Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Kamis, 13 Januari 2011

ANALISA EKONOMI ATAS HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

ANALISA EKONOMI ATAS HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL DI INDONESIA: TINJAUAN TERHADAP REFORMASI HUKUM BIDANG HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL
Oleh: Henny Marlyna
I. PENDAHULUAN
Menganalisa hukum dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan (approaches). Dalam buku yang dikarang oleh Llyod dan Freeman yang berjudul “Lloyd’s Introduction to Jurisprudence” dipaparkan 8 (delapan) pendekatan yang dikenal dalam ilmu hukum; mulai dari pendekatan hukum alam (natural law) sampai dengan pendekatan marxiz (Marxist theories of law and state). Dari delapan pendekatan yang disebutkan, salah satunya adalah pendekatan trend modern ilmu hukum yang didasarkan pada kajian analisa dan normatif (modern trend in analytical and normative jurisprudence) yang salah satunya adalah mengkaji hukum atas dasar analisa ekonomi (economic analysis of law).
Sebagaimana yang kita ketahui, pada akhir tahun 2000 yang lalu yaitu pada tanggal 20 Desember 2000 reformasi hukum bidang Hak Kekayaan Intelektual (“HKI”) telah dimulai diundangkannya 3 (tiga) undang-undang baru di bidang HKI, yaitu Undang-undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang, Undang-undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri dan Undang-undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. Selanjutnya pada tahun 2001 Pemerintah juga telah mengundangkan 2 (dua) undang-undang yaitu UU No. 14 Tahun 2001 tentang Paten dan UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek yang merupakan revisi terhadap undang-undang sebelumnya. Selain itu pada tanggal 11 Juli 2002, Rapat Paripurna DPR akhirnya menyetujui RUU tentang Hak Cipta untuk disahkan sebagai undang-undang .
Adapun yang menjadi pokok permasalahan yang akan diangkat dalam makalah ini sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Analisa Ekonomi atas hukum ?
2. Apakah reformasi hukum di bidang HKI di Indonesia tersebut telah menggunakan pendekatan analisa ekonomi atas hukum, dilihat dari latar belakang terjadinya reformasi hukum bidang HKI dan substansi mendasar yang diatur dalam undang-undang HKI yang baru.
II. TINJAUAN SINGKAT MENGENAI ANALISA EKONOMI ATAS HUKUM
Analisa Ekonomi atas Hukum menurut Posner adalah penggunaan prinsip-prinsip dalam ilmu ekonomi sebagai pendekatan untuk mengkaji masalah hukum, selanjutnya dikatakan bahwa “..economic is powerful tool for analyzing a vast range of legal question”. Menurut Polinsky, pendekatan analisa ekonomi terhadap hukum dilakukan oleh ahli hukum dilakukan dengan maksud “ … in order to focus on how to think like an economic about legal rules.”

Pendekatan analisa ekonomi atas hukum merupakan pendekatan yang relatif baru dikenal. Pendekatan ini pertama kali diperkenalkan kurang lebih 40 tahun yang lalu oleh ahli hukum dari Amerika Serikat. Selanjutnya pada tahun 1968 Richard Posner menerbitkan sebuah buku yang menguraikan pendekatan analisa ekonomi atas hukum secara sistematis.
Analisa ekonomi atas hukum adalah suatu bahasan interdisipliner yang membawa secara bersama-sama dua bidang studi dan mengantarkan pada pengertian yang lebih mengenai dua bidang yaitu hukum dan ekonomi. Menurut pendekatan ini, hukum adalah alat untuk mencapai tujuan-tujuan sosial yang penting. Untuk mengetahui pengaruh hukum terhadap tujuan-tujuan tersebut, maka pembuat undang-undang harus mempunyai metode untuk mengevaluasi pengaruh-pengaruh hukum terhadap nilai-nilai sosial. Ekonom memperkirakan pengaruh dari suatu kebijakan terhadap efisiensi. Efisiensi selalu relevan dengan pembuatan kebijakan, karena lebih baik memperoleh suatu kebijakan dengan biaya rendah daripada biaya tinggi.

III. HKI DAN HUKUM HKI DI INDONESIA
Pada dasarnya tidak ada satupun definisi tentang HKI atau Intellectual Property Rights yang diterima secara umum/universal. Namum untuk dipakai sebagai pedoman dalam melakukan pembahasan selanjutnya, berikut ini penulis kemukakan beberapa definisi mengenai HKI sebagai berikut :
1. Menurut W.R. Cornish
Traditionally, the term “intellectual property” was used to refer to the rights conferred by the grant of a copying in literary, artistic and musical works.
In more recent times, however, it has been used to referto a wide range of disparate rights, including a number of more often known as “industrial property”, such as patent and trademarks.
2. Menurut David Brainbridge:
Intellectual property law is that area of law which concerns legal rights assorted with creative effort or commercial reputation and goodwill.
Adapun HKI sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru di Indonesia. Sejak jaman Pemerintahan Hindia Belanda, Indonesia telah mempunyai undang-undang tentang HKI yaitu Octrooiwet (Undang-undang paten) Stb. No. 33 yis S 11-33, S 22-54, Auterswet (undang-undang Hak Pengarang) Stb. 1912 No. 600 serta Reglement Industriele Eigendom (Reglemen Milik Perindustrian) yang dimuat dalam S. 1912 No. 545 jo. S. 1913 No. 214, yang mulai berlaku sejak tahun 1913. Peraturan-peraturan tersebur berlaku di Indonesia berdasarkan prinsip konkordansi.
Undang-undang merek pertama Indonesia lahir pada tahun 1961 yaitu UU No. 21 Tahun 1961 tentang Merek Dagang dan Merek Perniagaan, yang diundangkan pada tanggal 11 Oktober 1961 dan mulai berlaku tanggal 11 Nopember 1961. Pada tahun 1992 terjadi pembaharuan hukum merek di Indonesia, untuk mengantisipasi arus globalisasi, dengan lahirnya undang-undang No. 19 Tahun 1992 tentang Merek yang mencabut dan menggantikan UU Merek No. 21 Tahun 1961. Pada tahun 1997 terjadi penyempurnaan terhadap UU Merek No. 19 Tahun 1992 yaitu dengan UU No. 14 Tahun 1997 yang disahkan oleh Presiden RI pada tanggal 7 Mei 1997. Penyempurnaan ini dilakukan terutama untuk menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights) yang merupakan bagian dari Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia (Agreement Establishing World Trade Organization) yang telah diratifikasi Indonesia dengan UU No. 7 Tahun 1994. Perubahan terakhir mengenai undang-undang merek terjadi pada tahun 2001 yaitu dengan lahirnya UU No. 15 Tahun 2001.
Undang-undang paten pertama Indonesia adalah UU No. 6 Tahun 1989 yang telah diubah dengan UU No. 13 Tahun 1997 dan terakhir dengan UU No. 14 Tahun 2001.
Sama halnya dengan undang-undang tentang Merek maupun paten, undang-undang tentang Hak Cipta juga telah beberapa kali terjadi perubahan yaitu UU No. 6 Tahun 1982 yang telah diubah pada tahun 1987 (UU No. 7 Tahun 1987), tahun 1997 (UU No. 12 Tahun 1997) dan terakhir pada tahun 2002.
IV. ANALISA EKONOMI ATAS REFORMASI HUKUM HKI DI INDONESIA
Dalam melakukan analisa ekonomi terhadap reformasi hukum bidang HKI maka penulis menganalisanya ditinjau berdasarkan latar belakang dari reformasi hukum bidang HKI tersebut dan substansi mendasar yang diatur dari reformasi hukum bidang HKI tersebut.

A. Latar Belakang Reformasi Hukum Bidang HKI
Reformasi hukum bidang HKI di Indonesia terutama disebabkan adanya kewajiban internasional Negara Indonesia berkaitan dengan Konvensi Pembentukan WTO (World Trade Organization). Konvensi tersebut mewajibkan seluruh negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam konvensi tersebut, khususnya Annex 1 b Konvensi tersebut, yaitu Perjanjian TRIPs (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights). Konvensi tersebut telah memberikan batas waktu bagi negara-negara anggotanya untuk melakukan penyesuaian hukum nasionalnya di bidang HKI dengan ketentuan-ketentuan dalam TRIPs, yaitu 1 ( satu) tahun bagi negara maju dan 4 (empat) tahun bagi Negara berkembang. Sebagai salah satu negara berkembang maka Indonesia harus menyesuaikan hukum nasionalnya di bidang HKI paling lambat pada bulan Januari 2000.
Tekanan dari pihak luar lainnya juga turut melatarbelakangi terjadi reformasi hukum bidang HKI ini. Menurut laporan tahunan Special 301, yang dikeluarkan United States Trade Representative (“USTR”), pada tahun 1999 Indonesia saat itu merupakan satu-satunya negara Asean yang masih masuk dalam Priority Watch List versi USTR untuk kasus-kasus pelanggaran HKI. Lembaga perwakilan ini bertugas menelaah catatan-catatan pelanggaran HKI dari negara-negara mitra dagang AS.
Pada tahun 2000 peringkat Indonesia membaik dengan masuk kategori Watch List dikarenakan pada tahun 2000 Pemerintah Indonesia telah mengajukan RUU tentang Desain Industri, Rahasia Dagang dan Desain Tata Letak Sirkuit terpada serta mengajukan RUU revisi terhadap UU Paten dan Merek. Akan tetapi peringkat ini tidak lama bertahan, oleh karena pada tahun 2001 dan 2002 Indonesia kembali masuk dalam kategori Priority Watch List karena meskipun Indonesia telah memperbaiki peraturan hukum bidang HKI, akan tetapi penegakan hukum HKI terutama atas kekayaan intelektual yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan Amerika Serikat masih dirasakan lemah.

Berdasarkan tekanan dari pihak luar, ketidakmampuan Indonesia untuk melindungi HKI akan menghambat masuknya investasi ke Indonesia di masa datang. Bila pemerintah Indonesia tidak secepatnya memperbaiki situasi ini, maka reputasi Indonesia di mata dunia internasional akan benar-benar terancam. Untuk itulah maka pemerintah seharusnya dapat segera mengambil tindakan tegas untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HKI, karena penuntasan kasus tersebut sangatlah penting untuk mengembalikan kepercayaan investor untuk berinvestasi di Indonesia.

Karena itulah Indonesia segera merevisi perundang-undangan perlindungan HKI dan memastikan bahwa undang-undang tersebut dilaksanakan secara efektif. Ketidakmampuan Indonesia mematuhi kesepakatan TRIPS akan berakibat pada pengenaan sanksi-sanksi perdagangan WTO bagi Indonesia.
Berdasarkan latar belakang terjadinya reformasi hukum bidang HKI dapat disimpulkan bahwa pendekatan analisa ekonomi atas hukum telah dipergunakan karena terjadinya reformasi hukum bidang HKI tersebut tidak terlepas dari adanya tekanan dari pihak luar terutama Amerika Serikat yang mengancam adanya pengenaan sanksi perdagangan apabila tidak segera merevisi peraturan hukum bidang HKI. Selain itu tidak adanya kepastian hukum bidang HKI juga dirasakan dapat menghambat masuknya investasi asing ke Indonesia karena itulah Pemerintah Indonesia melakukan reformasi bidang hukum HKI.
Selain itu reformasi di bidang hukum HKI juga didasari oleh pemikiran dan kesadaran bahwa perlindungan yang wajar terhadap HKI diharapkan dapat menjadi pendorong bagi anggota masyarakat untuk terus berupaya keras menghasilkan karya intelektual lainnya. Dengan semakin terjaminnya perlindungan HKI di Indonesia maka semakin banyak orang yang akan menghasilkan karya intelektual dan diharapkan dapat pula menggerakkan roda perekonomian serta memberikan pemasukan berupa pajak kepada negara.
B. Substansi Pengaturan Undang-undang HKI yang Baru
1. Perubahan delik biasa menjadi delik aduan terhadap pelanggaran pidana atas HKI.
Dalam 5 (lima) undang-undang baru bidang HKI, maka pelanggaran pidana terhadap HKI dikategorikan sebagai delik aduan. Oleh karena itu dugaan terjadinya suatu tindak pidana pelanggaran HKI hanya dapat dilakukan penyidik dan pemeriksaan di pengadilan jika ada pengaduan dari pihak yang merasa haknya dirugikan. Perubahan jenis delik pidana HKI ini juga dikarenakan bahwa pada prinsipnya aspek perdata dari HKI lebih mengemuka dibandingkan dengan aspek pidananya. Oleh karena itu dimungkinkan terjadinya proses perdamaian di antara para pihak dalam hal terjadi tindak pidana HKI.
Dengan adanya perubahan jenis delik pelanggaran HKI ini maka yang pasti akan mempermudah kerja dari penegak hukum dalam mengatasi pelanggaran HKI, selain itu biaya yang akan dikeluarkan dalam menyelesaikan tindak pidana HKI dengan sendirinya akan berkurang.
2. Perubahan terhadap sanksi pidana.
Dalam undang-undang merek dan paten yang baru maka sanksi pidana penjara dikurangi menjadi paling lama 5 (lima) tahun dari sebelumnya 7 (tujuh) tahun untuk tindak pidana merek dan paling lama 5 (lima) tahun dari sebelumnya 7 (tujuh) tahun untuk tindak pidana paten. Namun besarnya denda menurut undang-undang yang baru dinaikkan menjadi paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dari sebelumnya hanya Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk tindak pidana merek dan denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dari sebelumnya Rp. 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) untuk tindak pidana paten.
Dengan adanya ancaman hukuman denda yang berat tersebut, diharapkan pelanggaran HKI bisa berkurang.

3. Penyelesaian sengketa HKI di Pengadilan Niaga.
Penyelesaian sengketa merupakan hal yang tidak kalah strategis dalam pengelolaan sistem HKI. Undang-undang HKI yang baru (selain UU Rahasia Dagang) telah melakukan terobosan baru dalam penyelesaian sengketa di bidang HKI yang arahnya dimaksudkan untuk mempercepat proses peradilan dalam sengketa HKI, yaitu dengan memanfaatkan peranan Pengadilan Niaga dalam rangka menyelesaikan sengketa perdata di bidang. Hal ini didasarkan karena bidang HKI sangat berkaitan dengan dunia usaha, untuk itu dibutuhkan penyelesaian perkara yang cepat, karenanya membutuhkan institusi peradilan khusus.
Selain itu undang-undang HKI yang baru juga mengatur mengenai tata cara penyelesaian perkara dengan jangka waktu yang spesifik dan relatif pendek. Ada keinginan kuat dari undang-undang HKI agar penyelesaian sengketa melalui pengadilan niaga ini dapat berjalan dalam waktu yang cepat dan tidak bertele-tele. Undang-undang HKI mengatur bahwa gugatan harus telah diputuskan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak gugatan diterima pengadilan niaga, dan hanya dapat diperpanjang selama 30 (tiga puluh) hari dengan persetujuan Mahkamah Agung. Selain itu terhadap putusan pengadilan niaga hanya dapat dilakukan upaya hukum kasasi yang harus telah diputus oleh Mahkamah Agung dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan kasasi diterima. Oleh karena itu proses penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan niaga adalah lebih kurang 180 (seratus delapan puluh) hari sampai dengan adanya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hukum tetap.
Dengan semakin cepat selesainya suatu perkara di pengadilan, maka dengan sendirinya biaya yang akan dikeluarkan untuk menyelesaikan perkara perdata oleh pihak-pihak yang bersengketa tentu akan berkurang pula, begitu pula beban biaya yang harus dikeluarkan oleh pihak pengadilan.

4. Penetapan Sementara Pengadilan
Undang-undang HKI yang baru memperkenalkan rezim hukum baru dalam hukum acara perdata yang dianut di Indonesia yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu penerapan lembaga Penetapan Sementara Pengadilan yang dalam perjanjian TRIPs dikenal dengan istilah injuctions. Lembaga hukum ini berbeda dangan putusan provisi yang dikenal dalam hukum acara perdata kita. Putusan provisi dijatuhkan setelah gugatan didaftarkan, sedangkan Penetapan Sementara dikeluarkan atas permohonan pemilik HKI sebalum adanya gugatan pokok. Selain itu Penetapan Sementara seperti halnya sebuah putusan, serta merta dapat langsung dieksekusi.
Berdasarkan bukti yang cukup dan meyakinkan,maka pihak yang halnya dirugikan dapat meminta HKI pengadilan niaga untuk menerbitkan penetapan sementara tentang :
- Pencegahan masuknya produk yang berkaitan dengan pelanggaran HKI
- Penyimpanan bukti yang berkaitan dengan pelanggaran HKI
Adanya ketentuan mengenai Penetapan Sementara ini diharapkan dapat mengurangi kerugian yang telah terjadi yang diderita oleh pemegang HKI yang sesungguhnya.
5. Lamanya Proses Pendaftaran
Dari seluruh perubahan yang ada, proses penyelesaian permohonan pendaftaran untuk merek dan paten mengalami perubahan yang sangat mendasar. Berdasarkan UU Merek yang lama maka proses pendaftaran merek dapat diselesaikan dalam waktu 16 bulan sedangkan berdasarkan UU Merek yang baru maka penyelesaiannya dipersingkat menjadi paling lama 14 bulan 10 hari. Begitu halnya dengan paten, berdasarkan UU Paten yang baru maka jangka waktu pemeriksaan substantif atas Paten Sederhana yang semula sama dengan Paten, yakni dari 36 (tiga puluh enam) bulan diubah menjadi 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak Tanggal Penerimaan. Hal itu dimaksudkan untuk mempersingkat jangka waktu pemeriksaan substantif agar sejalan dengan konsep Paten dalam rangka meningkatkan layanan kepada masyarakat. Karena itu dapat disimpulkan bahwa percepatan proses penyelesaian permohonan paten maupun marek ini tidak lain adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi para pendaftar serta mengurangi biaya yang harus dikeluarkan oleh seseorang guna mendapatkan perlindungan hukum atas karya intelektualnya.

Dari latar belakang terjadinya reformasi hukum bidang HKI maupun substansi undang-undang baru tentang HKI dapat terlihat bahwa analisa ekonomi terhadap hukum telah digunakan sebagai pendekatan. Prinsip-prinsip ekonomi yang mengedepankan prinsip efisiensi dan efektifitas sebagaimana yang dianut dalam prinsip ekonomi.

V. PENUTUP
Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Bahwa yang dimaksud dengan Analisa Ekonomi atas Hukum menurut Posner adalah penggunaan prinsip-prinsip dalam ilmu ekonomi sebagai pendekatan untuk mengkaji masalah hukum, selanjutnya dikatakan bahwa “..economic is powerful tool for analyzing a vast range of legal question”.
2. Bahwa dilihat dari latar belakang serta substansi perubahan hukum yang terjadi maka dapat disimpulkan bahwa reformasi hukum di bidang HKI di Indonesia telah menggunakan pendekatan analisa ekonomi atas hukum dimana faktor ekonomi turut mempengaruhi terjadinya refomasi hukum bidang HKI di mana substansinya menggunakan prinsip-prinsip ekonomi, sehingga diharapkan hukum yang baru dapat menciptakan efektifitas dan efisiensi.

Daftar Pustaka
Bainbridge, David J. Cases & Materials in Intellectual Property Law. London: Pitman Publishing, 1995.
______. Intellectual Property. Cet. 4. London: Pitman Publishing, 1999.
Cooter, Robert dan Thomas Ulen. “Law and Economics” (Massachusets: Addison-Wesley). Hal. 3-4 dalam Diktat Teori Hukum yang dikumpulkan oleh Hikmahanto Juwana.
Cornish, W.R. Intellectual Property, Patents, Copyrights, Trade Marks and Allied Rights. Ed.2. Sweet & Maxwell.
Damian, Edy. Hukum Hak Cipta menurut Beberapa Konvensi Internasional, Undang-undang Hak Cipta 1997 dan Perlindungannya terhadap Buku serta Perjanjian Penerbitannya. Bandung: Penerbit Alumni, 1999.
Juwana, Hikmahanto. “Analisa Ekonomi atas Hukum Perbankan” dalam Bunga Rampai Hukum Ekonomi dan Hukum Internasional, Cet.1. Jakarta: Lentera Hati, 2001.
Kesowo, Bambang. “Development of Intellectual Property Laws in Indonesia dalam Current development of Laws in Indonesia. 1st ed. Edited by Koesnadi Hardjasoemantri and Naoyuki Sakumoto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999, p. 95.114.
______. Pengantar Umum Mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual (HAKI) di Indonesia. Jakarta. Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1996.
Zoelva,Hamdan. “Undang-undang Baru di Bidang HKI.” Makalah disampaikan dalam Seminar Peningkatan Pemahaman dan Pemberdayaan HKI dalam Menghadapi Era Perdagangan Global, Jakarta, 23 April 2001.

Last Updated on Thursday, 22 January 2009 11:27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar