRC.
Tiga tahapan tersebut memerlukan payung hukum domestik yang memadai dan tidak tumpang tindih. Karena, sampai saat ini dalam perundang-undangan Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai aset-aset hasil kejahatan (korupsi) kecuali cukup diberi label ?kerugian (keuangan) negara?, dipandang cukup untuk dianggap sebagai aset negara, seketika dilaksanakan eksekusi putusan pengadilan melalui proses penyitaan.Di lain pihak, ternyata masih ada masalah khusus yang perlu dipertimbangkan pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan mengenai AR di dalam KAK PBB 2003 tersebut.
Pertama, apakah pengaturan bahwa, kerugian keuangan negara dalam UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001, masih tetap relevan dengan pandangan baru tentang posisi negara dalam mengelola kesejahteraan masyarakatnya, dan posisi hak warga masyarakat untuk ikut serta baik sejak proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi sebatas pemantauan dan pelaporan. Kedua, apakah dapat diterima dari sudut posis hukum domestik yang berlaku, pandangan bahwa, di dalam aset yang dikembalikan tersebut, baik secara implisit maupun eksplisit juga terkandung aset milik pihak ketiga yang beritikad baik atau hak negara lain.
Ketiga, jika jawaban atas masalah kedua bersifat positif, maka bagaimana penyelesaian hukum terhadap aset korupsi yang dapat dikembalikan tersebut, dan bagaimana bingkai hukum serta apakah diperlukan suatu badan khusus untuk mengelolanya? Jawaban atas masalah pertama, tentu merupakan suatu kebijakan baru pemerintah Indonesia dalam menyikapi hal ini. Karena akan berbenturan atau bersinggungan dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan sampai saat ini belum ada UU tentang Kekayaan Negara.
Dalam konteks korupsi transnasional tersebut, maka pembenahan terhadap UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 tahun 1999 diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU Nomor 15 tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan hal mendesak dan perlu dipersiapkan sejak sekarang dan dimasukkan ke dalam prolegnas tahun 2008. Apalagi, bulan Januari tahun 2008 di Bali, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konverensi Internasional Anti Korupsi ke II di bawah payung UNODC ?PBB. Maka, konsep tentang AR sangat penting bagi Indonesia dan memerlukan konseptualisasi yang jelas dan memenuhi kepentingan sebagian negara peserta konverensi. Saat ini, belum diketahui benar sejauh mana pemerintah telah menyiapkan konseptualisasi AR sebagai kebijakan proaktif pemerintah dalam konverensi internasional tersebut.
Kurang transparannya pemerintah dalam menyebarluaskan konseptualisasi AR, merupakan titik kelemahan signifikan untuk dapat memperoleh pengakuan baik nasional maupun internasional. Jika koordinasi dan sinkronisasi konseptualisasi AR dengan berbagai perundangundangan yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, serta UU Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian uang, dan pelibatan pakar-pakar hukum yang ahli di bidangnya, maka dapat diperkirakan semakin sulit pemerintah Indonesia memperoleh pengakuan itu. AR dalam KAK PBB 2003 menggunakan strategi AR langsung (direct recovery) dan tidak langsung (indirect recovery). Strategi pertama mengandung implikasi hukum yang dikenal sebagai civil recovery sedangkan strategi kedua, dikenal sebagai criminal recovery.
Strategi AR melalui cara pertama dilaksanakan dengan melakukan gugatan perdata terhadap ?pemilik harta kekayaan? yang di duga berasal dari korupsi dan ditempatkan di negara lain. Gugatan semacam ini sudah tentu memerlukan bantuan pengacara negara setempat yang telah terbukti memerlukan biaya yang relatif besar, seperti halnya gugatan atas keka- yaan mantan Presiden Marcos di Swiss yang berakhir dengan ?perdamaian? antara pemerintah Filipina dan Imelda Marcos. Sedangkan strategi AR melalui cara kedua, tidak memerlukan biaya besar karena proses peradilan pidana di negara yang berkepentingan atas aset korupsi itu, dan pelaksanaan putusan pengadilannya diberlakukan di negara di mana aset ditempatkan.
Strategi AR dengan Civil Recovery ada kelebihannnya dibandingkan melalui Criminal recovery yaitu bahwa, dengan cara pertama dapat menggunakan metoda pembuktian terbalik sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAK PBB 2003 yang menegaskan, tersangka wajib membuktikan keabsahan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Pembuktian terbalik untuk merampas harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi melalui Civil Recovery tidak merupakan pelanggaran HAM tersangka, karena yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaannya di mana seorang pemilik harta kekayaan tersebut ditempatkan dalam posisi sebelum dia menjadi kaya.
Namun demikian, proses pembuktian terbalik itu tidak serta merta menempatkan pemilik harta kekayaan ?jika tidak dapat membuktikan harta kekayaannya- menjadi terdakwa untuk kasus tindak pidana korupsi. Ketidakmampuan orang yang bersangkutan untuk membuktikan keabsahan harta kekayaannya tidak dapat dijadikan bukti untuk menuntut orang itu dalam perkara tindak pidana korupsi. Bertitik tolak dari uraian itu,maka masih banyak yang harus disiapkan pemerintah untuk mengantisipasi pemberlakuan secara nasional KAK PBB tahun 2003 tersebut.* Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad  
(Sumber SINDO)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar