Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Rabu, 05 Januari 2011

Tantangan Global Penegakan Hukum

Bagaimana kita memahami tantangan global penegakan hukum? Cara paling mudah adalah memahaminya melalui kasus-kasus, dan untuk itu dibawah ini akan dituliskan 3 (tiga) kasus hukum yang memiliki dimensi global.

Kasus 1: Kasus Indah Kiat.
Kasus Indah Kiat sekarang ini tengah dalam pemeriksaan pengadilan di Bengkalis dimana Indah Kiat menggugat sejumlah pihak asing yaitu bank, penjamin emisi, pemegang obligasi, Badan Pertanahan Setempat, emiten yang mengeluarkan obligasi yang kebetulan sebuah ‘special purpose vechicle’ (SPV). Mayoritas pihak yang digugat adalah pihak asing yang kebanyakan adalah pelaku-pelaku bisnis internasional yang dikenal sebagai perusahaan raksasa.
Ceritanya Indah Kiat dulu melalui SPV-nya mengeluarkan obligasi di pasar internasional dengan dibantu oleh bank, penjamin emisi, wali amanat dan sebagainya. Obligasi Indah Kiat dimiliki oleh banyak pemodal institusional dari pasar modal internasional, dan jumlahnya tidak kecil. Sayang krisis ekonomi menghantam Indah Kiat, dan Indah Kiat tak dapat membayar kembali kewajibannya. Lalu berbagai gugatan di Amerika dimulai, dan ini diikuti dengan gugatan di Indonesia. Perkara ini menjadi panjang tak jelas penyelesaiannya, tetapi yang menarik disini adalah pengadilan negeri Bengkalis mengabulkan gugatan Indah Kiat yang mengatakan bahwa perjanjian pengeluaran obligasi dimintakan batal dan tak mempunyai kekuatan hukum. Sementara itu sebuah upaya resrukturisasi hutang tengah dilaksanakan walaupun tak melibatkan semua pemegang obligasi. Pertanyaannya: apakah perjanjian bisnis internasional yang notabene tunduk pada hukum asing bisa begitu saja dibatalkan oleh pengadilan Indonesia? Dimana asas ‘sanctity of contract’ disini?

Kasus 2: Kasus Monsanto.
Kasus Monsanto bermula dari penemuan internal pihak Monsanto bahwa telah terjadi pembayaran illegal kepada sejumlah pejabat pemerintahan Indonesia ketika Monsanto hendak mengembangbiakkan kapas transgenic di Indonesia. Untuk itu beberapa peraturan harus dirubah, dan dalam rangka perubahan itulah penyuapan terhadap pejabat pemerintahan Indonesia terjadi. Konon penyuapan itu melibatkan perusahaan konsultan
local yang kebetulan selama ini menjadi `investment advisor' bagi banyak perusahaan Amerika.
Adalah menarik bahwa Monsanto setuju akan penyelesaian ‘out of court’ dan membayar denda sebesar US $ 1,500,000.00 kepada Securities and Exchange Commission (SEC). Penyidikan akan kasus ini masih berlangsung baik di Amerika maupun di Indonesia. Tetapi kasus ini telah menarik banyak sekali perhatian publik karena diberitakan cukup luas oleh banyak media. Dalam kaitan inilah kita melihat banyak sekali ‘lawyers’ terlibat digugat di pengadilan negeri Jakarta Pusat, dan mungkin sebuah kasus pidana akan pula dimulai. Kasus ini ditengarai melanggar Foreign Corrupt Practices Act di Amerika, tetapi juga melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jadi jelas disini ada dimensi intemasional dari ‘enforcement’undang-undang tentang praktek korupsi.

Kasus 3: Kasus Karaha Bodas.
Karaha Bodas adalah PT PMA yang memenangkan kontrak pembangunan pembangkit tenaga listrik di Indonesia, tetapi pembangunan itu dihentikan karena krisis ekonomi yang terjadi. Ketika izin pembangunan pembangkit tenaga listrik itu dihidupkan kembali, rupanya Karaha Bodas tak mempunyai kemampuan yang memadai untuk meneruskan pembangunannya. Akibatnya kontrak tersebut diputuskan, dan pemutusan kontrak inilah yang akhimya dibawa ke arbitrase internasional. Sayang dalam arbitrase internasional pemerintah Indonesia dikalahkan dan diharuskan membayar ganti rugi senilai lebih dari US $ 250,000,000.00. Jumlah ini sekarang sudah mendekati angka US $ 300,000,000.00.
Pemerintah Indonesia tak bersedia membayar denda tersebut dan berhasil membatalkan putusan arbitrase itu di pengadilan negeri Jakarta Pusat. Tetapi Karaha Bodas tak menganggap putusan pengadilan negeri itu syah, dan karenanya melakukan upaya hukum menyita berbagai asset pemerintah Indonesia seperti rekening Pertamina di berbagai bank di Amerika. Karaha Bodas juga berupaya menyita super tanker Pertamina yang akhirnya sempat terselamatkan dengan menjualnya ke perusahaan tanker Norwegia, Frontline. Pertanyaannya disini adalah sejauh mana Indonesia bisa melawan putusan arbitrase internasional yang menurut hukum positif kita memang `enforceable’di Indonesia? Pertanyaannya bisa dibalik: bagaimana putusan arbitrase internasional dihormati oleh pengadilan di Indonesia?
Dari ketiga kasus diatas kita dapat melihat berbagai tantangan global penegakan hukum di Indonesia terutama yang berkaitan dengan penanaman modal asing di Indonesia. Untuk menyederhanakan persoalan yang sesungguhnya tidak sederhana maka kita bisa menyimpulkan bahwa ada 3 persoalan hukum utama yang menjadi isu besar yaitu: (i) sanctity of contract; (ii) korupsi, dan, (iii) international arbitration enforcement. Tentu saya berbohong kalau mengatakan tak ada persoalan hukum lain karena jelas bahwa penyederhanaan undang-undang penanaman modal asing, penghapusan red tape perizinan, kejelasan aturan perpajakan, kejelasan kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam konteks otonomi daerah, dan sebagainya. Hanya saja kita tidak mungkin hanya fokus kepada ketiga isu besar diatas.

(i) Sanctity of Contract
Adalah lazim dimanapun didunia ini bahwa kontrak itu mengikat sebagai hukum yang berlaku bagi para pihak. Jadi semua pihak yang sudah menandatangani kontrak seyogyanya terikat dengan klausula-klausula yang ada didalam kontrak tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Perdata, pasal 1338 dan 1320 secara tegas mengakui asas sanctity of contract ini, tetapi justru kita melihat hal ini sering dilanggar termasuk oleh pengadilan kita.
Penanaman modal asing disini semua masuk melalui kontrak kerjasama dengan partner lokal dan atau pemerintah. Hak dan kewajiban para pihak diatur dengan rinci. Dalam kasus Indah Kiat diatas ditentukan bahwa emisi obligasi diatur oleh hukum New York, dan menjadi aneh ketika pengadilan Indonesia melanggar asas sanctity of contract tersebut dengan membatalkan perjanjian emisi obligasi tersebut.
Restrukturisasi memang syah untuk dilakukan terutama dengan pemegang obligasi yang mau, tetapi restrukturisasi ini seharusnya tidak mendorong pembatalan kontrak internasional yang pasti akan menimbulkan pertanyaan tentang kepastian hukum di Indonesia. Akibat paling pasti dari tak dihormatinya sanctity of contract ini adalah larinya modal asing dari Indonesia karena Indonesia dianggap sebagai negara yang tidak nyaman bagi investasi.

(ii) Korupsi
Menurut Global Corruption Perception Index dari Transparency International, Indonesia adalah satu diantara sekian negara paling korup di dunia. Rekor yang tidak membanggakan ini tak mengalami perubahan dalam lima tahun terakhir sehingga menimbulkan keengganan bagi penanam modal asing untuk masuk ke Indonesia. Bagaimana tidak karena korupsi akan membuat apa yang disebut high cost economy. Seorang klien asing yang pemah terlibat membangun sebuah bandara udara internasional di negeri ini dengan getir mengatakan bahwa sesungguhnya dia bisa membangun tiga airport intemasional dengan biaya yang dianggarkan, tetapi mark up yang terjadi telah membuat airport yang dibangun hanya satu. Bayangkan berapa banyak korupsi yang terjadi?
Korupsi terjadi dimana-mana termasuk di lembaga penegak hukum baik itu kepolisian, imigrasi, kejaksaan dan pengadilan. Disinilah kita mengenal istilah Mafia Peradilan yang membuat para pengusaha asing gentar. Lihat apa yang terjadi dalam kasus pemailitan Manulife dan Prudential yang menghebohkan masyarakat bisnis intemasional. Banyak kasus lain yang tak seheboh Manulife dan Prudential. Dan jika kasus-kasus seperti ini tetap terjadi di pengadilan Indonesia maka bukan mustahil bahwa penanaman modal asing tak akan masuk ke Indonesia. Indonesia akan kalah bersaing dengan Negara-negara yang kurang korupsinya. Karena itulah pemberantasan korupsi semakin harus digalakkan.
Yang menarik dari survey Transparency International adalah bahwa optimisme rakyat tentang pemberantasan korupsi sangat tinggi terhadap pemerintah baru sekarang. Syukurlah bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai menunjukkan giginya dalam memberantas korupsi dengan membongkar korupsi di Komisi Pemilihan Umum. Terakhir ini kita melihat bahwa korupsi di tubuh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga sudah mulai digalakkan dengan menyeret Direksi Bank Mandiri dan para Debitur bermasalah. Mudah-mudahan pemberantasan korupsi ini bisa konsisten sehingga menimbulkan iklim bisnis yang lebih kondusif.

(iii) International Arbitration Enforcement.
Dalam pertemuan dengan Ketua Mahkamah Agung beberapa tahun silam saya meminta agar Mahkamah Agung membuat Surat Edaran agar semua hakim pengadilan menghormati klausula arbitrase dalam setiap perjanjian dan jangan mencari-cari alasan untuk mengenyampingkan klausula arbitrase. Biasanya klausula arbitrase dikesampingkan dengan alasan bahwa perkara tersebut masuk dalam kategori `perbuatan melawan hukum’. Padahal dalam banyak putusan arbitrase intemasional kita juga sudah melihat bahwa arbitrase juga mencakup perbuatan melawan hukum (tort). Perusahaan farmasi internasional, Roche, pemah sangat marah dengan pengadilan Indonesia karena tidak menghormati klausula arbitrase. Sebagai lawyer saya akhimya banyak mendapat telepon dari pihak Kedutaan Indonesia di Swiss karena rupanya klien asing tersebut menyampaikan protesnya di Swiss melalui asosiasi dagang disana. Jadi diterimanya perkara yang memuat klausula arbitrase di pengadilan telah menjadi iklan yang buruk bagi iklim investasi di Indonesia.
Indonesia tunduk pada New York Convention 1958 yang mengatur mengenai Foreign Arbitration Enforcement. Indonesia juga sudah mempunyai UU No 30/1999 tentang Arbitrase yang juga mengatur mengenai ‘enforcement’ dari arbitrase internasional. Tetapi keluhan banyak penanam modal asing adalah bahwa putusan arbitrase internasional tak bisa dilaksanakan di Indonesia. Kasus Karaha Bodas adalah contoh yang masih actual. Terlepas dari adil atau tidaknya putusan arbitrase tersebut, kita tak punya pilihan lain untuk melaksanakannya karena kita sudah terikat dengan New York Convention 1958 dan UU No 30/1999. Adalah aneh jika kita mencari dalih tidak melaksanakan putusan arbitrase itu sembari melakukan penyidikan pidana dan pajak. Upaya ‘post factum’ seperti ini justru makin memperburuk wajah Indonesia. Seharusnya pemerintah Indonesia dulu `fight’ dalam sidang arbitrase, tetapi ini tidak dilakukan. Pemerintah menganggap enteng arbitrase, dan harus membayar mahal akibat sikap menganggap enteng tersebut.
Utama. Penanam modal asing tak punya pilihan lain. Karena itu, jika kita ingin agar arbitrase itu tidak menjadi pilihan utama, maka korupsi di pengadilan harus segera dihentikan. Tetapi pilihan yang bijaksana seharusnya adalah memajukan kedua-duanya baik itu pengadilan maupun arbitrase. Khususnya arbitrase karena sifatnya yang cepat seyogyanya tetap akan menjadi alternative yang menarik.
Ketiga masalah diatas adalah sebagian Baja dari keseluruhan masalah yang kita hadapi dalam kasus penanaman modal asing. Inilah sebagian dari tantangan global penegakan hukum yang jelas sudah bersifat trans-nasional. Dalam penanaman modal asing tidak ada lagi persoalan hukum yang murni persoalan hukum domestic, semuanya akan ada dimensi internasionalnya. Dengan demikian perencanaan hukum dan penegakan hukum haruslah memperhatikan pula dimensi internasional, tidak bisa tidak. Para hakim, jaksa dan pengacara terutama tidak lagi berurusan dengan hukum nasional, tetapi harus juga dibekali dengan pengetahuan hukum intemasional.

Author : Todung Mulya Lubis
Seminar Visi 2020 Penegakan Hukum yang diadakan oleh SCTV dan Jakarta Lawyers Club, Jakarta, 26 Mei 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar