Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Senin, 28 Maret 2011

Hukum Jaminan : Jaminan Perorangan

A. ISTILAH DAN PENGERTIAN JAMINANPERORANGAN
Istilah jaminan perorangan berasal dari kata borgtocht, dan ada juga yang menyebutkan dengan istilah jaminan imateriil.
Pengertian jaminan perorangan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, mengartikan jaminan imateriil (perorangan) adalah:
“Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya”.
Unsur jaminan perorangan, yaitu:
1. mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;
2. hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan
3. terhadap harta kekayaan deitur umumnya.
Soebekti mengartikan jaminan perorangan adalah:
“Suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berhutang (debitur). Ia bahkan dapat diadakan di luar (tanpa) si berhutang tersebut”
Menurut Soebekti juga, bahwa maksud adanya jaminan ini adalah untuk pemenuhan kewajiban si berhutang, yang dijamin pemenuhannya seluruhnya atau sampai suatu bagian tertentu, harta benda si penanggung (penjamin) dapat disita dan dilelang menurut ketentuan perihal pelaksanaan eksekusi putusan pengadilan.

B. JENIS-JENIS JAMINAN PERORANGAN
1. jaminan penanggungan (borgtocht) adalah kesanggupan pihak ketiga untuk menjamin debitur
2. jaminan garansi (garansi bank) (Pasal 1316 KUH Perdata), yaitu bertanggung jawab guna kepentingan pihak ketiga.
3. Jaminan Perusahaan
Dari jenis jaminan perorangan tersebut, maka dalam sub-sub bab berikut ini hanya disajikan yang berkaitan dengan penanggungan utang dan garansi bank.

C. PENANGGUNGAN UTANG
1. Pengertian dan Sifat Penanggungan Utang
Perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Yang diartikan dengan penanggungan adalah:
“Suatu perjanjian, di mana pihak ketiga, demi kepentingan kreditur, mengikatkan dirinya untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya” (Pasal 1820 KUH Perdata).
Apabila diperhatikan definisi tersebut, maka jelaslah bahwa ada tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Kreditur di sini berkedudukan sebagai pemberi kredit atau orang berpiutang, sedangkan debitur adalah orang yang mendapat pinjaman uang atau kredit dari kreditur. Pihak ketiga adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.
Alasan adanya perjanjian penanggungan ini antara lain karena si penanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi dalam usaha dari peminjam (ada hubungan kepentingan antara penjamin dan peminjam), misalnya si penjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang seham terbanyak dari perusahaan tersebut secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang perusahaan tersebut dan kedua perusahaan induk ikut menjamin hutang perusahaan cabang.
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur.
2. Akibat-akibat Penanggungan antara Kreditur dan Penanggung
Pada prinsipnya, penanggung utang tidak wajib membayar utang debitur kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar utang debitur tersebut, maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya (Pasal 1831 KUH Pedata).
Penanggungan tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya jika:
a.Ia (penanggung utang) telah melepasakan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
b.Ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur utama secara tanggung menanggung; dalam hal itu akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas utang-utang tanggung menanggung;
c.Debitur dapat mengajukan suatu eksepsi yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
d.Debitur dalam keadaan pailit; dan
e.Dalam hal penanggungan yang diperintahkan hakim (Pasal 1832 KUH Perdata).
3.Akibat-akibat Penanggungan antara Debitur dan Penanggung dan antara Para Penanggung
Hubungan hokum antara penanggung dengan debitur utama adalah erat kaitannya dengan telah dilakukannya pembayaran hutang debitur kepada kreditur. Untuk itu, pihak penanggung menuntut kepada debitur supaya membayar apa yang telah dilakukan oleh penanggung kepada kreditur. Di samping penanggungan utang juga berhak untuk menuntut:
a.Pokok dan bunga;
b.Pengantian biaya, kerugian, dan bunga.
Di samping itu, penanggung juga dapat menuntut debitur untuk diberikan ganti rugi atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan, bahkan sebelum ia membayar utangnya:
a.Bila ia digugat di muka hakim untuk membayar;
b.Bila debitur berjanji untuk membebaskannya dari penanggungannya pada suatu waktu tertentu;
c.Bila utangnya sudah dapat ditagih karena lewatnya jangka waktu yang telah ditetapkan untuk pembayarannya;
d.Setelah lewat sepuluh tahun, jika perikatan pokok tidak mengandung suatu jangka waktu tertentu untuk pengakhirannya, kecuali bila perikatan pokok sedemikian sifatnya, sehingga tidak dapat diakhir sebelum lewat waktu tertentu.
Hubungan antara para penanggung dengan debitur disajikan berikut ini. Jika berbagai orang telah mengikatkan dirinya sebagai penanggung untuk seorang debitur dan untuk utang yang sama, maka penanggung yang melunasi hutangnya berhak untuk menuntut kepada penanggung yang lainnya, masing-masing untuk bagiannya.
4. Hapusnya Penanggungan Utang
Hapusnya penanggungan utang diatur dalam Pasal 1845 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Di dalam Pasal 1845 KUH Perdata disebutkan bahwa perikatan yang timbul karena penanggungan, hapus karena sebab-sebab yang sama dengan yang menyebabkan berakhirnya perikatan lainnya. Pasal ini menunjuk kepada Pasal 1381, Pasal 1408, Pasal 1424, Pasal 1420, Pasal 1437, Pasal 1442, Pasal 1574, Pasal 1846, Pasal 1938, dan Pasal 1984 KUH Perdata.
Di dalam Pasal 1381 KUH Perdata ditentukan 10 (sepuluh) cara berakhirnya perjanjian penanggungan utang, yaitu pembayaran; penawaran pembayaran tunai; diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; pembaruan utang; kompensasi; pencampuran utang; pembebasan utang; musnahnya barang yang terutang; kebatalan atau pembatalan; dan berlakunya syarat pembatalan.

Sabtu, 05 Maret 2011

Pengembalian Aset Korupsi: Masukkan Konverensi Internasional Anti Korupsi 2008


Cetak E-mail
Ditulis oleh Administrator   
Senin, 13 Agustus 2007 10:31
Isu pengembalian aset korupsi kembali menjadi isu pokok dalam pertemuan membahas draf Konvensi Anti Korupsi (KAK) PBB 2003, karena telah terbukti, korupsi berdampak meningkatnya kemiskinan terutama di negara- negara berkembang, seperti Nigeria dengan Jenderal Sani Abacha, di Filipina dengan Ferdinand Marcos, dan di Peru dengan Fujimori, termasuk Indonesia dengan HM Soeharto.
Pemimpin-pemimpin negara itu selain juga berjasa untuk negaranya, juga dikenal karena korupsinya. Tidak boleh dilupakan juga, harta kekayaan keluarga dan para kroni semasa berkuasa. Di sisi lain, negara ketempatan harta kekayaan hasil korupsi itu dalam kenyataan sangat tidak kooperatif dengan berbagai dalih berlindung di balik kerahasiaan bank (bank secrecy) seperti, Swiss,Austria, Cayman Island, dan Singapura. Banyak alasan yang diberikan untuk menolak memberikan bantuan. Antara lain,para pelaku adalah pembayar pajak yang baik, warga masyarakat yang patuh pada hukum, dan tidak pernah membuat kesulitan di negara- negara itu.
Lagi pula, alasan domestik lain di antaranya, proses pengembalian aset memerlukan biaya yang tidak sedikit, sedangkan tentunya biaya itu akan ditanggung oleh pembayar pajak di negeri itu dan tidak ada hubungannya dengan kepentingan negara yang dikorupsi. Setelah draft KAK PBB 2003 diadopsi di Merida, Mexico pada 30 Desember 2003, maka pandangan negatif terhadap pengembalian aset (asset recovery/AR) telah berubah. Di mana negara peserta dan peratifikasi konverensi telah memahami sepenuhnya dan menyetujui penggunaan sarana hukum untuk pengembalian aset korupsi sebagai bagian dari tanggung jawab kolektif semua negara, bukan saja negara yang harta kekayaannya telah dikorupsi.
Sejak diadopsinya KAK 2003 ini, dan banyak negara telah meratifikasinya, maka pengembalian aset merupakan isu penting dalam pemberantasan korupsi yang bersifat transnasional dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan bangsa-bangsa paska perang dingin.Sekalipun kesepakatan masyarakat internasional terhadap isu pengembalian aset telah dicapai, akan tetapi implementasi dan prosedurnya memerlukan adaptasi dan harmonisasi terhadap hukum domestik, khususnya yang berkaitan dengan korupsi dan pencucian uang. Tiap negara, tentu memiliki perundang- undangan yang berbeda mengenai definsi, lingkup, serta operasionalisasi penerimaan dan pengeluaran keuangan negara setiap tahunnya. Berkaitan dengan ini, maka proses pengembalian aset korupsi harus diperjelas dalam tiga tahapan proses.Yaitu, bagaimana memulihkan aset korupsi (recovery), mengembalikannya (returned), dan bagaimana memanfaatkannya di dalam negeri (completion). Atau biasa disebut tahapan RRC.
Tiga tahapan tersebut memerlukan payung hukum domestik yang memadai dan tidak tumpang tindih. Karena, sampai saat ini dalam perundang-undangan Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai aset-aset hasil kejahatan (korupsi) kecuali cukup diberi label ?kerugian (keuangan) negara?, dipandang cukup untuk dianggap sebagai aset negara, seketika dilaksanakan eksekusi putusan pengadilan melalui proses penyitaan.Di lain pihak, ternyata masih ada masalah khusus yang perlu dipertimbangkan pemerintah Indonesia dalam menerapkan ketentuan mengenai AR di dalam KAK PBB 2003 tersebut.
Pertama, apakah pengaturan bahwa, kerugian keuangan negara dalam UU Nomor 31 tahun 1999 yang diubah UU Nomor 20 tahun 2001, masih tetap relevan dengan pandangan baru tentang posisi negara dalam mengelola kesejahteraan masyarakatnya, dan posisi hak warga masyarakat untuk ikut serta baik sejak proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi sebatas pemantauan dan pelaporan. Kedua, apakah dapat diterima dari sudut posis hukum domestik yang berlaku, pandangan bahwa, di dalam aset yang dikembalikan tersebut, baik secara implisit maupun eksplisit juga terkandung aset milik pihak ketiga yang beritikad baik atau hak negara lain.
Ketiga, jika jawaban atas masalah kedua bersifat positif, maka bagaimana penyelesaian hukum terhadap aset korupsi yang dapat dikembalikan tersebut, dan bagaimana bingkai hukum serta apakah diperlukan suatu badan khusus untuk mengelolanya? Jawaban atas masalah pertama, tentu merupakan suatu kebijakan baru pemerintah Indonesia dalam menyikapi hal ini. Karena akan berbenturan atau bersinggungan dengan UU Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara. Sedangkan sampai saat ini belum ada UU tentang Kekayaan Negara.
Dalam konteks korupsi transnasional tersebut, maka pembenahan terhadap UU Pemberantasan Korupsi Nomor 31 tahun 1999 diubah dengan UU Nomor 20 tahun 2001 dan UU Nomor 15 tahun 2002 diubah dengan UU Nomor 25 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang merupakan hal mendesak dan perlu dipersiapkan sejak sekarang dan dimasukkan ke dalam prolegnas tahun 2008. Apalagi, bulan Januari tahun 2008 di Bali, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konverensi Internasional Anti Korupsi ke II di bawah payung UNODC ?PBB. Maka, konsep tentang AR sangat penting bagi Indonesia dan memerlukan konseptualisasi yang jelas dan memenuhi kepentingan sebagian negara peserta konverensi. Saat ini, belum diketahui benar sejauh mana pemerintah telah menyiapkan konseptualisasi AR sebagai kebijakan proaktif pemerintah dalam konverensi internasional tersebut.
Kurang transparannya pemerintah dalam menyebarluaskan konseptualisasi AR, merupakan titik kelemahan signifikan untuk dapat memperoleh pengakuan baik nasional maupun internasional. Jika koordinasi dan sinkronisasi konseptualisasi AR dengan berbagai perundangundangan yang berkaitan dengan hal tersebut, seperti UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara, serta UU Pemberantasan Korupsi dan UU Pencucian uang, dan pelibatan pakar-pakar hukum yang ahli di bidangnya, maka dapat diperkirakan semakin sulit pemerintah Indonesia memperoleh pengakuan itu. AR dalam KAK PBB 2003 menggunakan strategi AR langsung (direct recovery) dan tidak langsung (indirect recovery). Strategi pertama mengandung implikasi hukum yang dikenal sebagai civil recovery sedangkan strategi kedua, dikenal sebagai criminal recovery.
Strategi AR melalui cara pertama dilaksanakan dengan melakukan gugatan perdata terhadap ?pemilik harta kekayaan? yang di duga berasal dari korupsi dan ditempatkan di negara lain. Gugatan semacam ini sudah tentu memerlukan bantuan pengacara negara setempat yang telah terbukti memerlukan biaya yang relatif besar, seperti halnya gugatan atas keka- yaan mantan Presiden Marcos di Swiss yang berakhir dengan ?perdamaian? antara pemerintah Filipina dan Imelda Marcos. Sedangkan strategi AR melalui cara kedua, tidak memerlukan biaya besar karena proses peradilan pidana di negara yang berkepentingan atas aset korupsi itu, dan pelaksanaan putusan pengadilannya diberlakukan di negara di mana aset ditempatkan.
Strategi AR dengan Civil Recovery ada kelebihannnya dibandingkan melalui Criminal recovery yaitu bahwa, dengan cara pertama dapat menggunakan metoda pembuktian terbalik sesuai dengan ketentuan Pasal 31 ayat 8 KAK PBB 2003 yang menegaskan, tersangka wajib membuktikan keabsahan harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Pembuktian terbalik untuk merampas harta kekayaan yang diduga berasal dari korupsi melalui Civil Recovery tidak merupakan pelanggaran HAM tersangka, karena yang harus dibuktikan adalah asal usul harta kekayaannya di mana seorang pemilik harta kekayaan tersebut ditempatkan dalam posisi sebelum dia menjadi kaya.
Namun demikian, proses pembuktian terbalik itu tidak serta merta menempatkan pemilik harta kekayaan ?jika tidak dapat membuktikan harta kekayaannya- menjadi terdakwa untuk kasus tindak pidana korupsi. Ketidakmampuan orang yang bersangkutan untuk membuktikan keabsahan harta kekayaannya tidak dapat dijadikan bukti untuk menuntut orang itu dalam perkara tindak pidana korupsi. Bertitik tolak dari uraian itu,maka masih banyak yang harus disiapkan pemerintah untuk mengantisipasi pemberlakuan secara nasional KAK PBB tahun 2003 tersebut.* Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Unpad  
(Sumber SINDO)

Terobosan UNCAC dalam Pengembalian Aset Korupsi Melalui Kerjasama Internasional

Oleh: Paku Utama *)
[2/6/08]
Tulisan ini dimuat di hukumonline:
http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=19356&cl=Kolom
-semoga bermanfaat-


Tindak pidana korupsi adalah tindakan merampas aset yang merupakan hak negara sehingga negara kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk mensejahterakan rakyatnya.
Sebagai akibat tindak pidana korupsi yang terus berlangsung, rakyat kehilangan hak-hak dasar untuk hidup sejahtera.[1] Dewasa ini permasalahan korupsi sudah bukan merupakan permasalahan (nasional) suatu bangsa saja, tetapi sudah menjadi permasalahan internasional.[2] Korupsi sudah memasuki lintas batas negara. Hal ini dinyatakan dalam alinea ke empat Mukadimah United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC)[3]:
"Convinced that corruption is no longer a local matter but a transnasional phenomenon that affects all societies and economies, making international cooperation to prevent and control it essential."
Dimitri Vlasis[4] mengungkapkan bahwa masyarakat dunia, baik di negara berkembang maupun negara maju, semakin frustasi dan menderita akibat ketidakadilan dan kemiskinan yang diakibatkan tindak pidana korupsi.
Masyarakat dunia menjadi pasrah dan sinis ketika menemukan bahwa aset hasil tindak pidana korupsi, termasuk yang dimiliki oleh para pejabat negara, tidak dapat dikembalikan karena telah ditransfer dan ditempatkan di luar negeri melalui pencucian uang yang dalam praktik dilakukan dengan maksud untuk menghilangkan jejak.
Aset hasil tindak pidana korupsi yang diambil oleh para koruptor banyak yang dilarikan serta disembunyikan di luar negeri. Hasil korupsi disembunyikan di rekening bank di luar negeri melalui mekanisme pencucian uang sehingga upaya dalam melacak serta mengembalikan aset
tersebut menjadi sulit. Tidak jarang teknik pencucian uang ini disempurnakan oleh akuntan, pengacara, dan bankir yang disewa oleh koruptor.
Dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi ini, negara-negara di dunia saling melakukan kerja sama internasional dalam rangka mempermudah proses pengembalian aset ini. Tetapi dalam pelaksanaanya terdapat kendala-kendala yang disebabkan antara lain:  sistem hukum yang berbeda, sistem perbankan dan finansial yang ketat dari negara di mana aset berada, praktek dalam menjalankan hukum, dan perlawanan dari pihak yang hendak diambil asetnya oleh pemerintah.



Indonesia
Indonesia sudah melakukan upaya pemberantasan korupsi sejak lama dan dalam sejarah perkembangan peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi,[5] terdapat beberapa ketentuan pengembalian dan mekanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Namun, berbagai peraturan perundang-undangan yang di dalamnya mengatur tentang pengembalian aset masih memiliki kelemahan-kelemahan.

Pertama, fokus utama ketentuan tentang pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi masih terbatas pada pengembalian aset di dalam negeri dan tidak ada ketentuan yang mengatur makanisme pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri. Kedua, di dalam peraturan perundang-undangan tersebut belum diatur landasan hukum serta wewenang untuk melaksanakan kerja sama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ketiga, peraturan perundang-undangan tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan tindak pidana korupsi saat ini, dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan tindak pidana korupsi, khususnya ketentuan tentang pengembalian aset di dalam UNCAC.
UNCAC merupakan terobosan baru dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, khususnya dalam hal pengembalian aset di berbagai negara terutama Indonesia. Namun sebagai suatu peraturan yang (relatif) baru dan Indonesia sebagai salah satu negara yang sudah meratifikasi konvensi ini, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada akhirnya menyebabkan Indonesia tidak dapat memaksimalkan usaha pengembalian aset.
Salah satu tujuan utama UNCAC adalah memperkuat langkah-langkah pencegahan dan pemberantasan korupsi dengan lebih efisien dan efektif, sehingga memerlukan kerjasama antar negara yang lebih erat karena dalam kenyataannya hasil korupsi dari negara ketiga sering ditempatkan dan  diinvestasikan di negara lain berdasarkan kerahasiaan bank yang bersifat konvensional.
Definisi dan Mekanisme Pengembalian Aset
Dalam UNCAC tidak dijelaskan pengertian pengembalian[6] aset.[7] Menurut Matthew H. Fleming,[8] dalam dunia internasional tidak ada definisi pengembalian aset yang disepakati bersama. Fleming sendiri tidak mengemukakan rumusan definisi, tetapi menjelaskan bahwa pengembalian aset adalah proses pelaku-pelaku kejahatan yang dicabut, dirampas, dan dihilangkan haknya dari hasil tindak pidana.

Pendapat Fleming dalam bukunya "Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments"[9], melihat pengembalian aset sebagai: pertama, pengembalian aset sebagai proses pencabutan, perampasan, penghilangan; kedua, yang dicabut, dirampas, dihilangkan adalah hasil atau keuntungan dari tindak pidana; ketiga, salah satu tujuan pencabutan, perampasan, penghilangan adalah agar pelaku tindak pidana tidak dapat menggunakan hasil serta
keuntungan-keuntungan dari tindak pidana sebagai alat atau sarana untuk melakukan tindak pidana lainnya.

Sebagaimana dijelaskan di atas, pengembalian aset tidak mempunyai definisi yang baku. Penulis menilai pengembalian aset tidak hanya merupakan proses saja, tetapi juga merupakan upaya penegakan hukum
melalui serangkaian maknisme hukum tertentu. Untuk memberikan penjelasan yang komprehensif, berdasarkan pandangan-pandangan dari sarjana-sarjana sebelumnya, penulis merumuskan pengertian pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi sebagai berikut:
"Pengembalian aset adalah sistem penegakan hukum yang dilakukan oleh negara korban (victim state) tindak pidana korupsi untuk mencabut, merampas, menghilangkan hak atas aset hasil tindak pidana korupsi dari pelaku tindak pidana korupsi melalui rangkaian proses dan mekanisme. Baik secara pidana maupun perdata, aset yang berada di dalam maupun disimpan di luar negeri, yang dilacak, dibekukan, dirampas, disita, dan dikembalikan kepada negara korban hasil tindak pidana korupsi, sehingga
dapat mengembalikan kerugian keuangan akibat tindak pidana korupsi. Juga termasuk untuk memberikan efek jera kepada pelaku dan/ atau calon pelaku tindak pidana korupsi."
Terdapat pula mekanisme dalam melakukan proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, yaitu: pertama dengan melakukan pelacakan, selanjutnya aset yang sudah dilacak dan diketahui kemudian dibekukan, terakhir, aset yang dibekukan lalu disita dan dirampas oleh badan berwenang dari negara di mana aset tersebut berada, dan kemudian dikembalikan kepada negara tempat aset tersebut diambil melalui mekanisme-mekanisme tertentu.
Kesepakatan tentang pengembalian aset tercapai karena kebutuhan untuk mendapatkan kembali aset-aset hasil tindak pidana korupsi sebagaimana harus direkonsiliasikan dengan hukum dan prosedur dari negara-negara yang dimintai bantuan. Pentingnya pengembalian aset, terutama bagi negara-negara berkembang didasarkan pada kenyataan bahwa tindak pidana korupsi telah merampas kekayaan negara-negara tersebut, sementara sumber daya sangat dibutuhkan untuk merekonstruksi dan merehabilitasi masyarakat melalui pembangunan berkelanjutan.[10]
Mengenai proses pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, para pelaku tindak pidana korupsi mampu melintasi dengan bebas batas yurisdiksi dan geografis antar negara. Sementara, para penegak hukum tidak mudah menembus batas-batas yurisdiksi dan melakukan penegakkan hukum di dalam yurisdiksi negara-negara lain. Untuk itu diperlukan kerjasama yang mengglobal dalam melakukan pengejaran serta pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi.
Dengan diaturnya ketentuan mengenai bantuan hukum timbal balik di dalam UNCAC, maka upaya pengembalian aset dapat terlaksana dengan maksimal. Cara paling mudah dalam melakukan proses pengembalian aset yang berada di luar yurisdiksi negara korban adalah melalui bantuan hukum timbal
balik. Ketika aset-aset hasil tindak pidana korupsi ditempatkan di luar negeri, negara korban yang diwakili oleh penyelidik, penyidik, atau lembaga otoritas dapat meminta kerjasama dengan negara penerima untuk melakukan proses pengembalian aset. hal ini sesuai dengan apa yang
diatur dalam Pasal 46 UNCAC, di mana negara-negara penerima aset harus memberikan bantuan kepada negara korban dalam rangka proses pengembalian aset.
Lebih jauh dikritisi bahwa bantuan timbal balik merupakan hakikat dari kerja sama internasional dalam pengembalian aset. UNCAC memberikan jalan keluar yang sangat mudah kepada negara-negara korban dalam melakukan proses pengembalian aset. UNCAC mewajibkan setiap negara peserta untuk memberikan bantuan (timbal balik) kepada para negara korban yang membutuhkan.[11] Bahkan penulis melihat bahwa bantuan timbal balik ini memberikan terobosan bagi para negara korban untuk menembus batasan-batasan konvensional yang selama ini menjadi penghambat dalam
proses pengembalian aset.
Dalam hal negara-negara dengan sistem perbankan yang sangat tertutup[12], oleh karena itu UNCAC memberikan kemudahan negara-negara korban untuk dapat menelusuri atau mengakses sistem perbankan suatu negara untuk memperoleh informasi atas aset hasil tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dengan jelas dalam Pasal 46 ayat (8).[13]
Penerapan dan Faktor Penghambat di Indonesia
Selama empat tahun lebih Indonesia telah meratifikasi UNCAC (2003), Indonesia sudah melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan UNCAC ini menandakan bahwa terdapat
perubahan atas kemauan yang konkrit dalam memberantas korupsi. Dalam pelaksanaannya, Indonesia sudah melaksanakan ketentuan-ketentuan UNCAC secara umum sebagai proses pengembalian aset yang dilakukan Indonesia, seperti melakukan kerja sama bilateral, melakukan bantuan hukum timbal
balik (mutual legal assistance), melakukan upaya penelusuran aset melalui perbankan dari negara lain, dan lain sebagainya.
Pada kenyataannya aset hasil tindak pidana korupsi yang dilarikan ke luar negeri dan aset yang berhasil dikembalikan ke Indonesia perbedaannya sangat besar. Perbandingan aset yang masih di luar negeri
masih lebih banyak dibandingkan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang sudah berhasil di bawa kembali ke dalam negeri. Bahkan dapat dikatakan belum satupun aset korupsi yang dikembalikan. Hal ini tidak terjadi begitu saja, terdapat permasalahan-permasalahan yang pada prakteknya seringkali muncul dan menjadi faktor utama yang menghambat proses pengembalian aset.
Faktor-faktor penghambat atau permasalahan tersebut antara lain:
1.       Pengaturan Hukum Nasional yang tidak Menunjang Keberlakuan UNCAC di Indonesia
Semenjak UNCAC di adopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/
4 tanggal 31 Oktober 2003, Indonesia telah meratifikasinya melalui Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan UNCAC pada tanggal 18 April 2006.[14]

Hingga saat ini, pemerintah belum membentuk suatu peraturan pelaksana terhadap keberlakuan UNCAC di Indonesia. UNCAC menyediakan sarana kepada para negara korban untuk dapat melakukan kerja sama internasional dalam upaya pengembalian aset, tetapi setiap negara peserta harus mempunyai suatu peraturan nasional yang dapat memberlakukan UNCAC tersebut.

Permasalahannya di sini adalah ratifikasi Indonesia terhadap UNCAC tidak menjadikan penerapan proses pengembalian aset menjadi terlaksana secara maksimal. Karena Indonesia belum memiliki pengaturan khusus mengenai proses pengembalian aset yang didasarkan atas kerja sama internasional.

2.       Tidak Adanya Kemauan Politik Pemerintah yang Kuat terhadap Upaya
Pemberantasan Korupsi.
Proses pengembalian aset sebagai salah satu upaya pemberantasan korupsi memerlukan dukungan kuat dari pemerintah negaranya. Kemauan politik pemerintah merupakan faktor utama yang menentukan dalam berhasil tidaknya suatu upaya pemberantasan korupsi di suatu negara, khususnya terhadap proses pengembalian aset.

Hal ini terlihat dalam proses hukum kasus mantan Presiden Soeharto, di mana hingga saat Soeharto meninggal pun belum ada satu aset pun (hasil tindak pidana korupsi) yang berhasil dikembalikan.

Kesimpulan dan Rekomendasi
Dengan berlandaskan uraian di atas, terdapat beberapa kesimpulan yang diberikan sebagai berikut:

a. Mekanisme pengembalian aset yang diatur dalam peraturan perundang-undangan pemberantasan tindak pidana korupsi dan KUHAP terlalu sederhana dan masih bersifat konvensional sehingga tidak memungkinkan pengembalian aset secara efektif dan efisien. Indonesia perlu menyesuaikan peraturan perundang-undangannya dengan prinsip-prinsip dan standar-standar yang berlaku secara universal sebagaimana tercantum dalam UNCAC 2003.
b. Semenjak Indonesia meratifikasi UNCAC, proses pemberantasan korupsi terhadap pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi tidak menghasilkan peningkatan yang signifikan. Sedangkan Indonesia sudah mempunyai semua perlengkapan serta fasilitas dalam melakukan
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Ini disebabakan kemauan politik (political will) pemerintah yang tidak kuat dalam membrantas korupsi yang dilakukan oleh para pejabat Indonesia, khususnya Mantan Presiden Soeharto.

Sebagai rekomendasi, Indonesia perlu menyusun undang-undang serta peraturan pelaksana yang mengatur mekanisme pengembalian aset termasuk mekanisme mengenai kerja sama internasional dalam pencegahan tindak pidana korupsi dari dalam atau yang ke luar negeri.

Dalam hubungan internasional, Indonesia harus aktif menyuarakan aksinya mengenai pemberantasan korupsi di negaranya di dalam forum-forum internasional seperti Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), sehingga masyarakat internasional sadar dan yakin bahwa Indonesia mempunyai tekad kuat dalam pemberantasan korupsi, yang pada akhirnya akan mempermudah kerja sama internasional dengan negara-negara lain dalam proses pengembalian aset.



-------

*)  Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia jurusan Hukum HubunganTransnasional. Juara Kedua Mahasiswa Berprestasi Utama Fakultas Hukum Universitas Indonesia 2008. Sekarang sedang
melakukan riset di PJKAKI KPK serta Jaringan Kerjasama Internasional ATR (Asset Tracing Recovery) KPK. Hingga saat ini aktif dalam dikusi, kampanye, serta proses pemberantasan korupsi
(http://dunia-korupsi.blogspot.com <http://dunia-korupsi.blogspot.com/>). Penulis dapat dihubungi di paku.utama@... <../../../../berita_korupsi/post?postID=wz3i8b1AkUE2v0PP8zuhABQ44Zn-jRWD\
NROOl2ox2ESWgK5RsYCw5HCXosPdCAFuDTDbXPnh8B2czpnNWg> .


[1] Michael Levi, Tracing and Recovering the Proceeds of Crime, Cardiff University, Wales, UK, Tbilisi, Georgia, 2004, hlm. 17.

[2] Korupsi adalah merupakan "Transnational Crime" terhitung sejak tanggal 1 Oktober 2003 dimana 107 negara peserta Konferensi "Ad Hoc Committee for the Negotiation of the United Nations Conventions against Corruption", termasuk Indonesia telah menyetujui mengadopsi "Convention Against Corruption" yang telah diselenggarakan di Wina. Lebih lanjut baca Romli Atmasasmita, Sekitar Masalah Korupsi: Aspek Nasional dan Aspek Internasional (Bandung: Mandar Maju, 2004), hlm. V.

[3] UNCAC diadopsi oleh Majelis Umum PBB berdasarkan resolusi 58/ 4 tanggal 31 Oktober 2003; UNCAC telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan (Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi, 2003) pada tanggal 18 April 2006. Untuk penyebutan Konvensi ini, Penulis menggunakan UNCAC.

[4] Dimitri Vlassis, The United Nations Convention Against Corruption, Overview of Its Contents and Future Action, Resource Material Series No. 66, hlm. 118.

[5] Kitab Undang-undang Hukum Pidana; Peraturan Penguasa Militer Nomor (No.) Pert/PM/06/1957; Peraturan Penguasa Perang Pusat No. PRT/PERPU/013/158; Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 24 Tahun 1960 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 1961; UU No. 3 Tahun 1971 sebagaimana diubah dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 71 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Tap MPR No: XI/1998 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme; Tap MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupi, Kolusi dan Nepotisme. Implikasi dari Tap MPR No: VII/MPR/2001 adalah diundangkannya UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 dan berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 yang memerintahkan pembentukan lembaga independen pemberantasan tindak pidana korupsi, kemudian diundangkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun 2003; Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi yang diikuti dengan penyusunan Rencana Aksi Nasional Pemberantasan Korupsi sebagaimana diperintahkan oleh Inpres No. 5 Tahun 2004. Lebih lanjut baca Purwaning Yanuar, Pengembalian Aset Hasil Korupsi: Berdasarkan Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 Dalam Sistem Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 2007), hlm. 14.

[6] Dalam Blacks' Law Dictionary, 8th ed, diberikan penjelasan bahwa kata "recovery" sebagai istilah hukum, yang diartikan sebagai: "1. The regaining or restoration of something lost or restoration of something lost or taken away. 2. The obtained of a right to something by a judgement or decree. 3. An amount awarded in or collected from a judgement or decree."

[7] Ibid., Aset berarti: "1. An item that is owned and has value. 2. The entries of property owned, including cash, inventory, real estate, accounts receivable, and goodwill. 3. All the property of a person available for paying debts."

[8] Matthew H. Fleming, Asset Recovery and Its Impact on Criminal Behavior, An Economic Taxonomy: Draft for Comments, Version Date (London: University College, 2005), hal. 27.

[9] Ibid., hal. 31.

[10] Lihat alinea pertama Mukadimah UNCAC.

[11] UNCAC, articel 46 paragraph (1), menyatakan:
"States Parties shall afford one another the widest measure (huruf tebal dari penulis) of mutual legal assistance in investigations, prosecutions and judicial proceedings in relation to the offences covered by this Convention."

[12] Banyak negara-negara yang melindungi keberadaan perbankan negaranya dengan suatu proteksi kerahasiaan yang sangat tinggi. Biasanya hal ini dilakukan apabila suatu negara hanya mempunyai sistem perbankan sebagai satu-satunya atau sebagai pemasukan terbesar negaranya.

[13] UNCAC, article 46 paragraph (8), menyatakan:
"States Parties shall not decline to render mutual legal assistance pursuant to this article on the ground of bank secrecy." Hal ini menegaskan bahwa aturan kerahasiaan bank bukan merupakan hal yang tertutup secara mutlak lagi. Melalui prosedur dan hukum nasional suatu negara dengan menyesuaikan keberadaan UNCAC, maka negara korban dapat mengakses informasi perbankan suatu negara dalam melakukan proses pengembalian aset.

[14] Yanuar, op.cit., hal. 10.

PROBLEMATIKA SEPUTAR PENGEMBALIAN ASET HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI


PROBLEMATIKA SEPUTAR
PENGEMBALIAN ASET (ASSET RECOVERY)
HASIL TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh: Dr. Chairul Huda, SH., MH.
Pengantar
Upaya untuk membuat “corruption doesn’t pay” telah dilakukan dengan berbagai cara, baik dalam atmosfir proses pembentukan dan penegakan hukum (law making process and law enforcement process) di Indonesia (Romli Atmasasmita: 2003). Terlebih lagi dengan adanya kecenderungan semakin tidak terkendalinya tindak pidana korupsi dalam orde sekarang ini, sehingga upaya pengungkapan maupun pembuktiannya di pengadilan masih jauh dari harapan. Diperparah lagi dengan adanya sinyalemen bahwa berbagai oknum profesional tertentu (akuntan, financial analyst, lawyer dan notaris) kerap memberikan jasa menghapus jejak-jejak white collar crime itu. Belum lagi economic power dan bureaucratic power yang membuat para koruptor beyond the law (Indriyanto Seno Adji: 2006), semakin memupus harapan terlaksananya penegakan hukum secara adil. Sementara itu, suatu penelitian di India menunjukkan differential association theory dari Sutherland, telah terbukti dari sisi lain, yaitu meningkatnya korupsi karena “meneladani” kesuksesan ekonomi para koruptor (Gaur: 2002). “Criminal behavior is not invented but learned”, termasuk menyebabkan sementara orang menjadi “berkeinginan” korupsi karena belajar dari kesuksesan ekonomi para koruptor. Oleh karena itu, “pencegahan” dan “penanggulangan” tindak pidana korupsi, yang keduanya dapat diadopsi dalam istilah “pemberantasan” (Bagir Manan: 2005), bukan hanya diarahkan pada penangan perkaranya, berupa penyidikan, penuntutan ataupun pemeriksaan di sidang pengadilan, melainkan juga diupayakan untuk “menghalangi” ataupun “menutup kemungkinan” para koruptor menikmati hasil kejahatannya. Tanpa mengembangkan sikap antipati kepada korupsi, termasuk untuk membuatnya “tidak menarik” atau “tidak menguntungkan” untuk dilakukan, dan mensinegikan hal itu dalam kehidupan sosial masyarakat secara keseluruhan, tidak akan membuat efek tangkal hukum korupsi membaik. Diantaranya yang mungkin untuk itu adalah membangun mekanisme pengembalian aset (asset recovery) hasil tindak pidana korupsi.
Dalam hukum pidana Indonesia, upaya untuk “menghalangi” atau “menuntup kemungkinan” para pelaku kejahatan (termasuk koruptor) menikmati hasil kejahatannya, telah dilakukan dengan berbagai cara. Dalam tataran filosofis secara terbatas mengenai hal ini telah pula menjadi pemikiran para pemikir-pemikir tua seperti Jeremy Bentham (Bentham, translate Upendra Baxi, 1979). Sedangkan secara pragmatis, hal itu dapat dilakukan dalam proses acara, misalnya dapat dilakukan dari sejak awal berupa penyitaan (Pasal 39 KUHAP) atau pemblokiran (Pasal 32 Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003), ataupun pembekuan rekening (Pasal 42 Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998). Selain itu, dapat juga dilakukan dengan menjadikan perbuatan tersebut sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Demikian misalnya telah dikriminalisir perbuatan penadahan (Pasal 480, 481 dan 482 KUHP) ataupun pencucian uang (money laundering) seperti yang dirumuskan dalam Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003. Melakukan double criminality seperti ini, merupakan upaya memberantas suatu tindak pidana dengan membuatnya sebagai “tidak menguntungkan”, karena perbuatan-perbuatan lain seperti menyembunyikan, memperjualbelikan, atau menyamarkan, hasil tindak pidananya merupakan tindak pidana tersendiri. Bahkan pernah tercetus ide untuk memperluas rumusan tindak pidana dalam Undang-Undang Korupsi, sehingga mencakup tiga kelompok (yang ada sekarang hanya dua kelompok), yaitu tindak pidana korupsi, tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi dan tindak pidana setelah terjadi korupsi. Hal yang tersebut terakhir ini adalah penarikan money laundering menjadi tindak pidana korupsi dan kriminalisasi bentuk-bentuk pembantuan setelah tindak pidana korupsi terjadi (Barda N. Arief: 2001).
Selain itu, upaya membuat pelaku kejahatan (offender) tidak dapat “menikmati” hasil perbuatannya juga merampas barang-barang tertentu yang diperoleh atau dihasilkan dalam suatu tindak pidana sebagai pidana tambahan selain pidana pokok seperti penjara dan denda (Pasal 10 jo Pasal 39 KUHP). Bagi tindak pidana korupsi, hal ini dapat juga dilakukan terhadap perampasan harta benda yang tidak dapat dibuktikan (oleh terdakwa) sebagai bukan dari hasil tindak pidana korupsi (Pasal 38 B Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001) dan masih ditambah lagi dengan pembayaran uang penggati yang nilainya setara dengan kerugian keuangan negara akibat perbuatannnya (Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001).
Namun demikian, seluruh ketentuan di atas belum benar-benar membuat corruption doesn’t pay, mengingat umumnya hanya berlaku dalam yurisdiksi hukum Indoensia. Dengan bantuan tekonologi informasi hasil-hasil kejahatan korupsi rupanya mendapat sentuhan “modernisasi’, yaitu ditempatkan didalam yurisdiksi hukum dari negara lain. Ternyata kejahatan pun mengalami modernisasi. Modernisasi yang menggambarkan adanya seluruh jenis perubahan sosial (Sztompka, 2004), ternyata juga termasuk perubahan dalam arti “kemajuan” dalam bidang kejahatan. “Modernitas adalah globalisasi”, ternyata juga sangat diperhatikan oleh pelaku kriminal. Aset hasil korupsi dapat saja disembunyikan di luar negeri sehingga sulit dilacak, dibekukan, disita, apalagi ditarik kembali ke dalam negeri. Modernisasi atau globalisasi ternyata menjadi faktor kriminogen (Muladi: 2002), yaitu pendorong terjadi transnational crime. Memang umumnya para ahli sepakat bahwa korupsi bukan lagi semata-mata masalah lokal (domestik) suatu negara, melainkan telah menjadi masalah global, masalah bagi keseluruhan msyarakat dunia tanpa terkecuali.
Upaya pemberantasan korupsi juga harus diarahkan untuk memberangus kecenderungan korupsi sebagai aktivitas bisnis baru, (crime as a business), karena kejahatan ternyata cukup menguntungkan (crime does pay). Sebagai contoh kasus yang belakangan ini terungkap, ternyata putusan pengadilan untuk membayar uang pengganti bagi terpidana korupsi Bank Duta, belum sepenuhnya dibayar Terpidana Dicky Iskandar Dinata, sampai yang bersangkutan kembali tersangkut perkara korupsi baru. Mekanisme yang tidak begitu jelas dalam mengembalikan aset hasil korupsi, membuat seluruh aspek pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif. Melihat kasus ini, maka apabila terhadap aset hasil korupsi yang berada di Indonesia saja sulit diperoleh kembali, bagaimana halnya yang berada di luar negeri. Tentunya jauh lebih sulit.
Harapan akan dapat diperoleh kembali aset hasil korupsi kembali timbul dengan adanya Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, yang diprakarsai Kantor PBB urusan Masalah Obat-obatan Terlarang dan Kejahatan (UNODC) dan Bank Dunia. Tidak terlalu mengejutkan apabila dalam Laporan Tahun 2007 menempatkan mantan Presiden Soeharto pada rangking teratas yang menggelapkan uang negara dengan jumlah US$ 15-35 juta yang dilakukan antara 1967-1998. Namun demikian, sejauhmana mekanisme ini dapat “diterima” dalam sistem hukum Indonesia, masih merupakan tanda tanya besar.
Dimensi Internasional Pengembalian Aset Hasil Korupsi
Dalam kasus Indonesia sebenarnya masalah pengembalian aset hasil korupsi dapat dibedakan kedalam dua kelompok besar, yaitu pengembalian aset hasil korupsi yang berada di Indonesia dan pengembalian aset hasil korupsi yang berada di luar negeri. Untuk yang terakhir peluang untuk mewujudkannya terbuka dengan Undang-Undang No. 7 tahun 2006 yang merupakan ratifikasi atas United Nations Convention Against Corruption 2003 (UNCAC 2003). Sekalipun sesuai dengan sifatnya sebagai hukum yang berasal dari konvensi internasional, yang masih membutuhkan pemberian bentuk positif (Roeslan Saleh: 1983) lebih lanjut, mengingat belum dapat berlaku langsung sebagai hukum positif, tetapi paling tidak dengan meratifikasinya membuka kesempatan Indonesia untuk memanfaatkan prosedur dan protokol pengembalian aset hasil korupsi yang diatur didalamnya.
Dalam konvensi ini disadari bahwa kepentingan untuk dapat menarik kembali aset hasil korupsi di luar negeri praktis hanya dapat dilakukan dalam kerangka kerjasama internasional. Hal ini menjadi motivasi utama bagi Indonesia untuk menandatangani UNCAC 2003 (Romli Atmasasmita: 2004) dan meratifikasinya. Mengingat, salah satu arti penting konvensi ini bagi Indonesia, adalah untuk meningkatkan kerjasama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsi yang ditempatkan di luar negeri (Penjelasan Umum Undang-Undang No. 7 tahun 2006). Namun demikian, jika diperhatikan dengan seksama masih terlalu banyak “gap” antara UNCAC dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia (KPK: 2006), yang kemudian dapat menjadi faktor penghambat yang signifkan bagi pengembalian aset hasil korupsi. Dalam hubungannya dengan ruang lingkup kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) misalnya. Pasal 41 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, kerjasama internasional yang dapat dilakukan KPK terbatas dalam hal penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi. Sedangkan “pengembalian aset” hasil korupsi berhubungan dengan tindakan yudisial yang terutama dilakukan melalui putusan pengadilan. Dengan demikian, “pengembalian aset” hasil korupsi belum sepenuhnya dapat dilakukan jika semata-mata mengandalkan kewenangan KPK yang ada berkenaan dengan kerjasama internasional, khususnya dalam bidang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan. “Pengembalian aset” umumnya hanya dapat terjadi melalui putusan pengadilan, baik pidana ataupun perdata, secara langsung ataupun dalam kerangka bantuan timbal balik dalam bidang hukum pidana.
Apabila mekanisme pengembalian aset korupsi dalam UNCAC 2003 saja belum secara adequate dapat berkontemplasi dalam peraturan perundang-undangan yang ada, bagaimana pula halnya dengan Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Ada beberapa catatan tersendiri mengenai hal ini dalam kerangka kerjasama internasional dalam pengembalian aset korupsi. Pertama, dari segi peristilahan. Apabila UNCAC 2003 menggunakan nomenklatur “Corroption Asset Recovery” dapatkah hal ini dipersamakan dengan “Stolen Asset Recovery”. Hukum Indonesia, termasuk tidak terbatas hukum korupsi, yang berwatak dogmatis dapat menjadikan perbedaan peristilahan tersebut sebagai batu sandungan penting, mengingat “stolen” mempunyai pengertian tersendiri yang berbeda dari “corruption”. Lebih jauh lagi mekanisme “recovery” antara barang bukti hasil kejahatan pencurian ataupun penggelapan dan hasil korupsi juga sangat berbeda. Oleh karena itu, perlu elaborasi lebih jauh apakah “stolen“ dalam StAR Initiative adalah “istilah” ataukah atau merupakan suatu “definisi”. Tegasnya, apakah aset yang dalam kerangka StAR Intiative adalah sama dengan aset hasil korupsi dalam perundang-undangan korupsi di Indonesia. Jika bukan merupakan dua hal yang sama, maka semakin sulit untuk menggunakan StAR Initiative sebagai terobosan pengembalian aset hasil korupsi di dalam negeri apalagi di luar negeri. Kedua, “informasi” tentang adanya uang negara yang digelapkan dalam StAR Initiative adalah “Laporan” dibawah judul: Stolen Asset Recovery (StAR)” Challenge, Opportunities and Action Plan (The World Bank and UNDOC, 2007). Jika diasumsikan “stolen asset” tersebut berada di Indonesia, pertanyaan teknis yuridisnya, apakah “laporan” ini dapat dijadikan alat bukti dalam kerangka hukum acara pidana Indonesia. Meneladan pada Pasal 184 ayat (1) jo Pasal 187 KUHAP, laporan tersebut tidak termasuk alat bukti yang sah dalam acara pidana. Paling banter “laporan” tersebut merupakan alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud Pasal 26 A huruf b Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Hanya saja sesuai dengan sifatnya, alat bukti ini seperti juga alat bukti petunjuk lainnya tergolong “indirect evidence”. Terlebih lagi jika dilihat kedudukan lembaga yang merilis laporan ini, jika perwakilan dari lembaga ini dihadirkan dalam persidangan di Indonesia untuk menyatakan isi laporannya, belum jelas kapasitasnya apakah sebagai Saksi (orang yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri suatu tindak pidana) atau sebagai Ahli (orang yang mempunyai keahlian khusus). Barangkali sebagian besar pejabat penegak hukum di Indonesia mengetahui tentang StAR Initiative sepanjang sebagai “berita” di meda massa, yang sangat muskhil dapat menjadi bukti hukum (legal evidence). Ketiga, jika laporan StAR Initiative tersebut dapat diterima sebagai alat bukti, lalu apakah akan digunakan dalam mekanisme acara perdata seperti yang sekarang sedang berjalan antara Jaksa Pengacara Negara versus Soeharto dan yayasan-yayasan yang didirikannya, atau apakah akan digunakan dalam mekanisme acara pidana, upaya pengembalian aset korupsi tersebut. Baik melalui mekanisme acara perdata maupun acara pidana tidak selalu mudah menggunakan hal itu sebagai alat bukti. Putusan pengadilan di Indonesia tentang “kesalahan Soeharto” atas suatu tindak pidana atau perbuatan melawan hukum yang merugikan negara, baik dari segi pidana dan dari segi perdata, sangat menentukan dapat dimenangkannya gugugatan ataupun tuntutan pengembalian asset hasil korupsi di luar negeri. StAR Initiative tidak akan berarti banyak tanpa adanya putusan declaratoir tentang “Kesalahan Soeharto” tersebut menurut pengadilan Indonesia. Belum lagi jika benar sinyalemen banyak pihak yang menyatakan substansi Laporan StAR Initiative tersebut, tidak lebih dari asumsi-asumsi yang masih belum dapat dipastikan kebenarannya secara hukum, apalagi digunakan sebagai alat bukti di muka sidang pengadilan.
Sementara itu, pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang diatur dalam Bab V, Pasal 51 s/d 60 UNCAC 2003, sebenarnya membawa babak baru upaya membuat “corruption does pay”. Bab ini merupakan matarantai ketentuan tentang kerjasama internasional dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi. Lebih tepatnya ketentuan konvensi dalam ini berisi tentang kerjasama internasional khusus dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi. Sementara mengenai kerjasama internasional yang umum diatur dalam Bab IV konvensi ini. Dengan demikian, ketentuan konvensi dalam bab ini tidak terkait langsung dengan kenyataan kebutuhan instrumen hukum dalam pengembalian aset korupsi yang masih berada di Indonesia. Kebutuhan reformasi hukum pidana korupsi di Indonesia pada satu sisi sebenarnya adalah pencarian terobosan prosedur hukum yang dengan itu dapat mengatasi kesulitan-kesulitan terutama dalam mengembalikan aset hasil korupsi yang masih berada di Indonesia (Bandingkan dengan Hasil Kajian Bank Dunia mengenai kebutuhan reformasi hukum dalam pemberantasan korupsi. The World Bank: 2004). Baik terhadap tersangka, terdakwa yang telah diadili maupun yang belum dapat diadili seperti mantan Presiden Soeharto.
Ketentuan konvensi berkenaan dengan pengembalian aset memiliki dimensi internasional. Selalu terkait unsur “asing” dalam hal ini, yaitu pengembalian aset hasil korupsi yang dilakukan di negara lain (asing) ataupun yang dilakukan di negara sendiri oleh negara lain (asing). Oleh karena itu ketentuan pengembalian aset dalam konvensi ini dapat dibedakan dalam dua bagian. Pertama, ketentuan pengembalian aset tindak pidana korupsi dalam hal suatu negara sebagai “pihak yang meminta” dikembalikannya aset tersebut yang berada di negara lain. Kedua, ketentuan pengembalian aset tindak pidana korupsi dalam hal suatu negara berposisi sebagai “pihak yang diminta” mengembalikan aset tersebut oleh negara lain. Baik dilakukan secara langsung maupun dalam kerangka kerjasama internasional, baik bilateral, regional ataupun multilateral.
Ketentuan ini merupakan bagian yang sangat signifikan bagi perkembangan hukum korupsi. UNCAC 2003 menganut pendekatan komprehensif dalam menghadapi korupsi yang melibatkan dua atau lebih negara yang sudah tentu melibatkan warga negara asing sehingga titik berat pengaturannya terletak pada prosedur bagaimana melacak dan menyita serta mengembalikan aset hasil korupsi dari suatu negara yang “menikmatinya” ke negara korban (state’s victim)(Romli Atmasasmita: 2004). Sedangkan bentuk kerjasama internasional dalam berbagai Undang-Undang Korupsi di Indonesia, hanya berkenaan dengan penyelidikan, penyidikan, atau penuntutan ataupun sebatas memperluas rumusan delik korupsi dengan adanya bentuk-bentuk penyertaan (deelneming) tindak pidana dari negara atau oleh orang lain di luar negeri.
Kerjasama dan bantuan suatu negara untuk mengembalikan aset hasil korupsi yang berada di negaranya dilakukan oleh warga negara lain, mutlak adanya dan hal ini merupakan kewajiban bagi setiap negara peratifikasi UNCAC 2003. Dalam Pasal 51 UNCAC 2003 hal itu disebut sebagai “fundamental principle”. Bagi Indonesia yang umumnya menjadi state’s victim, ketentuan ini dapat menjadi jalan keluar bagi sejumlah kebuntuan upaya Indonesia mengembalikan aset hasil korupsi yang berada di luar negeri. Dengan demikian, tardapat mekanisme yang jelas untuk upaya mengembalikan aset hasil korupsi, dan kegagalan upaya sebelumnya dapat diatasi, seperti “tim pemburu harta koruptor” yang dibentuk Kejaksaan Agung.
Berdasarkan hal ini, harmonisasi perundang-undangan korupsi di Indonesia dengan meneladan pada asset recovery UNCAC 2003 merupakan “jalan masuk” bagi dapat digunakannya mekanisme Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative. Dilihat dari kecenderungannya, StAR Initiative mengkualifikasi Indonesia sebagai state victim atau “negara yang meminta” dikembalikannya set hasil korupsi yang berada di luar negeri. Hal ini menyebabkan untuk dapat diterima StAR Initiative dalam kerangka hukum korupsi Indonesia, penyelarasan hukum dan perundang-undangan Indonesia dengan UNCAC 2003 adalah suatu keharusan.
Antisipasi Hukum Positif
Ratifikasi UNCAC 2003, khususnya terkait dengan ketentuan-ketentuan tentang pengembalian aset hasil korupsi, masih menghadapi sejumlah kendala, termasuk kendala yuridis tentang kesiapan hukum positif. Dalam hal Indonesia sebagai “negara yang diminta” mengembalikan aset secara langsung misalnya, masih harus dikaji tentang kemungkinan legal standing pihak peminta yang notabene adalah suatu negara. Dalam hukum acara perdata Indonesia, gugatan dapat diajukan terhadap orang atau badan hukum yang bertempat tinggal/berkedudukan di Indonesia ataupun dalam hal sengketa terhadap aset yang berada di Indonesia. Baik oleh penggugat yang merupakan penduduk/ berkewarganegaraan Indonesia ataupun orang asing. Dalam hal ini dasar dari gugatan adalah adanya perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). Terlebih lagi juga perlu pengkajian tersendiri dalam hal penggugatnya adalah “suatu negara”. Padahal Pasal 53 UNCAC 2003, mewajibkan suatu negara untuk membangun konstruksi hukum nasionalnya, dimana memungkinkan negara lain dapat mengajukan gugatan perdata, menuntut ganti kerugian, dan meletakkan sita, pada pengadilan-pengadilan negara tersebut, dalam rangka mengembalikan aset hasil korupsi yang berada atau ditempatkan di negara tersebut secara langsung, bukan dalam kerangka kerjasama government to government (G to G).
Sementara itu, gugatan perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat tindak pidana korupsi adalah gugatan perdata yang bersifat khusus yang diatur dalam hukum pidana korupsi, dan bukan gugatan perbuatan melawan hukum secara umum. Dalam hal ini mekanisme keperdataan yang diatur dalam hukum (acara) pidana. Ada sifat lex specialis dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 apabila dihadapkan pada Pasal 1365 BW yang bersifat lex generalis. Sayangnya hal ini justru yang tidak dipahami Jaksa Pengacara Negara yang sekarang sedang menggugat mantan Presiden Soeharto dan yayasan-yayasan yang didirikannya.
Selain itu, juga ketika Indonesia “negara yang diminta”, maka boleh jadi pengadilan-pengadilan Indonesia akan menolak gugatan tersebut, karena dalam hukum pidana korupsi di Indoneisa, gugatan perdata yang dapat dilakukan dalam hal adanya kerugian keuangan negara tetapi perbuatan pelaku tidak memenuhi unsur tindak pidana korupsi, hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi terkait lainnya. Sama sekali belum terdapat presedennya jika gugatan tersebut dilakukan oleh “negara asing” terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi di negara lain pula. Dengan demikian, UNCAC 2003, bukan hanya berdampak pada keharusan mereformasi hukum pidana (korupsi), bahkan lebih jauh lagi juga berbagai ketentuan dalam hukum perdata, baik materil maupun formilnya (acara).
Sementara itu, ketika Indonesia adalah “negara yang meminta” pengembalian aset hasil korupsi juga masih memiliki kendala yuridis. Mengingat ketentuan Pasal 6 huruf c, Pasal 12 ayat (1) huruf h, Pasal 38 dan Pasal 41 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 jo Pasal 7 ayat (2) KUHAP, KPK berwenang melakukan kerjasama internasional untuk tujuan penyitaan. Dalam hal ini dengan menggunakan kewenangan KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan, yang didalamnya menyangkut kewenangan melakukan penyitaan atau pemblokiran (sementara) aset. Namun demikian, hal itu belum dapat dilakukan dalam hal pengembalian aset berupa “penyitaan permanen” atau “perampasan” yang diduga hasil tindak pidana korupsi. Baik terhadap aset hasil korupsi yang ada di Indonesia maupun yang ada di luar negeri.
StAR Initiative juga tidak cukup menjanjikan untuk memberikan terobosan jalan keluar dalam hal ini. Dilihat dari informasinya dimana jutaan dollar disinyalir dana yang “dilarikan” Presiden Soeharto selama berkuasa dari Indonesia yang sekarang “diparkir” diluar negeri, maka dalam kerangka pengembalian aset UNCAC 2003, Indonesia berkedudukan sebagai “negara yang meminta”. Lembaga manakah yang berwenang untuk mewakili Indonesia melakukan hal ini, mengingat hingga kini belum ada “central authority” pemberantasan korupsi di Indonesia. Jelas KPK hanya kompeten kerjasama internasional paling jauh berkenaan dengan penuntutan pidana dan tidak kompeten melakukan eksekusi putusan yang menjadi inti utama asset recovery apalagi melakukan gugatan perdata sama sekali tidak berwenang. Sementara itu, Kejaksaan memang berwenang di bidang perdata dan tata usaha negara untuk bertindak untuk dan atas nama negara atau pemerintah (Pasal 30 ayat (2) Undang-Undang No. 16 Tahun 2004), tetapi jika hal itu dilakukan dalam kerangka kerjasama internasional menjadi persoalan tersendiri karena Undang-Undang Kejaksaan sama sekali tidak mewadahi kemungkinan international cooperation (Bandingkan dengan Undang-Undang Kepolisian dan Undang-Undang KPK). Sedangkan Pasal 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana justru Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang memonopoli kewenangan mengajukan permintaan bantuan kepada negara lain. Belum lagi seperti layaknya kerjasama internasional pada umumnya, Departemen Luar Negeri juga mempunyai kewenangan tertentu berkenaan dengan hal ini.
Selain itu, sifat khusus dari kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan UNCAC 2003, mengharuskan pengkajian kembali berbagai payung hukum (umbrella act), baik Undang-Undang Ekstradisi, atau Undang-Undang Bantuan Timbal Balik Dalam Bidang Pidana, mapun berbagai peraturan perundang-undangan lainnya yang memberikan kompetensi kepada pihak tertentu melakukan kerjasama internasional. Diperlukan pengkajian apakah lembaga-lembaga yang berwenang tersebut (misalnya Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Departemen Luar Negeri), mempunyai sumberdaya memadai, baik untuk “meminta” maupun dalam hal “diminta”, bantuannya berkenaan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan tindak pidana korupsi. Jangan sampai ketidaksiapan lembaga yang bersangkutan berdampak pada ditempatkannya Indonesia sebagai “non cooperative country” ataupun berdampak kontra produktif terhadap upaya pemberantas korupsi di tanah air.
Keberlakuan Keputusan Pengadilan Negara Lain
UNCAC 2003 juga menyebabkan Keputusan Pengadilan Pidana negara lain yang menetapkan penyitaan atau pembekuan rekening, ataupun yang memutuskan perampasan aset hasil korupsi yang berada di Indonesia, menjadi berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat bagi otoritas-otoritas apapun yang menunjukkan bahwa aset hasil korupsi tersebut dibawah pengendaliannya. Untuk itu, setiap negara peratifikasi UNCAC 2003 juga berkewajiban meneruskan keputusan pengadilan negara lain yang berisi penetapan sita, pemblokiran atau pembekuan rekening ataupun perampasan aset hasil korupsi kepada otoritas berwenang yang menentukan atas penguasaan atas kekayaan tersebut, sehingga dapat dikembalikan kepada negara peminta.
Selain itu, setiap negara juga berkewajiban meneruskan permintaan batuan timbal balik dalam bidang hukum yang diminta oleh suatu negara peratifikasi UNCAC 2003 lainnya kepada pengadilan setempat atau otoritas lainnya yang berwenang melakukan itu di negaranya, untuk melakukan penyitaan, pemblokiran atau pembekuan rekening ataupun perampasan aset hasil tindak pidana korupsi berdasarkan keputusan pengadilan atau otoritas berwenang setempat. Ketentuan ini mengharuskan penentuan pihak yang berwenang pada setiap negara, yang menjadi alamat pengajuan permintaan-permintaan bantuan timbal balik dalam bidang hukum tersebut. Kerjasama internasional dalam pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi adalah kerjasama yang bersifat khusus, sehingga dapat saja ditetapkan lembaga seperti KPK sebagai pihak yang berwenang melakukan hal tersebut.
Sebagai konsekuensi dari kerjasama internasional pengembalian aset hasil korupsi, setiap negara peratifikasi UNCAC 2003 juga wajib memusnahkan, mengembalikan kepada yang berhak, atau mengembalikan kepada negara yang meminta, aset yang disita, tanpa mengurangi hak (merugikan) pihak ketiga dinegaranya yang beritikad baik atas kepemilikan aset tersebut (Pasal 57 UNCAC 2003).
Ketentuan kerjasama internasional untuk penyitaan ini ditentukan dalam Pasal 55 UNCAC 2003. Ketentuan ini merupakan ketentuan yang sifatnya wajib bagi setiap negara peratifikasi UNCAC. Sekalipun hal itu melalui Pasal 54 UNCAC dikemas sebagai bagian bantuan timbal balik dalam bidang hukum pidana (mutual legal assistance). Namun demikian, perlu diingat sekalipun setiap negara peratifikasi UNCAC 2003 terikat tanpa perjanjian MLA, tetapi perjanjian-perjanjian tersebuti dalam kerangka bilateral maupun multilateral masih diperlukan, untuk mengefektifkan kerjasama internasional tersebut (Pasal 59 UNCAC). Sejauh ini dapat dijadikan contoh adalah ASEAN Mutual Legal Assistance Treaty (AMLAT’S) 2004.
Selain ketentuan yang sifatnya wajib, UNCAC 2003, juga menyarankan agar hukum nasional suatu negara memperkenankan penyitaan atau perampasan itu, dilakukan sekalipun tidak ada putusan pidana bagi yang bersangkutan. Sekalipun tidak adanya putusan pidana tersebut dibatasi sepanjang yang bersangkutan (tersangka/terdakwa) meninggal dunia, melarikan diri atau tidak hadir. Demikian pula, dianjurkan untuk memungkinkan pelaksanaan (eksekusi) penyitaan atas penetapan penyitaan oleh pengadilan negara lain yang sedang memproses suatu tuntutan pidana terhadap yang bersangkutan. Bagi sementara kalangan, hal ini sedikit banyak dipandang sebagai penggerogotan atas kedaulatan negara, jika dilihat Indonesia sebagai negara “yang diminta”, sementara justru sebaliknya dapat sangat membantu upaya mengembalikan milyaran dollar yang dilarikan para koruptor ke luar negeri. Ketika suatu negara berada dalam posisi “yang diminta”, berlaku ketentuan Kerjasama Internasional untuk tujuan penyitaan, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 55 UNCAC 2003.
Uraian diatas menggambarkan begitu detailnya sebenarnya UNCAC 2003 membuka peluang asset recovery, termasuk tetapi tidak terbatas dengan memberdayakat StAR Initiative. Pertanyaan yuridisnya, dapatkah Indonesia mengharapkan adanya putusan pengadilan dari negara lain peratifikasi UNCAC 2003, menggunakan StAR Initiative menyatakan sejumlah aset yang berada di negaranya sebagai milik Indonesia yang “dilarikan” mantan Presiden Soeharto. Walaupun agak utopis, sebenarnya hal ini menjadi peluang bagi Indonesia mengembalikan kekayaan negara tersebut. Tentunya diperlukan keterampilan diplomatik tingkat tinggi, dan international relationship yang kondusif. Desakan kepada Bank Dunia dan UNDOC untuk menekan negara-negara “penadah” harta hasil korupsi Indonesia agar dengan “sukarela” mengembalikannya ke Indonesia, adalah prosedur yang paling mudah membuat StAR tersebut benar-benar berguna bagi Indonesia. Dapatkah hal ini terwujud? Wallahu Alam.
Simpulan
Harmonisasi peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk dapat mengupayakan pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, bukan hanya memerlukan penyesuaian ketentuan peraturan perundang-undangan hukum pidana (korupsi), tetapi juga bidang hukum lain seperti hukum perdata dan administrasi negara, termasuk hukum acaranya. Sementara itu, masih terdapat berbagai problematik teknis yuridis untuk dapat menggunakan StAR Initiative mechanism sebagai bagian dari upaya membuktikan hak negara atas dugaan kerugian negara akibat penyalahgunaan Presiden Soeharto selama berkuasa, termasuk ketika memasukkannya sebagai asset recovery mechanism berdasarkan Undang-Undang No. & Tahun 2006 sebagai ratifikasi United Nations Convention Against Corruption 2003.
Bahan-Bahan Acuan
Bagir Manan. Sistem Peradilan Berwibawa (Suatu Pencarian). Yogyakarta: FH UII Press, 2005.
Barda N. Arief. Masalah Penegakan Hukum & Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
C. F. G. Sunaryati Hartono. Business and The Legal Profession in an Age of Computerization and Globalization. Jakarta: Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum, 2000.
Indriyanto Seno Adji. Korupsi dan Pembalikan Beban Pembuktian. Jakarta: Prof. Seno Adji & Rekan, 2006.
K. D. Gaur (ed.). Criminal Law & Criminology. Deep& Deep Publication, 2002.
KPK, Identification of Gaps between Laws/Regulations of The Republik Indonesia and The United Nations Conventions Against Corruptions. Jakarta: KPK, 2006.
Muladi. Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia. Jakarta: The Habibie Center, 2002.
Reformasi Hukum di Indonesia; Hasil Studi Perkembangan Hukum-Proyek Bank Dunia. Jakarta: Cyberconsult, 1999.
Roeslan Saleh. Sifat Melawan Hukum daripada Perbuatan Pidana. Jakarta: Aksara Baru, 1983.
Romli Atmasasmita. Pengantar Hukum Kejahatan Bisnis. Jakarta: Prenada Media, 2003.
-------------------------. Sekitar Masalah Korupsi; Aspek Nasional dan Aspek Internasional. Bandung: Mondar Maju, 2004.
Stolen Asset Recovery (StAR): Challenges, Opportunities and Action Plan. The World bank & UNODC, 2007.
The World Bank. Combating Corruption in Indonesia; Enhancing Accountability for Development . Jakarta: The World Bank, 2004.
United Nations Convention Against Corruption 2003
Undang-Undang No. 7 Tahun 2006
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang No. 20 Tahun 2001
Undang-Undang No. 30 tahun 2002
Undang-Undang No. 8 tahun 1981
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946
Undang-Undang No. 1 tahun 1979
Undang-Undang No. 1 Tahun 2006
Undang-Undang No. 15 Tahun 2002 jo Undang-Undang No. 25 Tahun 2003, Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang No. 10 Tahun 1998