Welcome To My World

Life is about limited chance....that will never come twice

Rabu, 05 Januari 2011

Hak Prerogatif Presiden, Karena Negara (Bukan) Saya

Di masa “kegelapan Eropa (the dark ages)” dahulu, kekuasaan seorang raja begitu absolut, bahkan seorang raja bisa mengatakan “negara adalah saya”, inilah yang memunculkan istilah hak prerogatif.

Di Indonesia, hak istimewa yang dimiliki presiden ini sepatutnya dibatasi, karena kekuasaannya harus terkontrol oleh konstitusi. UU Lembaga Kepresidenan dan UU Kementerian Negara, akan menjadi solusi.

Sejarah mencatat, hak prerogatif menjadi hak istimewa seorang raja, yang pertama kali diterapkan dalam konteks ketatanegaraan di kerajaan Inggris. Hak ini memberikan keistimewaan bagi penguasa politik untuk memutuskan sesuatu berdasarkan pertimbangan sendiri, uniknya putusan itu bisa dilakukan tanpa alasan apapun, kecuali kehendak pribadi dari sang pemimpin itu sendiri. Pada perjalanannya, hak ini diadopsi banyak negara. Namun sejak digunakan di Indonesia, hak eksekutif tersebut, tidak diatur secara memadai oleh UU. Akibatnya presiden memiliki kekuasaan yang luas dan bagai tak bertepi. Padahal, Lord Acton mengatakan, Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan yang bersifat absolut tentunya akan menimbulkan korupsi yang absolut pula). Oleh karena itu, jika hak prerogatif dibiarkan tanpa batasan, membuat pemerintah menjadi tidak sehat, dan cenderung bertindak korup.

Sebagai negara yang menggunakan sistem pemerintahan presidensial, maka presiden pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD, dapat dilihat dari Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Ketentuan ini, secara umum dapat ditafsirkan apabila presiden dapat menjalankan segala kemampuannya untuk mengendalikan pemerintahan. Jadi dalam tafsiran UUD 1945, presiden dibekali hak prerogatif. Lihat saja, dalam hal menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); mengangkat duta dan konsul (Pasal 13); memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA (Pasal 14 ayat (1)); amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 ayat (2)); membentuk Dewan Pertimbangan Presiden (Pasal 16); mengangkat dan memberhentikan menteri (Bab V Pasal 17 ayat (2)).

Sebenarnya, apabila kekuasaan pemerintahan diibaratkan pendulum, maka di era Orde Lama dan Orde Baru lebih berat ke Presiden sebagai chief executive, sehingga muncul istilah “executive heavy”. Buktinya, kekuasaan terpusat yang dijalankan oleh Sukarno maupun Soeharto berlangsung lama, dengan menempatkan penguasa Orde Lama dan Orde Baru melebihi kekuasaan parlemen. Hubungan timpang itu malah terbalik di era reformasi. Benarkah DPR RI lebih berkuasa dibandingkan presiden saat ini? Dr. Pratikno, Ketua Program Pasca Sarjana Politik Lokal dan Otonomi Daerah Universitas Gadjah Mada membantahnya, “kita tidak cukup confidence untuk mengatakan DPR saat ini legislative heavy. Yang lebih tepat DPR kita ini cerewet dan bertambah ribut. Sehingga mengesankan seakan-akan DPR yang berkuasa. Opini publik tidak bisa dikatakan seluruhnya benar. Sebab dalam praktiknya, presiden jalan terus meski tanpa DPR.”

Wacana untuk membatasi hak prerogatif presiden muncul manakala pembahasan RUU Lembaga Kepresidenan dan RUU Kementerian Negara. Artinya, apakah betul kehadiran kedua UU itu akan membatasi kewenangan presiden? Dan, apakah perlu (melalui kedua UU itu) kewenangan presiden dibatasi? Diakui oleh Pratikno, selama ini kelemahan utama pada lembaga kepresidenan adalah tidakadanya perangkat hukum (undang-undang) yang mengatur lembaga kepresidenan. Padahal dalam konteks “checks and balances”, UU tersebut sangat penting dalam menilai berbagai kebijakan presiden, apakah melakukan penyimpangan atau tidak? Dalam RUU Lembaga Kepresidenan tersebut akan diatur dengan jelas kewenangan, kewajiban, hak dan tanggung jawab Presiden dan Wakil Presiden serta lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Pratikno menilai, agar efektif, mestinya presiden harus dipayungi UU saat menjalankan aktivitasnya. Seandainya UU Lembaga Kepresidenan terbentuk, pasti konteksnya adalah penguatan posisi presiden dalam Sistem Pemerintahan Presidensial. Prinsip utamanya adalah pemisahan eksekutif dan legislatif (separation of power) yang berarti check and balances. Dimana kedua lembaga ini menjadi pilar dari demokrasi perwakilan. Praktik check and balances yang kompleks jika tanpa diikuti dengan kemudahan dalam konsensus akan mengakibatkan dead lock democracy.

Sistem Pemerintahan Presidensial menjamin bahwa DPR tidak banyak “menyentuh” presiden. Jadi, kalau ada upaya untuk membangun sistem ini secara konsisten, melalui pembentukan UU Lembaga Kepresidenan, yang untung presiden, yang rugi adalah DPR. Pengaturan hak-hak prerogatif presiden merupakan upaya penguatan terhadap sistem yang kita anut. “Mestinya kalau kita konsisten, presiden memiliki kekuatan luar biasa dalam menggunakan hak prerogatifnya,” ujar Pratikno.

Pandangan berbeda disampaikan Benny K. Harman, Anggota Komisi III DPR RI. Benny menilai, “tidak perlu membatasi kewenangan presiden karena UUD 1945 tidak mengatur adanya pembatasan itu. Hanya disebutkan, presiden menjalankan kekuasaan menurut UUD. Jadi, jelas presiden adalah pelaksana kekuasaan pemerintahan”.

Pratikno justru menolak argumentasi ini. Ia berpendapat pengaturan hak prerogatif Presiden dalam hal mengangkat, menetapkan, dan memberhentikan kabinet/menteri adalah suatu keharusan. “Pengaturan hak prerogatif presiden dalam hal pemilihan dan penetapan kabinet/menteri merupakan konsekuensi dari seorang pejabat negara. Jika presiden tidak mau jumlah kementerianya diatur, itu berlebihan,” kata Pratikno. Namun begitu, UU itupun tidak bisa mengatur semuanya, misal person-nya atau siapa calon menterinya.

Lalu bagaimana pula dengan RUU Kementerian Negara? Apakah juga akan membatasi kewenangan presiden, sehingga mempersempit hak prerogatifnya sebagai presiden? Zain Badjeber, Mantan Anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR Masa Sidang 2002–2003, beranggapan kewenangan presiden (dalam hal menentukan kementerian, red) layak diatur. Upaya membuat payung hukum UU Kementerian Negara malah akan memperkuat kekuasaan presiden sehingga lebih mudah mengontrol dan mempersempit akomodasi politik bagi partai-partai. Politisi PPP ini melihat RUU Kementerian Negara sebagai instrumen presiden dalam melengkapi penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial.

Namun, Benny K. Harman justru mengkhawatirkan dengan adanya UU Kementerian Negara akan mengubah sistem pemerintahan presidensial menjadi sistem parlementer. “Itu tidak boleh, karena dalam Pasal 4 UUD 1945, dijelaskan bahwa Presiden menjalankan kekuasaan pemerintahannya menurut UUD, bukan menurut UU. Kecuali UUD memberikan mandat kepada DPR untuk membuat UU yang mengatur kewenangan Presiden. Tetapi, kalau mau seperti itu, dibalik saja, bahwa ini adalah government by parliamentary. Yang terjadi sekarang ini adalah parliamentarism yang berideologi supremasi parlemen, melawan presidensialism yang berangkat dari ideologi presiden sebagai pemimpin pemerintahan, karena UUD memberi hak-hak tersebut,” ujar politisi Partai Demokrat ini.

Namun, meskipun Pasal 17 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan menteri-menteri diangkat dan diberhentikan oleh presiden. Akan tetapi, kewenangan presiden untuk mengangkat atau memberhentikan menteri sebaiknya tidak bersifat mutlak. Presiden seharusnya memperhatikan pertimbangan DPR meskipun tidak mengikat, sehingga Presiden dimungkinkan untuk tidak berbuat seenaknya, demikian pula dengan pembentukan dan pembubaran sebuah departemen atau kementerian.

Menurut Zain Badjeber, pertimbangan yang dilakukan DPR harus mematuhi tata tertib DPR yang menyebutkan bahwa pertimbangan sifatnya konsultasi pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi-fraksi. Karena pemberian pertimbangan dan persetujuan itu prosedurnya berbeda. Pertimbangan lebih sederhana. Jika pertimbangannya berlebihan dan memperlambat proses pelaksanaan hak prerogatif presiden, bisa dikatakan DPR telah mencampuri hak prerogatif Presiden. Ia menyontohkan, “dalam kasus pengangkatan duta besar. Pertimbangan antara duta besar kita dan duta besar asing seharusnya sama. Jangan sampai kasus HL. Mantiri (duta besar kita yang ditolak Australia, red) terulang lagi karena terjadi pelintiran oleh DPR. Meskipun ‘dibalut’ oleh fit and propher test, nyatanya untuk calon duta besar kita itu dilakukan. Dari aspek diplomatis itu tidak kena. Sebaliknya dalam menerima dubes, pertimbangan itu hanya sekadar DPR itu tahu, orangnya ini, apakah dia persona non grata atau tidak. DPR seharusnya melihat apakah calon duta besar asing tersebut memusuhi kita atau tidak. Pengalaman Mantiri seharusnya menjadi pelajaran dalam menerima duta besar asing,” ungkap Zain lagi.

Kita tidak lagi menginginkan presiden memiliki hak prerogatif yang begitu besar, sehingga akan timbul kecenderungan untuk absolut. Namun pembatasan itu tidaklah harus berarti kita tidak mempercayai lagi Sistem Pemerintahan Presidensial, karena dengan membuat payung hukum (seperti UU Lembaga Kepresidenan dan UU Kementerian Negara) maka efektivitas lembaga kepresidenan lebih teruji lagi, sehingga memantapkan sistem ini. Yang kita mau, efektivitas dan kinerja lembaga kepresidenan tidak terganggu karena prinsip “negara adalah saya”.

Majalah FIGUR Edisi XI/Februari 2007
 
HAK PREROGATIF PRESIDEN
Definisi Kekuasaan Presiden RI
Prerogatif berasal dari bahasa latin praerogativa ( dipilih sebagai yang paling dahulu memberi suara), praerogativus (diminta sebagai yang pertama memberi suara), praerogare ( diminta sebelum meminta yang lain).
Dalam prakteknya kekuasaan Presiden RI sebagai kepala negara sering disebut dengan istilah “hak prerogatif Presiden” dan diartikan sebagai kekuasaan mutlak Presiden yang tidak dapat diganggu oleh pihak lain.
Secara teoritis, hak prerogatif diterjemahkan sebagai hak istimewa yang dimiliki oleh lembaga-lembaga tertentu yang bersifat mandiri dan mutlak dalam arti tidak dapat digugat oleh lembaga negara yang lain. Dalam sistem pemerintahan negara-negara modern, hak ini dimiliki oleh kepala negara baik raja ataupun presiden dan kepala pemerintahan dalam bidang-bidang tertentu yang dinyatakan dalam konstitusi. Hak ini juga dipadankan dengan kewenangan penuh yang diberikan oleh konstitusi kepada lembaga eksekutif dalam ruang lingkup kekuasaan pemerintahannya (terutama bagi sistem yang menganut pemisahan kekuasaan secara tegas, seperti Amerika Serikat), seperti membuat kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi.
Sistem pemerintahan negara-negara modern berusaha menempatkan segala model kekuasaan dalam kerangka pertanggungjawaban publik. Dengan demikian, kekuasaan yang tidak dapat dikontrol, digugat dan dipertanggungjawabkan, dalam prakteknya sulit mendapat tempat. Sehingga, dalam praktek ketatanegaraan negara-negara modern, hak prerogatif ini tidak lagi bersifat mutlak dan mandiri, kecuali dalam hal pengambilan kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
UUD 1945 maupun peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang ketatanegaraan tidak pernah menyatakan istilah hak prerogatif Presiden. Namun dalam prakteknya, selama orde baru, hak ini dilakukan secara nyata, misalnya dalam hal pengangkatan menteri-menteri departemen. Hak ini juga dipadankan terutama dalam istilah Presiden sebagai kepala negara yang sering dinyatakan dalam pengangkatan pejabat negara. Dalam hal ini Padmo Wahjono menyatakan pendapatnyayang akhirnyamemberikan kesimpulan bahwa hak prerogatif yang selama ini disalahpahami adalah hak administratif Presiden yang merupakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dan tidak berarti lepas dari kontrol lembaga negara lain.
Bentuk kekuasaan Presiden di Indonesia dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Kekuasaan Kepala Negara.
Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara hanyalah kekuasaan administratif, simbolis dan terbatas yang merupakan suatu kekuasaan disamping kekuasaan utamanya sebagai kepala pemerintahan. Di Indonesia, kekuasaan Presiden sebagai kepala negara diatur dalam UUD 1945 Pasal 10 sampai 15. Kekuasaan Presiden sebagai kepala negara di masa mendatang selayaknya diartikan sebagai kekuasaan yang tidak lepas dari kontrol lembaga lain.
Kekuasaan Kepala Pemerintahan.
Kekuasaan Presiden sebagai kepala pemerintahan di Indonesia diatur dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (1). Kekuasaan pemerintahan sama dengan kekuasaan eksekutif dalam konsep pemisahan kekuasaan yang membatasi kekuasaan pemerintahan secara sempit pada pelaksanaan peraturan hukum yang ditetapkan lembaga legislatif. Kekuasaan eksekutif diartikan sebagai kekuasaan pelaksanaan pemerintahan sehari-hari berdasarkan pada konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Kekuasaan ini terbatas pada penetapan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan politik yang berada dalam ruang lingkup fungsi administrasi, keamanan dan pengaturan yang tidak bertentangan dengan konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Dalam pelaksanaannya, kekuasaan ini tetap besar dan mendapat pengawasan dari badan legislatif atau badan lain yang ditunjuk oleh konstitusi untuk menjalankan fungsi pengawasan. Dalam UUD 1945, fungsi pengawasan pemerintahan sehari-hari dilaksanakan oleh DPR.
Kekuasaan Legislatif.
UUD 1945 menetapkan fungsi legislatif dijalankan oleh Presiden bersama dengan DPR. Presiden adalah “partner” DPR dalam menjalankan fungsi legislatif. Dalam kenyataannya, Presiden mempunyai kekuasaan yang lebih menonjol dari DPR dalam hal pembentukan undang-undang, karena penetapan akhir dari suatu undang-undang yang akan diberlakukan ada di tangan Presiden. Produk undang-undang yang dikeluarkan orde baru lebih memihak kekuasaan daripada kehendak rakyat Indonesia. Oleh karena itu sistem check and balance mendesak untuk diterapkan dengan mekanisme yang jelas. Bila ada pertentangan antara Presiden dan DPR dalam hal persetujuan suatu undang-undang, maka Presiden harus menyatakan secara terbuka dan menggunakna hak vetonya. Dengan demikian, di akhir masa jabatannya masing-masing lembaga dapat diminta pertanggungjawabannya baik di sidang umum maupun dalam pemilihan umum.
Kategori Kekuasaan Presiden
Kekuasaan Presiden RI dinyatakan secara eksplisit sebanyak 24 bentuk dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan Indonesia. Berdasarkan mekanisme pelaksanaannya, bentuk kekuasaan tersebut dikategorikan sebagai berikut :
  1. Kekuasaan Presiden Yang Mandiri. Kekuasaan yang tidak diatur mekanisme pelaksanaannya secara jelas, tertutup atau yang memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada Presiden. Yang termasuk kekuasaan ini adalah :
    1. Kekuasaan tertinggi atas AD, AL, AU dan Kepolisian Negara RI
    2. Kekuasaan menyatakan keadaan bahaya
    3. Kekuasaan mengangkat duta dan konsul
    4. Kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945
    5. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri
    6. Kekuasaan mengesahkan atau tidak mengesahkan RUU inisiatif DPR
    7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Jaksa Agung RI
    8. Kekuasaan mengangkat Panglima ABRI
    9. Kekuasaan mengangkat LPND
Mekanisme yang paling baik adalah mengadakan hearing terlebih dahulu di DPR.
B. Kekuasaan Presiden Dengan Persetujuan DPR. Yang termasuk dalam kekuasaan ini adalah :
1. Kekuasaan menyatakan perang dan membuat perdamaian
2. Kekuasaan membuat perjanjian dengan negara lain
3. Kekuasaan membentuk undang-undang
4. Kekuasaan menetapkn PERPU
5. Kekuasaan menetapkan APBN
Sebelum melaksanakan kekuasaan tersebut, Presiden memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu. Sebagai contoh, jika DPR menganggap penting suatu perjanjian, maka harus mendapat persetujuan DPR. Jika perjanjian dianggap kurang penting oleh DPR dan secara teknis tidak efisien bila harus mendapat persetujuannya terlebih dahulu, dapat dilakukan dengan persetujuan Presiden. Hal ini dilakukan untuk menghindari terulangnya peminggiran peranan wakil rakyat dalam peranannya menentukan arah kebijakan politik negara.
C. Kekuasaan Presiden dengan konsultasi. Kekuasaan tersebut adalah :
  1. Kekuasaan memberi grasi
  2. Kekuasaan memberi amnesti dan abolisi
  3. Kekuasaan memberi rehabilitasi
  4. Kekuasaan memberi gelaran
  5. Kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya
  6. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah
  7. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan hakim-hakim
  8. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Hakim Agung, ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda dan Hakim Anggota MA
  9. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan Anggota DPA
  10. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Ketua, Wakil Ketua dan anggota BPK
  11. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Wakil jaksa agung dan jaksa agung Muda
  12. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Kepala Daerah Tingkat I
  13. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Panitera dan Wakil Panitera MA
  14. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen, Irjen, dan Dirjen departemen
  15. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen DPA
  16. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Sekjen BPK
  17. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota MPR yang diangkat
  18. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan anggota-anggota DPR yang diangkat
  19. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Gubernur dan Direksi Bank Indonesia
  20. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Rektor
  21. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan Deputi-deputi atau jabatan yang setingkat dengan deputi LPND
Sebagai contoh, kekuasaan memberi tanda jasa dan tanda kehormatan lainnya. Di masa datang, Presiden harus mendapat usulan atau pertimbangan dulu dari Dewan Tanda-tanda Kehormatan, dan Presiden dengan sungguh-sungguh memperhatikan pertimbangan atau usul.
Disamping itu di dalam penjelasan pasal 10,11,12,13,14 dan 15 disebutkan bahwa kekuasaan Presiden di dalam pasal-pasal tersebut adalah konsekuensi dari kedudukan Presiden sebagai Kepala Negara. kekuasaan ini lazim disebut pula sebagai kekuasaan/kegiatan yang bersifat administratif, karena didasarkan atau merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan, maupun advis dari suatu lembaga tinggi negara lainnya. Jadi, bukan kewenangan khusus (hak prerogatif) yang mandiri.
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar