Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Sabtu, 05 Maret 2011

StAR

STOLEN ASSET RECOVERY (StAR)
DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL
Maskun


Pendahuluan
Korupsi telah menjadi musuh bersama umat manusia. Korupsi telah menjelma menjadi ”penyakit” yang sangat menakutkan karena sedang mewabah di seluruh dunia tanpa diketahui obat yang mujarab untuk menanganinya. Hampir tidak ada lagi ruang (space) kosong di muka bumi ini dimana seseorang tidak melakukan korupsi (tindak pidana korupsi), khususnya di negara-negara dunia ketiga (developing and under-developing countries). Oleh karena itu, dengan sifat ”mewabah” yang melekat padanya, maka korupsi bukan hanya menjadi masalah nasional di suatu negara, akan tetapi telah menjadi masalah internasional yang harus diselesaikan, juga bukan hanya dengan menggunakan instrumen hukum nasional saja, tetapi juga instrumen hukum internasional.
Penggunaan instrumen hukum nasional yang selama ini ditempuh dalam menangani permasalahan korupsi di setiap negara, ternyata tidak cukup ”ampuh” untuk meredam jumlah/terjadinya tindak pidana korupsi. Indonesia misalnya, sampai saat ini telah mengundangkan 3 (tiga) Undang-Undang (UU) tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR), masing-masing UU. No. 3 Tahun 1971, yang diganti dengan UU. No. 31 Tahun 1999, yang kemudian diubah lagi dengan UU. No. 20 Tahun 2001. Pergantian UU tentang Pemberantasan TIPIKOR menggambarkan upaya dan usaha pemerintah Indonesia untuk mengatasi persoalan korupsi, yang tentunya perubahan tersebut selalu diupayakan agar sejalan dengan perkembangan modus operandi korupsi itu sendiri. Akan tetapi, upaya tersebut juga tidak cukup efektif untuk menurunkan jumlah (angka) korupsi di Indonesia. Justru, jika harus jujur Indonesia semakin berada pada posisi yang sangat tidak menguntungkan dalam penegakan hukum di bidang TIPIKOR.
Keterbatasan instrumen hukum nasional sebagaimana contoh Indonesia di atas, juga terjadi di hampir seluruh negara-negara di dunia. Oleh karena itu, dengan memahami kondisi objektif tersebut, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai institusi resmi yang merupakan payung institusi internasional menggagas perlunya untuk sesegera mungkin melahirkan suatu konvensi yang menentang korupsi di dunia dan membangun dialog komunitas dalam bentuk kerjasama internasional untuk bersama-sama menyelesaikan masalah korupsi. Sebagai wujud keseriusan tersebut, maka pada tanggal 9 Desember 2003 bertempat di Merida, Mexico telah ditandatangani United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang ditandatangani oleh 133 negara.
Berjuta pengharapan terhadap lahirnya UNCAC, yang dianggap sebagai instrumen internasional pertama di bidang penanganan korupsi, tergantungkan. Dengan harapan bahwa persoalan korupsi dapat diselesaikan bukan hanya melalui mekanisme nasional, akan tetapi juga mekanisme internasional. Tujuan umum konvensi ini adalah: (1) meningkatkan/memperkuat tindakan pencegahan dan pemberantasn korupsi; (2) meningkatkan/memperkuat kerjasama internasional (pengembalian aset); (3) meningkatkan integritas dan akuntabilitas dan manajemen publik dalam tata kelola kekayaan negara.
Menyoal dan menganalisis tujuan umum UNCAC, pada hakikatnya menempatkan posisi negara-negara untuk sesegera mungkin merespon kehadiran konvensi ini. Korupsi yang semakin hari semakin ”menggila” membutuhkan penanganan bersama, khususnya dalam konteks pengembalian aset (asset recovery) yang berada di luar negeri, dimana hal tersebut adalah sesuatu yang terabaikan awalnya dan dalam penegakan hukum tidak memiliki dasar hukum yang jelas, contohnya di Indonesia. Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, secara eksplisit tidak dikenal adanya istilah pengembalian aset (asset recovery) baik itu dalam UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara maupun dalam UU No 31/1999 yang diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Bahkan, juga tidak diatur di dalam UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Indonesia sebagai bagian dari negara-negara yang menyatakan perang terhadap korupsi, telah menunjukkan komitmennya dengan meratifikasi UNCAC dan mengundangkannya dalam bentuk UU No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC 2003. Komitmen yang tertuang dalam bentuk ratifikasi ini merupakan ”harga mati” yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia, khususunya dalam upaya untuk mengembalikan aset (asset recovery) bangsa yang disimpan oleh para koruptor di luar negeri
Dalam praktiknya, masalah pengembalian aset (asset recovery) tidaklah sesederhana yang dituliskan (law in books), banyak aspek yang mesti diperhatikan dalam menunjang pelaksanaan asset recovery ini. Menyadari akan hal tersebut, maka PBB melalui bersama UNODC bersama Bank Dunia kemudian menggagas suatu program (initiative) yang disebut dengan Stolen Asset Recovery (StAR) yang telah didiskusikan secara bersama-sama antara Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) pada pertemuan yang dilaksanakan pada 14 April 2007. Selanjutnya, UNODC dan Bank Dunia bekerja sama dengan negara-negara maju dan negara-negara sedang berkembang serta badan-badan PBB lainnya seperti G-8, IMF, the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) menjamin bahwa hasil initiative tersebut adalah benar-benar suatu upaya secara global (internasional).
Oleh karena itu, dengan memahami konteks (deskripsi) di atas, maka paper ini dengan sedikit sentuhan intuisi intelektual yang ada mencoba menganalisis bagaimana Stolen Asset Recovery (StAR) ini dapat bekerja optimal dan efektif dalam perspektif hukum internasional.

Stolen Asset Recovery (StAR) Dalam Perspektif Hukum Internasional

Menganalisis posisi StAR dalam perspektif hukum internasional, tentunya akan didekatkan pada hakikat dicantumkannya asset recovery dalam konvensi. Asset recovery dalam pandangan hukum sesungguhnya dapat dipandang sebagai bagian proses penegakkan hukum akibat gagalnya pendekatan pemidanaan dalam menangani masalah tindak pidana korupsi dan sekaligus merupakan bagian prinsip dari UNCAC . Sehingga asset recovery ini dipandang memiliki ”daya paksa” yang lebih ampuh untuk menekan meningkatkan jumlah korupsi yang terjadi.
Akan tetapi dalam praktik, upaya StAR initiative dalam proses penegembalian aset akan menemui banyak kendala khususnya bagi negara peminta (requesting state) dan negara yang diminta (requested state). Oleh karena itu, bantuan dan kerja sama dari negara-negara maju sangat dibutuhkan dalam memebantu negara-negara sedang berkembang dalam mengembalikan aset curian.
Dalam konteks ini, StAR dapat dianalisis dari sudut pandang hukum internasional, dengan meletakkan StAR sebagai suatu skema yang akan menguraikan lebih lanjut ketentuan UNCAC, khususnya pengembalian aset. Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pengimplementasian StAR menurut optik hukum internasional, yaitu:

1. Adanya perjanjian ekstradisi;
Sehubungan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan seseorang dan terkait dengan pengembalian aset yang terdapat di luar negeri ke origin state, maka elemen utama yang dapat ditempuh adalah dengan adanya perjanjian ekstradisi antara negara peminta (requesting state) dan negara yang diminta (requested state) serta lembaga-lembaga bilateral dan multilateral yang terkait.
Ekstradisi pada hakikatnya menunjuk pada suatu proses dimana berdasarkan traktat atau atas dasar resiprositas suatu negara menyerahkan ke negara lain atas permintaannya seseorang yang dituduh atau dihukum karena melakukan tindak kejahatan yang dilakukan terhadap hukum yang mengajukan permintaan (requesting state), negara yang meminta ekstradisi memiliki kompetensi untuk mengadili tertudh pelaku tindak pidana tersebut.
Dalam praktiknya, ekstradisi dimungkinkan pada hampir seluruh jenis tindak pidana kecuali kejahatan politik, tindak pidana militer, dan tindak pidana agama. Tindak pidana yang dapat diekstradisi pada umumnya adalah kejahatan-kejahatan berat, dalam hal ini korupsi juga telah dianggap sebagai kejahatan berat (extraordinary crime).
Ekstradisi dalam perkembangannya, bukan hanya dipandang sebagai bentuk penyelesaian sengketa klasik (konvensional) jika terjadi kejahatan yang sifatnya lintas batas (borderless), akan tetapi juga dianggap sangat efektif untuk menangani the accused dalam kejahatan-kejahatan yang dilakukannya dengan modus yang lebih canggih. Oleh karena itu, komitmen yang baik harus terjalin antara negara peminta (requesting state) dan negara yang diminta (requested state), agar dapat dicapainya kesepakatan ekstradisi. Komitmen ini diharapkan akan menjadi jembatan karena ekstradisi menurut hukum internasional menganut salah satu asas bahwa tidak ada kewajiban untuk menyerahkan dan juga tidak ada kewajiban untuk tidak menyerahkan. Artinya apa, tidak ada paksaan yang dapat dilakukan terhadap suatu negara untuk menyerahkan warga negara lain yang berlindung di negaranya (non-mandatory obligation).
Penerapan asas tersebut di atas, juga dapat dipandang sebagai jawaban terhadap pertanyaan bagaimana jika dalam kasus pengembalian aset tidak terdapat perjanjian ekstradisi antara negara peminta (requesting state) dan negara yang diminta (requested state). Tentu, jawabnya jelas bahwa the accused tidak dapat diserahkan kenegaranya dan juga asset yang berada diluar negeri tidak dapat dikembalikan ke negara peminta, meskipun ia telah menyebabkan kerugian hingga ratusan trilyun.
Akan tetapi, penerapan perjanjian ekstradisi sebagaimana dikemukan Starke, dimungkinkan pengecualiannya dengan mempertimbangkan bahwa UNCAC ini dipandang sebagai dasar hukum untuk melakukan ekstradisi. Dan dalam hal tidak dijadikannya UNCAC ini sebagai landasan hukum ekstradisi, maka perjanjian ekstradisi diantara keduanya harus ada dalam rangka mengimplementasikan pasal ini. Dengan argumentasi di atas, dapat dikatakan bahwa pengecualian yang tercantum dalam Pasal 5 UNCAC hanya bersifat sukarela tergantung aturan hukum nasional masing-masing negara. Oleh karena itu, langkah yang bijaksana adalah tetap berkomitmen untuk membuat perjanjian ekstradisi, karena tiaklah mungkin StAR dapat dilakukan tanpa adanya kemitraan di pihak terkait yang sebaiknya diwujudkan dalam bentuk perjanjian yang memiliki legally bound.

2. Mutual Legal Assistance – MLA (Bantuan Hukum Timbal Balik)
MLA merupakan bahasan yang menarik yang harus diperhatikan dalam mengimplemetaskan StAR. Eksistensi MLA memainkan peranan penting dalam menjembatani pengembalian aset dalam kasus korupsi. Lingkup MLA meliputi meliputi penyelidikan, penuntutan, dan proses pengadilan terhadap the accused adalah point penting dalam kerjasama yang dilakukan oleh requestig state, requested state, dan lembaga-lemabaga bilateral dan multilataral. Tentunya, Kedudukan MLA ini, juga harus diwujudkan dalam bentuk perjanjian sebagaimana juga dalam ekstradisi.
Indonesia sebagai requesting State dalam praktiknya pernah meminta pemblokiran rekening yang dilakukan oleh penyidik Polri melalui NCB Interpol Indonesia kepada Interpol Hongkong dan Singapura. Akan tetapi sekarang, pemblokiran hanya dapat diajukan oleh Departemen Hukum dan HAM RI kepada Menteri Kehakiman Hongkong. Dalam hal permintaan tersebut oleh Kementerian Kehakiman Hongkong dikabulkan sedangkan Singapura menolak untuk melakukan pemblokiran karenatidak adanya perjanjian MLA antara Indonesia dan Singapura.
Mengingat urgensi MLA sebagaimana di atur dalam UNCAC dan StAR serta pengalaman empirik pemerintah Indonesia, maka Indonesia dalam tataran implementasi telah mengundangkan suatu Undang-Undang yang dikenal dengan UU No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Masalah Pidana. Adapun latar belakang pengundangan UU ini, adalah 1). untuk membantu penegak hukum di Indonesia dalam mengejar aset tersangka di Luar Negeri; 2) mengatasi kejahatan transnasional yang cenderung meningkat. Akan tetapi, UU ini secara substansi tidak menerapkan secara keseluruhan ketentuan UNCAC, dalam hal ini UU menerapkan beberapa pengecualian seperti penerapan prinsip dual criminality dan hukum yang dapat digunakan pada beberapa tindak pidana tertentu baik oleh negara peminta (requesting state) dan negara yang diminta (requested state).
Membangun dialog komunitas dalam MLA sangatlah penting dalam bersama-sama melakukan penyelidikan, penunututan, dan proses persidangan. Banyak hal yang dapat dipersoalkan sehingga keterlibatan negara-negara lain dalam memberikan bantuan sangat diharapkan. Kenyataanya, banyak uang hasil korupsi disimpan di lembaga keuangan negara-negara Eropa seperti Swiss dan tentunya menguntungkan mereka. Pertanyaan yang kemudian muncul seperti pada ekstradisi yaitu bagaimana melaksanakan MLA jika tidak terdapat perjanjian MLA, bagaimana Bank Dunia dapat membuat negara peminta (requesting state) dan negara yang diminta (requested state) bekerja sama dalam kasus ini?. Apakah Bank Dunia dapat memaksa atau menggunakan pengaruhnya terhadap negara maju umumnya untuk mengembalikan aset curian? Dan masih banyak pertanyaan lain yang relevan dalam mendukung StAR.

Deskripsi ekstradisi dan MLA di atas merupakan tawaran yang diberikan oleh UNODC dan Bank Dunia dalam menyelesaikan permasalahan korupsi yang dianggap sebagai “virus mematikan”, akan tetapi dalam mengimplementasikan StAR dapat pula dilakukan langkah-langkah pendekatan hukum internasional murni seperti:

 Penerapan jurisdiksi universal sebagai lingkup UNCAC.°
Jurisdiksi universal memiliki ruang lingkup tindak pidana yang berada di bawah yurisdiksi semua negara dimanapun tindak pidana itu dilakukan. Pada umumnya, kualifikasi penentuan tindak pidana didasarkan pada tindakan tersebut bertentangan dengan kepentingan masyarakat internasional, sehingga pelakunya dapat ditangkap oleh negara manapun. Dalam intuisi intelektual penulis, jurisdiksi ini dapat diterapkan pada kasus korupsi. Hal ini dikarenakan korupsi telah dianggap sebagai kejahatan luar biasa (serious offence – extraordinary crime) maka tentunya bertentangan dengan kepentingan masyarakat internasional.
Dalam konteks yang lebih luas, maka bukan hanya pelakunya yang dapat ditangkap dimanapun, akan tetapi juga dampak yang ditimbulkannya termasuk aset yang dikorupsi dan disimpan di luar negeri. Sehingga, dengan interpretasi yang lebih luas terhadap jurisdiksi ini, akan menimbulkan kewajiban dari negara-negara khususnya negara-negara maju untuk mendukung pengembalian aset sebagai wujud komitmen terhadap perang melawan korupsi.

 Penerapan Hukum Internasional Regional dan Hukum Internasional Khusus°
Hukum internasional regional adalah “hukum internasional yang terbatas lingkungan berlakunya atau hukum internasional yang hanya berlaku untuk region (bagian dunia tertentu). Hukum internasional regional berlaku karena keadaan-keadaan khusus yang terdapat dalam suatu region atau bagian dunia tertentu. Dalam hubungannya dengan korupsi, maka dapat pula dikatakan bahwa korupsi merupakan keadaan khusus dalam regional ASEAN sehingga dapat diciptakan hukum internasional regional.
Disamping hukum internasional regional, berlaku pula hukum internasional khusus. Hukum internasional khusus diartikan sebagai “hukum internasional yang hanya berlaku bagi negara-negara tertentu, yang tidak terbatas pada suatu bagian dunia (region tertentu).” Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa wilayah berlakunya hukum internasional khusus ini lebih luas dari wilayah hukum internasional regional, tetapi lebih sempit dari wilayah berlakunya hukum internasional umum. Contohnya Konvensi Korupsi ASEAN (ASEAN Corruption Convention).
Hukum internasional regional dan hukum internasional khusus sesungguhnya memiliki perbedaan dan persamaan. Perbedaan lebih dikarenakan sumber dan luas wilayah berlakunya. Hukum internasional regional tumbuh melalui hukum kebiasaan internasional; sedangkan hukum internasional khusus tumbuh melalui konvensi (perjanjian internasional). Sementara dalam konteks luas wilayah berlakunya hukum internasional regional berlaku pada region (bagian dunia) tertentu. Sedangkan hukum internasional khusus hanya berlaku bagi negara-negara tertentu, tetapi tidak terbatas pada region tertentu.

Quantum pemikiran seperti di atas, diharapkan dapat memberikan suatu dukungan yang akan memperkaya khazanah pemikiran tentang pentingnya kehadiran StAR dan bagaimana prosedur dan mekanismenya dalam operasional dilapangan. Oleh karena itu, dukungan negar-negara maju sangat dibutuhkan untuk bersama-sama menyeelsaika persoalan korupsi dengan mengoptimalkan instrumen-instrumen hukum internasional dalam mendukung pengimplementasian StAR.

Penutup
Keseriusan menghadapi masalah dan ancaman korupsi yang telah dikategorikan sebagai extraordinary crime, merupakan kebutuhan hampir seluruh negara-negara di dunia. Kehadiran UNCAC merupakan bukti konkritnya, yang telah dilengkapi dengan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiatiive. Dalam implementasinya, komitmen negara-negara dalam bentuk kerjasama internasional harus dilakukan melalui ekstradisi dan MLA, yang didikung dengan penerapan jurisdiksi universal dan penerapan hukum internasional regional dan hukum internasional khusus.



Daftar Bacaan
Adi Ashari, Peran Bantuan Hukum Timbal Balik Dalam Penyitaan dan Perampasan Aset Korupsi, Jurnal Legislasi Indonesia, Vol.4 No.1, Maret 2007.
Budiman Peranginangin, Pengalaman Indonesia Dalam Menangani Permintaan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, Lokakarya Kejahatan Keuangan, ICITAP dan POLRI, Bogor, 18 September.
Corruption Eradication Commission of Republic of Indonesia, 2006, Matriks Gap Analysis: Gap Analysis Study Report, Identification of Gaps Between Laws/Regulation of Republic of Indonesia and The United Nations Convention Against Corruption, Jakarta.
Romli Atmasasmita, Pengembalian Aset Korupsi, Internet, www. D:\REPUBLIK INDONESIA - Pengembalian Aset Korupsi.htm, 01 Agustus 2007, diakses 12 Nopember 2007.
Starke, 1992, Pengantar Hukum Internasional, ed. 10th, (terjemahan Bambang Iriana Djajaatmaja, Sinar Grafika, Jakarta.
Yunus Husein, International Workshop on MLA, Jakarta 28-29 September 2005.
The United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Diposkan oleh Muh. Maskun Yakub Zulkifli di 19:55

Tidak ada komentar:

Posting Komentar