Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Jumat, 21 Januari 2011

Filosofi Kriminalitas Kebijakan ‘Bail-Out’ Century

Masyarakat luas tidak langsung jelas menyetujui atau menolak pernyataan Presiden SBY, bahwa “Sebuah kebijakan tidak dapat dipidana”.: Pernyataan itu, antara lain keluar dari Prof. Hikmahanto ketika diundang hadir bersama Erman Rajaguguk ke kediaman Menkeu Sri Mulyani untuk memberi pendapat hukumnya. Sejak itu, pernyataan, bahwa “Suatu kebijakan tidak dapat dipidana”, menjadi bahan pengulangan dengan argumen minim sehingga pernyataan itu nyaris hilang makna argumentatif. Tidak heran kalau sementara pengamat kemudian beranggapan, bahwa Presiden SBY kemudian dianggap memberi standar-ganda terhadap para pengambil kebijakan. Misalnya, kenapa bukan Burhanuddin Abdullah dan Aulia Pohan dapat dibela dengan alasan yang sama?
Terhadap pernyataan Presiden SBY, yang merupakan pandangan hukum dari Hikmahanto tersebut, dapat diberikan ilustrasi filosi hukum sebagai berikut. Contoh Masalah. Kasus Pertama (terkait dengan kasus kedua): Si A dalam keadaan terdesak merebut pisau dari tangan si B, dan menghunuskan kembali ke arah si B yang agresif ingin menghabisi nyawanya. Si B pun terkapar. Si A kemudian menjalandi proses hukum, dan  oleh hakim divonis bebas karena “Si A dinyatakan telah membela diri dari penyerang tidak adil” (aggresor injustus). Muncullah adagium umum, seseorang yang membela diri terhadap penyerang tidak adil, tidak dapat dipidanakan.
Kasus Kedua (lanjutan), yang mengikutinya. Si X sebenarnya sangat ingin menghabisi nyawa si Y. Tetapi, Si X memahami aturan cukup baik. Dia tidak ingin gegabah. Datanglah si Z, yang mengeluhkan (cur-hat) sikap si Y terhadap dirinya. Si X pun melihat peluang, bahwa si Z, sadar atau tidak, dapat melakukan niatnya, ya Si X, tanpa susah-payah dan tanpa resiko. Si X mengkondisikan Si Y dan si Z untuk dalam suatu situasi di mana Si X dapat mencuci-tangan. Singkat kisah, si Y yang berbadan mungil dan bertemperamental tinggi dikondisikan untuk amat marah terhadap si Z, yang bertubuh besar dan relatif sangat baik dan sopan di mata masyarakat. Pada hari pengkondisian yang matang, Si Y pun menyerang dengan membabi buta Si Z. Tetapi, si Z dengan tangkas mencabut pisau dari si Y yang emosional dan menyelesaikan pertarungan tak seimbang, dan tentu terencana oleh Z itu.
Jadi, pertanyaannya, “Bolehkan terhadap si Z, berlaku adagium tadi: membela diri dari penyerang yang tidak adil, tidak dapat dipidana?” Mudah untuk menjawabnya, bahwa terhadap Si Z, mutlak tidak berlaku pernyataan itu. Poin terpenting lainnya, apa yang terlihat sebagai sepertinya jahat belum tentu itu memang jahat (Kasus pertama). Tetapi, sebaliknya, apa yang kedengarannya sebagai baik, belum tentulah baik saja adanya.
Bahasa Romawinya, “Male sonans” , dalam kasus pertama, si A mematikan si B, “mematikan orang, tidak langsung harus sebai jahat”. Atau “Bene Sonans”, kedengarannya baik saja, mengikuti adagium A. Padahal, amat mungkin hanya kedengaran baik. Hakim berhak untuk mendapat semua informasi untuk menentukan baik-buruknya tindakan atau kebijakan yang diambil seseorang. Tidak pekerjaan yang baik atau jahat ada pada pekerjaannya (mala ex objecto, atau bona ex objecto). Suatu perbuatan (termasuk kebijakan) baik atau jahat, tergantung dari “niatan”, atau kata asing yang kita gunakan dalam hukum pidana “motif”. Niatan atau motif membutuhkan penjelasan lain, tetapi sederhananya, niatan juga memiliki indikator-indikator terencana, misalnya. Jika pelaku atau dianggap pelaku tidak jujur dengan motifnya, indikator lain dapat (coba) membuktikan bahwa ada niat tidak adil dalam tindakannya. 
Sebagai analisa filosofis hukum tingkah laku manusia (Filsafat Hukum atau Etika), disebut jahat atau tidak, teori ini dibuat untuk sekedar menghantar kita bereksplorasi lebih lanjut. Filsafat tingkah laku memberikan penilaian relativitas baik dan buruk dalam suatu tindakan, baik atau jahat pada tindakan lahir manusia. Dan bila terkait hukum positif, semua pihak harus diminta obyekfivitas, keadaan tidak berpihak, tidak dalam tekanan, conflict of interest untuk mengungkapkan suatu kebenaran.
Pernyataan M. Jassin, bahwa suatu kebijakan dapt dipidana, adalah akal sehat yang harus terus dibangun semua pihak, dan diterima dengan legowo. Betapa bijaknya, kalau Boediono dan Sri Mulyani bersedia diperiksa untuk mempertanggung-jawabkan kebijakannya. Ada kejahatan atau tidak, hanya pengadilan yang paling berhak menentukan. Tapi, bahwa kebijakan itu diminta untuk disidik dan diadili adalah rekomendasi 325 anggota DPR yang memberi kesaksian, bahwa dan dapat menjadi ada alat bukti awal. Masa, Polisi dan Jaksa bisa begitu menghormati dan menerima pengakuan Rani dan SMS-nya, daripada hasil kerja Pansus Angket Century dan 325 suara yang memenangkan Paripurna DPR?
Akhirnya, Kebijakan Bail-Out Century, tidak otomatis baik dan juga tidak otomatis buruk. Karena itu, berlaku presume of innocence. Dan, cara terbaik adalah Boediono dan Sri Mulyani mempertanggung-jawabkannya di peradilan publik. Dengan demikian, kebenaran yang relatif sejati dapat terungkap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar